Friday, August 31, 2007

Sekali Lagi tentang Andrea Hirata

Film “Laskar Pelangi” sebagai Langkah Berikutnya

            Sabtu petang, 25 Agustus 2007, Café Omah Sendok di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, tampak ramai pengunjung. Lebih dari malam-malam biasa. Di sekeliling kolam renang, kebun belakang, separuh kapasitas kursi dan tikar telah ditempati para tamu, seraya menikmati siomay sebagai hidangan sebelum acara utama. Musik minimalis mendayu merdu di salah satu sudut memperdengarkan petikan gitar dan gesekan biola.

            Rupanya, malam itu, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, tidak semata dibicarakan sebagai novel fenomenal, tetapi lebih pada rencana pembuatan filmnya. Sebagai pembicara, tampil Mira Lesmana (pihak Miles sebagai produser), Riri Riza (calon sutradara), dan Andrea Hirata sendiri sebagai pengarang novelnya. Acara diskusi dipandu oleh Gangsar Sukrisno yang juga mewakili Bentang Pustaka sebagai penerbit buku Laskar Pelangi (LP).

            Di antara sekitar 100 orang yang hadir, tampak Din Syamsudin (Ketua Umum Muhammadiyah) dan Cici Tegal (artis dan pelawak). Kita tahu, novel LP mengisahkan perjuangan 11 anak yang pernah “menyelamatkan” SD Muhammadiyah tempat mereka sekolah di Belitong sehingga tak jadi ditutup. Cerita semacam roman, satu dari tetralogi yang kini telah sampai pada bagian ketiga, Edensor (bagian kedua: Sang Pemimpi), yang mengharukan karena tak hanya mengangkat kekuatan persahabatan, namun juga memotret situasi sosial-ekonomi masyarakat setempat di tahun 80-an.

            Mira Lesmana mengatakan: “Kami semua ini para pemimpi. Justru karena selalu ada kesulitan untuk sebuah proses adaptasi dari buku ke film. Sebagai medium yang berbeda, keduanya punya kelebihan masing-masing. Mudah-mudahan kerjasama ini cocok dan bersifat sinergi. Kami berjanji akan membuat film yang baik.”

            LP hadir sebagai novel tentu saja atas kejelian Gangsar Sukrisno sebagai pembaca “pertama”. Awalnya ada semacam under-estimate atas kiriman naskah itu di bulan Mei 2005. Tiga hari didiamkan karena ia tak kenal siapa Andrea Hirata, tetapi akhirnya tergerak juga untuk membacanya. Dari situlah terjadi interaksi emosional yang luar biasa. Kris merasa sangat terharu sampai menitikkan air mata, sekaligus juga bisa tertawa terpingkal-pingkal, saat membacanya hingga tengah malam. Lalu lahir keputusan untuk segera menerbitkan naskah itu menjadi novel. Bahkan sejak awal, pada adegan-adegan tertentu, ia membayangkannya sebagai sebuah film.

            Menurut Riri Riza, novel LP telah memberikannya sebuah pengetahuan baru. Ia tak pernah menyangka bahwa Belitong merupakan tempat yang terasa ajaib. Di sana, dalam novel dan kenyataannya, ia menemukan gap antastrata masyarakatnya. “Ini film periodik 80-an yang harus diungkap ulang.” Upaya untuk memperoleh chemistry dari kerjasama antara dirinya dengan sang novelis, Riri saling tukar film favorit dengan Andrea.

            Ketika dibuka sesi tanya-jawab, ada seorang peserta diskusi yang merasa “keberatan” jika LP dibuat film. Ia, seperti juga ribuan email yang datang ke alamat Andrea, merasa khawatir film itu justru mengecewakan dan akan mengurangi keindahan cerita pada bukunya. Bagimanapun ini merupakan beban berat bagi Riri Riza dan juga Salman Aristo, yang akan menulis skenarionya. Tetapi, sebagaimana disampaikan Mira Lesmana, bahwa film yang mungkin gagal tidak akan menjatuhkan nilai novelnya.

            LP, menurut Riri adalah kisah tentang orang-orang miskin, tetapi bukan orang-orang yang menunjukkan ajah duka dan sengsara. Sebagai contoh, karakter Ibu Muslimah, guru yang bila malam bekerja sebagai penjahit dan sampai kini kenyataannya masih mengendarai sepeda dari rumah menuju sekolahnya, adalah pribadi yang bersemangat. Miskin adalah takdir dan tidak untuk dijalani dengan putus asa. Rasanya, kesulitan awal dari proses pembuatan film Laskar Pelangi justru saat mencari sepuluh atau sebelas karakter yang akan menjadi tokoh-tokoh penting dalam cerita.

            Acara malam itu juga menandai peresmian kontrak kerjasama antara Andrea Hirata sebagai penulis novel yang didampingi oleh Renjana (event organizer yang selama ini memanajeri kegiatan Andrea) dengan Miles Films dan  Mizan Sinema dari pihak Bentang Pustaka. Cici Tegal mewanti-wanti, agar LP yang di dalamnya terkandung kuat unsur Islam (Muhammadiyah) dan mistik (keajaiban yang sering muncul dalam folklore Belitong) tidak jatuh pada gaya sinetron dakwah dalam televisi. Riri berjanji akan membuat film semacam itu. Dengan potensi cerita yang kaya petualangan kanak-kanak dan perjuangan sekitar pendidikan, diharapkan akan menembus seluruh usia penonton.

            Akankah Laskar Pelangi menjadi film yang laris manis? Bayangkan dari sekarang calon penonton yang akan menyerbu bioskop. Hitung saja jumlah anggota aktif Muhammadiyah di seantero Indonesia. Sekitar 20 juta! Jadi, bayangkan saja dari sekarang…

(Kurnia Effendi)   

 

 

 

Monday, August 27, 2007

Undangan

Malam Festival Seni

dalam rangka HUT kedua tabloid Parle, 2007

Acara akan berlangsung pada:

 

Hari dan tanggal : Minggu, 2 September 2007

Jam : 18:30 WIB sampai selesai

Tempat : Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya 73, Jakarta Pusat

 

Acara

             -Light Dinner dengan iringan Keroncong Manasuka pimpinan Hamsad Rangkuti

-Sambutan Ketua LPKP dan Ketua Panitia

-Pementasan Pantomim Anak-anak oleh Teater Tanah Air

-Pembacaan Puisi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ketua PWI Pusat, Menteri Budaya dan Pariwisata,

Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Puteri Indonesia 2007

-Musikalisasi Puisi bersama Ari Malibu dan Reda Gaudiamo, Cornelia Agatha,

Lab Musik Jakarta, Komunitas BungaMatahari

-Pengumuman pemenang lomba cerpen Lingkungan Hidup dan penyerahan Parle Award

-Pembacaan cerpen pemenang oleh Happy Salma, Wulan Guritno, Ayu Dyah Pasha

-Peluncuran buku ”Interlude-Jeda” karya Syafruddin Azhar dan Kurnia Effendi

***

Seluruh pengisi acara dan usher dirias oleh Enprani Indonesia.

Koordinator penerima tamu VIP: Aurelia Tiara, penyair dan Duta Belanja Trans-7.

Master of Ceremony: Adeke Dini Fahranza, finalis Putri Indonesia 2006 dan Srikandi Pajak 2005

Sutradara seluruh pementasan: Jose Rizal Manua

***

Terima kasih atas kehadiran Anda, para sahabat, tepat waktu dan mengenakan busana yang santai namun santun.

Undangan free of charge, tetapi sebaiknya konfirmasi sebelumnya dengan Endah Sulwesi (081586189316), Syafruddin Azhar (0818605859), atau Kurnia Effendi (0811859603). Tersedia doorprize dari Jewel of Eden dan Mustika Ratu.

 

Salam Cinta Tanah Air

Kurnia Effendi

 

 

Cindera Mata

Taj Mahal, makam agung di tepi tebing Sungai Jumna, ibarat sebuah cindera mata. Bukan hanya dari Maharaja Shah Jahan bagi sang Maharani  Mumtaz Mahal sebagai pertanda cinta nan agung, namun juga menjadi saksi sejarah yang dapat dilihat oleh banyak orang dari segala penjuru dunia. Bahkan menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia.

Banyak cindera mata dari pelbagai negara, baik yang dikunjungi maupun berkunjung ke Indonesia, di masa pemerintahan Soeharto. Mulai dari semungil biji berlian hingga sebesar miniatur kapal Tiongkok yang terbuat dari batu giok, terhampar di Museum Taman Mini Indonesia Indah. Kita bisa menyaksikan dari dekat, sebagian bisa disentuh. Cindera mata antarnegara umumnya mewakili sebuah adikarya tradisi dari masing-masing akar budaya masyarakatnya. Mewakili karakter sebuah bangsa.

Adakah cindera mata yang bermula dari dendam atau justru melahirkan dendam? Siapa yang tahu kedalaman hati manusia? Sebuah syarat yang disampaikan oleh Loro Jonggrang, misalnya, atas Bandung Bondowoso yang kesengsem jatuh dalam perasaan cinta yang mendalam pada putri pusar Pulau Jawa, adalah hal yang musykil untuk dilakukan. Membangun seribu candi dalam waktu semalam bagaikan sebuah dongeng yang nyata. Dengan mengikutsertakan kekuatan jin, “proyek” itu nyaris dituntaskan. Namun cindera mata yang menjadi semacam mas kawin itu hendak diingkari oleh Loro Jonggrang yang hatinya berpaling dari cinta Bandung Bondowoso. Kawin paksa itu tak boleh terjadi. Caranya? Sebuah taktik untuk berkhianat digelar.

Subuh pun pecah sebelum waktunya. Kobaran api tersembunyi yang menyemburatkan cahaya lembayung dini hari pada ufuk timur telah menipu pandangan seluruh ayam jantan di desa Prambanan. Mereka berkokok saling sahut. Taburan melati yang menyebar wangi ke seantero tanah perdikan membuat embun terkecoh. Ah, keduanya, Loro Jonggrang dan Bandung Bondowoso memang lajang-lajang sakti. Alam dibuat mereka sebagai arena “pertempuran” kepentingan. Maka gugurlah syarat itu oleh sebuah tipuan yang membuat amarah memuncak.

Di pengujung pagi, Loro Jonggrang menjadi bagian terakhir dari cindera mata yang telah menghabiskan energi semalam suntuk. Ia, putri cantik itu, mematung di relung salah satu candi tertinggi, menghuni penjara cinta yang hatinya tak terjamah lagi. Kita kini bisa melihat hikayat atau dongeng itu dari dekat. Menyentuh tubuh batu dingin itu dengan kepedihan asmara yang tak sampai muara. Di bawah ini saya tulis puisi tentang rasa sakit itu:

            Di mana terakhir kali Bandung Bondowoso berdiri sebelum luap amarah itu?       

Seribu batu kembali berserak, menukilkan bijih-bijih cinta yang entah kapan

            dipertautkan oleh tanah gembur untuk menjadi sebatang pohon bermahkota

            stupa. Ia tinggalkan kitab tanpa aksara, dan membiarkan akhir malam menjadi

            belantara tempat berdiam para raksasa.

 

            Bukankah tak pernah ada pagi dengan wangi rambut Loro Jonggrang yang

            basah oleh air keramas? Sebelum dibacakan mantera penghabisan, ada sejumlah

            air mata yang tak pernah diakuinya, mengalir menjadi sungai penyebab bencana.

            Ia hanya ingin meletakkan kekasihnya pada relung yang dapat dikunjunginya

            setiap abad, dengan cinta yang terlunta.

 

            Seribu batu kembali berserak, menghukumnya untuk tak saling bercakap.

            Dan dari kejauhan, sepasang mata yang sembap selalu mengintip kedatangan

            sang pangeran. Tak pernah berani menyapa, untuk mengingatkan:

            sesungguhnya kita kekal dalam asmara

Lalu seperti sebuah kutukan tak tertera, siapa pun pasangan yang memadu cinta di pelataran Prambanan, tak kan sampai pada pelaminan. Benarkah?

*

Bagaimana mungkin petaka Perang Bubat terjadi tanpa sebab? Lamaran Prabu Hayam Wuruk yang sedikit menyimpang dari adat sesungguhnya telah menerbitkan firasat buruk bagi keluarga Dyah Pitaloka, jauh sebelum keberangkatan rombongan ke Majapahit. Namun garis takdir harus dijalani sebagaimana terlukis pada rajah tangan. Perempuan cantik yang juga pintar atas asuhan sang paman itu akhirnya menyongsong nasib ke Trowulan. Apa yang terjadi?

Prabu Maharaja Linggabuana, ayahanda Dyah Pitaloka, masih memiliki dan siap mempertahankan harga diri ketika mendengar kenyataan bahwa putrinya diantar ke tlatah Majapahit sebagai upeti. Prakarsa Patih Gajah Mada itu membuat rencana indah pernikahan antar-kerajaan berubah “neraka”. Pecahlah perang di Bubat. Pecah pula persaudaraan yang sesungguhnya memiliki satu akar nenek moyang antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka, melalui darah titisan Prabu Darmasiksa. Dyah Pitaloka menjadi cindera mata yang terlampau mahal.

Cindera mata, atau melihat dari kata asalnya: cindur mato, tentu sebuah kenang-kenangan yang senantiasa enak dipandang. Prasasti yang tak terlupakan. Mari kita periksa “harta simpanan” istri atau suami yang masih menjadi memorabilia. Mungkin di antara ketulusannya mencintai kita, masih ada rongga kecil rahasia hatinya yang dibiarkan menyimpan cindera mata dari kekasih cinta pertamanya. Sekali lagi, siapa tahu kedalaman hati manusia? Ternyata cindera mata suatu saat bisa pula menjadi pusaka.

Namun demikian, cindera mata bisa juga ditafsir secara ringan. Benar-benar hanya sebagai oleh-oleh, buah tangan, yang dapat dialihkan kepada orang lain, atau semacam balasan ucapan terima kasih. Itu yang umumnya menjadi oleh-oleh bagi kehadiran kita pada undangan perkawinan teman atau kolega. Pada hampir semua sahabat yang suka berjalan-jalan, di dalam negeri maupun ke mancanegara, saya selalu meminta cindera mata: kartu pos. Apa uniknya? Entahlah. Mungkin karena ada banyak cerita tersimpan dalam sebuah kartu pos, sesederhana apa pun. Jadi, jangan lupa cindera mata buat saya ya.

(Kurnia Effendi)

 

Friday, August 24, 2007

"Senja Raya Indonesia Merdeka"

Dari Komunitas Leo Kristi:

            Pertemuan anggota komunitas milis secara off-line sebenarnya sudah biasa. Namun bagi Komunitas Leo Kristi yang menamakan diri para LKers mengandung femomena tersendiri. Mereka bernaung dalam sebuah kelompok mailing list dalam Yahoo Groups yang dipertautkan oleh kegemaran mereka terhadap lagu-lagu Leo Kristi.

            Tentu saja ada komunitas penggemar lagu-lagu Koes Plus, The Beatles, Iwan Fals, Slank yang menyebut diri Slankers, atau pecinta KLa sebagai Klanis. Adakah perbedaan di antara mereka? Sama-sama fans club, kelompok penggemar, tetapi yang menonjol pada para LKers ini justru rasa persaudaraan di antara mereka, di antara keluarga mereka.

            Untuk yang kesekian kali mereka melakukan kopi darat (pertemuan). Kali ini, seraya memperingati HUT Republik Indonesia, para miliser Leo Kristi saling berjumpa dan membuat acara bertajuk “Senja Raya Indonesia Merdeka.” Awalnya hanya bermaksud nyanyi-nyanyi lagu Leo Kristi sembari ngobrol melepas kangen, tetapi lantaran kegiatan tersebut diumumkan di sebuah media nasional, mendadak ingin serius. Maksud serius di sini, acara itu kemudian sengaja diramu dengan materi yang cukup “berisi”. Mereka tak hanya mau nyanyi dan berbincang, namun juga menyampaikan kesaksian atas peristiwa yang terjadi di Indonesia terkait dengan tema kemerdekaan, membaca cerpen dan puisi, juga menggelar talkshow.

            Anggota milis ini rata-rata angkatan 80-an. Tentu saja, karena lagu-lagu Leo Kristi berkumandang pertama kali tahun 1975, di saat para LKers ini masih remaja atau menjadi pelajar di pelbagai kota masa lalu. Keterpesonaan mereka terhadap (makna lirik yang puitis dari) lagu-lagu konser rakyat Leo Kristi yang banyak memotret Indonesia dari sudut-sudut paling rinci, membuat masing-masing memiliki sejarah. Para penggemar ‘akut’ ini tak terpetakan karena mereka berbeda dengan fans club yang menggandrungi band-band pop atau rock yang dapat dengan mudah ditemui di kota-kota besar. Kenyataannya, lantaran unik dan “eksklusif”nya tembang Leo Kristi yang tak mudah diterima oleh pendengar umumnya, hanya radio tertentu yang memperluas kepada khalayak. Dengan demikian, praktis jumlah pecinta nyanyian Leo Kristi yang bernama lengkap Leo Imam Soekarno ini sulit dilacak dan jumlahnya barangkali tidak banyak.

            Diprakarsai oleh Amir H. Daulay, beberapa tahun yang lalu, dibuatlah milis dengan semacam coba-coba. Rupanya tak gampang juga menjaring peserta karena kebanyakan yang diundang justru bertanya: “Siapa itu Leo Kristi?” Ada yang benar-benar tak kenal, ada juga yang pura-pura tak tahu. Namun singkat cerita, milis ini kemudian menyala seperti api unggun yang dikipas secara telaten. Barangkali tak lebih dari 100 orang anggotanya yang aktif, tetapi ini cukup membanggakan.

            Anggota LKer ini pada hari Sabtu, 18 Juli 2007 yang baru lalu, mulai jam 4 sore, melangsungkan acara di MP Book Point. Sekitar 30 orang anggota hadir, termasuk dari luar kota: Bandung, Wonosobo, Bangka-Belitung. Mereka seperti sebuah keluarga besar di luar rumah, melakukan silaturahmi dengan rasa kangen dan emosi tersendiri. Di antara mereka bahkan membawa anak dan istri, itu sebabnya komunitas ini sangat berbasis kekeluargaan. Sepertinya, selain memaknai karya yang sarat dengan napas kebangsaan dan cinta kehidupan rakyat, ada upaya untuk melestarikannya dengan “mewariskan” kepada generasi muda, anak-anak mereka.

            Di antara para anggota milis, memang ada yang tergolong belia, dan mungkin “terlambat” menikmati keindahan tembang dan lirik Leo Kristi. Mereka adalah Budhi Kurniawan (penyiar radio Utan Kayu 68H) dan Aki Sudrajat yang seolah mengikuti jejak sang troubadour dengan kegemarannya mengembara dan menciptakan lagu-lagu.

            Dibuka dengan pembacaan teks proklamasi oleh Setiyadi yang dianggap sebagai ketua komunitas, acara dilanjutkan dengan mengumandangkan sejumlah lagu Leo Kristi. “Nyanyian Tanah Merdeka”, “Jabat Tangan Erat-erat Saudaraku”, dan “Hitam-Putih”. Ketiganya bertema kemerekaan, sesuai dengan konteks pertemuan. Gamawan Waloeyo dan Dwiyatno menjadi gitaris andalan yang sangat piawai meniru gaya petikan Leo Kristi. Ending “Hitam-Putih” justru menjadi pembuka semacam orasi kebudayaan yang mengangkat tentang hubungan Leo Kristi dengan rasa cinta terhadap tanah air, kehidupan nelayan, perempuan baik sebagai ibu maupun  kekasih; yang ditulis oleh Kurnia Eeffendi.

            Demikianlah acara mengalir tanpa MC. Selang-seling antara bernyanyi, baca puisi dan cerpen oleh Yoosca Sakanti (membawakan cerpen “Pojok Kafe Simpanglima”), Henry Ismono (membawakan cerpen “Bendera” karya Maroeli Simbolon), Zhou Fuyuan (membacakan terjemahan puisi Tiongkok klasik) dibantu oleh Maria Bo Nio dari Wonosobo dan Dewi dari Bangka-Belitung, kesaksian oleh Abing Patrick dari Bangka Belitung, presentasi foto-foto perjalanan karya Henry Widjaja, dan pemutaran film dokumenter tentang para pendiri Republik koleksi Ramdan Malik. Rencana semula akan berakhir lepas maghrib akhirnya memanjang hingga 21.00. Bahkan, Setiyadi menciptakan acara dadakan: talkshow dengan gaya Tukul meskipun tidak saling cium pipi karena narasumbernya para lelaki, termasuk Amir H. Daulay sang pionir komunitas. Ya,  jika dituruti, mereka tak hendak menghentikan nyanyian dan obrolan. Tak terasa lebih dari dua puluh lagu berkumandang di teras kafe Saqi, MP Book Point.

            Dengan keakraban yang mengundang simpati kawan-kawan baru, Komunitas Leo Kristi berniat melakukan pertemuan serupa secara berkala tiap tiga bulan. Dengan tema yang bervariasi. Rencana paling dekat adalah Sabtu 10 Nopember 2007, di tempat yang sama. Pertemuan berikutnya itu akan diisi dengan diskusi tentang tema kepahlawanan yang banyak menghiasi album-album konser rakyat Leo Kristi. “Ruh Pahlawan dalam Lirik Leo Kristi”, demikian nama acara yang sementara dicuatkan. Sebenarnya mereka sudah kerap mengadakan perjumpaan, antara lain di Café Venecia, Taman Ismail Marzuki, juga pernah di pelataran rumput Kebon Binatang Ragunan. Tetapi kini merasa telah menemukan tempat yang fasilitasnya dapat memenuhi harapan untuk bernyanyi dan berbincang.

            Leo Kristi sendiri, sang troubadour yang menjadi idola, tak pernah turut serta dalam pertemuan itu. Seolah menempatkan dirinya sebagai artis yang memiliki jarak dengan penggemarnya, Hal itu tak membuat surut semangat para LKer untuk terus menghidupkan milis, karena perbincangan mereka menyangkut topik yang sangat luas. Mereka, dengan ragam bidang pekerjaan dan profesi, justru selalu menemukan bahan pembicaraan yang tak habis-habis. Dan yang unik, semua itu hanya dipertautkan oleh kegemaran yang sama: lagu-lagu Leo Kristi!

            Dirgahayu Indonesia Rayaadalah lagu resmi yang menutup acara Komunitas Leo Kristi. Gema panjang semangat mereka terngiang hingga ke rumah masing-masing.

(Kurnia Effendi)

   

 

Monday, August 20, 2007

Tanah Merdeka

Pagi itu di empat lima

Kami semua menyanyikan lagu bersatu negeri

Pagi itu di kaki lima

Kami semua menyanyikan lagu bebasnya negeri

Di tanah merdeka ini, hitam tetap hitam

Di tanah merdeka ini, putih tetap putih

Janganlah kau cemas, ayo menyanyi

Pagi ini di sudut jalanan

Seorang gelandangan menyanyikan lagu bagimu negeri

Kita masih bisa melihat seorang lelaki troubador lebih separuh baya, 58 tahun, dengan setelan hitam menyandang gitar ke mana ia melangkah. Namanya Leo Iman Soekarno, namun akrab dipanggi Leo Kristi. Seorang ibu yang mencintainya memberi nama gitarnya ”Keris Sakti” yang kemudian diringkas menjadi Kristi. Ia jejaki jalan setapak Nusantara, beribu kilometer, bertahun-tahun lamanya, namun baru menginjak ranah Aceh tahun 2006 dengan perasaan yang gemetar. Di sana ia menyanyi tujuh lagu untuk penggemarnya yang tak terpetakan lagi, termasuk di antaranya tembang menyayat: ”Laut Lepas Kita Pergi”.

Layar-layar di dermaga, telah tunggu, telah tunggu

Teguklah cangkir kopi terakhir, ucapkanlah selamat tinggal

Laut lepas kita pergi....

Ia, Leo Kristi, sangat mencintai laut. Mungkin karena pernah menyusuri pantai-pantai panjang Indonesia dengan rasa kasih tersendiri. Ia tak hanya menyapa sang nelayan namun lebur dalam kehidupan angin garam mereka. Ia menghayati makna yang tersurat maupun yang tersirat kehidupan keluarga para pelaut. Berangkat ke tengah samudera didorong angin darat. Terayun-ayun sepanjang malam dalam gelombang yang tak terduga. Pulang ke pantai saat fajar merekah memecah langit. Tapi suatu hari, nelayan muda tak pulang ke rumah.  

Berbondong-bondong nelayan ke laut

Apakah yang terjadi aku tak tahu

Apakah yang terjadi hei, di situ

Kiranya nelayan muda kembali hanya perahu

Meninggalkan istri lama bersedih menunggu

”Lenggang-lenggung Badai Lautku”. Itu lagu pertama yang diperdengarkan bagi khalayak pada tahun 1975 melalui album Konser Rakyat Nyanyian Fajar. Selain senandung laut itu, ada ”Katia, Amanda, dan Aku”. Pada album berikutnya tercantum ”Nyanyian Pantai”, berikutnya lagi ”Gulagalugu Suara Nelayan”. Dan seterusnya, sampai yang simbolik: ”Layar Asmara”

Tetapi Leo Kristi juga mencintai tanah kelahirannya: Surabaya. Hampir seluruh kejadian sehari-hari muncul dari suasana kota yang ribut dan panas di pantai utara Jawa Timur. Leo bisa menggambarkannya melalui banyak hal untuk kota yang sudah menjadi darah dan keringatnya itu. Lewat perjalanan kereta api (”Di Deretan Rel-rel”, ”O, Danae”, ”Sudut Jalan Surabaya 1979”), melalui riuh kota (”O, Surabaya”, ”Rumput Raya Kemesraan”), melalui aliran sungai Kalimas (”Tepi Surabaya”), dan banyak lagi.

Menceritakan kesaksian Leo Kristi dalam rentang panjang usianya tak cukup semalam. Barangkali perlu bermalam-malam di bawah bintang salib. Ada yang harus dicermati secara mendalam ketika menunggu bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu. Ia tak pandai menyampaikan isyarat batinnya yang kaya secara spontan, apalagi di atas panggung. Tetapi lihatlah, bagaimana satu kakinya terpacak di atas separuh tong, mengentak seirama kibasan tangannya menyapu enam atau dua belas senar gitarnya. Mukanya tengadah dan suaranya membahana melantangkan semangat memuja pahlawan.

Ya, kisah kepahlawanan yang tak dikisahkan dalam lirik cengeng adalah satu hal yang tak terpisahkan dari jiwanya. Kita jarang bisa berterima kasih kepada para pendiri republik ini, para pejuang yang sungguh-sungguh menumpahkan darah untuk Bumi Pertiwi tanpa pamrih untuk mendapatkan kekayaannya. Tetapi, di panggung-panggung perayaan kemerdekaan, sang troubador terus menggemakan penghargaannya yang tulus kepada para pendahulu kita:

Dia saudaraku, dia saudaraku

Bernyanyi riang di ufuk fajar

Dalam tidur senja kini

Bersamanya bunga-bunga

Dengan tiga butir peluru di dada, di dada

Langit makin merah hitam...

            Ayo, nyalakan api hatimu! Sambut dengan satu kata: Merdeka! Dan Leo Kristi selalu membuat kita membawa bara semangat, melangkah tegap dalam kepercayaan menyongsong hari depan, adalah sebuah mars yang menggetarkan:

Iringan bendera kemenangan

Berlalu gegap gempita

Menyongsong irama kakiku

            Lelah kaki lima ibukota

Ada seribu matahari bersinar

Di antara silaunya aspal jalan

Kakiku terantuk batu-batu hitam tajam

Di seberang gembira lagu-lagu mars kemenangan

Aku teringat akan bapakku yang bersujud

Di dalam gelap gulita di sana

Dirgahayu, dirgahayu Indonesia Raya

Bukan berarti Leo Kristi hanya bisa berseru lantang. Ia juga menyurakan cinta yang mendayu. Cinta yang tulus terhadap ibu. ”Mutiara Pertiwi”. Cinta yang telah tiba sampai pada batas sakit. Sampai kaki-nini negeri ini. Oh, nenek. Oh, kakek. Ia, barangkali, tak peduli lagi dengan cara hidupnya. Sebuah arsitektur megah tentang cinta (kepada petani, pesinden, nelayan, guru tua, anak-anak jalanan) yang tidak lagi milik dirinya: ketika kesepian mulai menjemput. Melalui gersak-gersek daun-daun rontok. Di usia 58, ia terus melangkah. Kepercayaan pada esok dan lusa, aku suka. Dan entah di senja yang kesejuta, ia akan bisikkan di telinga kita, ”Kaki Langit Cintaku Berlabuh”

Lampu-lampu pelabuhan jelang dini

Berselimut kabut ...

Kapal-kapal mulai turun, mulai turun

Membongkar sauh

Laut kelam, kaki langit cintaku berlabuh

            Di tanah merdeka ini, Indonesia, pada usia yang masih muda untuk sebuah negara, 62 tahun, siapa lagi yang akan sungguh-sungguh mengibarkan bendera? Siapa di antara kita yang masih berdaya menyanyikan Indonesia Raya? Bukankah kita telah banyak kehilangan? Kehilangan cinta pada budaya, kehilangan welas asih pada saudara, kehilangan harga diri bangsa. Tinggallah ku kini dalam sepi huk huk huk....

            Namun Leo Kristi masih tetap ingin kita berdiri paling depan untuk merasakan tiap denyut nadi kebangsaan kita. Bangsa yang telah melampaui segala getir kehidupan dan kini masih harus ditindas oleh kemurkaan nafsu angkara. Tapi tak pernah dalam nyanyiannya, Leo Kristi menghujat. Ia semata hanya memotret. Hanya mengambil gambar sedih di tepi Kiara Condong lalu menyampaikannya pada seseorang yang hendak pergi ke kota esok pagi, mungkin melalui ketekunan roda pedati. Mari, dalam kemerdekaan yang tak semarak cahaya merkuri, kita tegak berdiri

Berjanjilah dalam janji

Di perjalanan semakin sukar ini

Berjanjilah dalam janji

Hati semakin tegar!

(Orasi Kurnia Effendi pada acara Senja Raya Indonesia Merdeka di MP Book Point, 18 Agustus 2007)

 

 

 

Wednesday, August 15, 2007

CERMIN

APA yang begitu tampak wajib dibawa oleh perempuan ke mana pun mereka pergi? Cermin. Benarkah? Dompet perempuan kadang-kadang dilengkapi sbidang kecil cermin. Di dalam tas perempuan suka terdapat bedak yang dilengkapi cermin.

            Mari kita lihat perilaku mereka terhadap cermin. Di kamar mandi, sambil mengeringkan badan dengan handuk, perempuan akan menatap wajahnya di cermin. Dengan teliti diperiksanya pipi, hidung, kening, dagu, bibir, pelupuk mata, dan seterusnya. Mungkin ada jerawat di sana, atau kantung mata akibat kurang tidur. Siapa tahu kulit bibirnya pecah-pecah.

            Begitu selesai berbusana, seorang perempuan dengan berdiri atau duduk, akan menghadap cermin di meja rias. Bagian kepala, mulai rambut sampai leher, mendapatkan porsi perhatian yang tinggi. Semacam ritual dilakukan, mulai dari mengusapkan pelembab sampai akhirnya wajah itu berubah lebih cantik dengan seperangkat kosmetik.

            Jika ia seorang wanita karier, waktu paginya dipenuhi persiapan untuk berangkat ke kantor. Umumnya, mereka yang akan naik motor, bus Trans Jakarta, kereta api, angkutan kota, atau bajaj, sengaja membiarkan wajahnya belum terias. Mereka akan menyulap wajah aslinya menjadi wajah baru setiba di kantor. Polusi di jalan dan keringat akibat berdesakan dengan para penumpang lain akan merusak riasan yang dikerjakan di rumah. Selain boros juga dua kali kerja.

            Bagi mereka yang naik mobil pribadi, diantar sopir atau suami, sejak dari rumah sudah full make up. Tapi, perhatikan, sebelum ia turun dari mobil, ia akan memeriksa wajahnya melalui cermin kecil yang biasanya terdapat di balik pelindung surya mobil. Ia ingin meyakinkan bahwa wajahnya masih beres. Begitu turun, sebelum berpisah dengan mobil, masih juga sempat melihat bayangan tubuhnya di kaca dan badan mobil yang mengkilap, siapa tahu busananya terlihat berantakan. Di dalam lift, bila letak kantornya di lantai atas, perempuan masih mengambil kesempatan untuk melihat sosoknya di dinding cermin atau bidang stainless steel. Ia akan mematut diri sembari ngobrol dengan teman yang dikenalnya dalam satu kabin. Perempuan selalu harus yakin pada penampilannya. Mungkin itu kodrat. Pantas jika ada perempuan yang selebor dan abai terhadap dandanannya karena menganut ‘hukum’ praktis laki-laki disebut tomboy.

            Sesungguhnya kegiatan bercermin yang berulang-ulang pada perempuan itu tidak buruk. Justru para lelaki sebaiknya belajar dari kebiasaan itu. Mengapa demikian? Cermin, secara filisofis atau realitas, memang bertugas untuk menilai kita apa adanya. Ia memberikan umpan balik yang jujur. Dalam cermin akan tampak mata yang kuyu jika kita memang semalam begadang. Kumis yang beruban tak akan tampak dalam warna yang lain kecuali putih keperakan. Kita boleh bilang masih bergairah muda, tapi usia sebenarnya terlihat pada dua warna rambut itu.

            Jika penampilan kita begitu buruk dalam cermin, akankah kita belah sang pengilon yang jujur itu? Cermin merupakan sarana introspeksi. Cermin dalam arti luas bisa terletak di mana-mana. Saat lingkungan enggan menerima kehadiran kita, “cermin” itu sedang mengatakan bahwa ada sifat kita yang mungkin tercela. Seorang siswa yang tidak naik kelas, cerminnya berupa rapor dengan nilai-nilai di bawah standar.

            Seseorang yang selalu bercermin, dalam arti kiasan maupun sebenarnya, tentu akan tetap mengenali dirinya dengan baik. Hampir semua perempuan tahu persis sesuatu yang terjadi pada wajah dan tubuhnya, juga pada model pakaiannya. Belajar dari disiplin bercermin, maka setiap perubahan yang terjadi pada wajah dan perilaku segera kita sadari. Perbaikan untuk setiap kesalahan tak harus menunggu lama dan tak perlu harus orang lain mengingatkannya.

            Nah, cermin ternyata tak hanya datar, melainkan ada yang cekung dan cembung. Cermin cembung yang diletakkan di tikungan jalan bertujuan untuk mendapatkan pandangan yang lebih luas dan komprehensif. Sedangkan cermin cekung punya fungsi lain yang juga penting untuk tujuan tertentu. Pandangan distorsi orang lain terhadap kita kerap terjadi terutama di lingkungan pekerjaan. Saat itu yang bekerja adalah “cermin cekung“ atau “cermin cembung”. Namun demikian, cermin atau lensa selalu memiliki titik api. Sejauh atau sedekat apa kita bisa fokus dengan setiap pekerjaan, kualitasnya akan ternilai.

            Bagaimana dengan kisah seorang yang bercermin ke permukaan telaga dan menemukan wajah tampan yang membuatnya kagum bukan kepalang? Ia bernama Narcissus. Namanya kini dilekatkan pada orang-orang yang suka memuja diri sendiri, bukan lagi dalam hal ketampanan atau kecantikan, bahkan merembet ke hasil karya. Rasanya sah-sah saja, sepanjang secara umum diakui keunggulannya. Namun bila kebablasan, ia akan bertemu cermin yang lain, yang akan meletakkannya pada posisi arogansi.

            Dalam pergaulan yang mengandung unsur rasis, kita sering mendengar hinaan seperti ini: “Ngaca kamu, tak pantas melamar anakku!” Padahal tentu ada ucapan yang lebih baik dan “mencerminkan” martabat pengucapnya. Apalagi, cermin yang baik tak hanya memperlihat sosok kasat mata seseorang, melainkan membuka tabir yang tersembunyi: akhlak dan jalan pikirannya.

            Tapi, syukurlah kita bukan sejenis drakula atau vampir yang tak tertangkap oleh cermin. Mereka tentu kesulitan untuk mengetahui dirinya sendiri seperti apa, termasuk melihat taring yang sewaktu-waktu muncul di kedua ujung bibir. Lantas saya teringat syair lagu Leo Kristi:

            Kalau cermin tak lagi punya arti

            Pecahkan berkeping-keping!

            Kita berkaca di riak gelombang

            Dan sebut satu kata: hakku!

(Kurnia Effendi untuk Parle)

 

 

 

 

 

 

Tuesday, August 14, 2007

Serenada Pagi 1971

Selamat Hari Pramuka, Praja Muda Karana.

Selamat melanjutkan perjuangan Ikatan Pandu Indonesia.

Lord Baden Powell. Soewardjo. Mc Gyver. Surviving.

Serenada Pagi 1971, Leo Kristi:

Bukit cemara itu tampak masih gelap. Aku bangun pagi dalam sejuk dingin. Dengan senyum, cinta bersemi di hati. Kugulung tenda. Padamkan bara sisa unggun api.

Ingat semalam. Jumpa denganmu. Di padang bunga bermekaran. Kuucapkan, kauucapkan: Selamat jumpa

Sehangat bibirmu. Selembut rambutmu. Angin, rumput, bunga-bunga. Menyanyi dan menari. Terlentang gaunmu di hangat sinar matahari. Menentang gaungnya belenggu tirani-tirani

Dengan simFoni ’ku tegak melangkah. Dengan dirimu di hati ini:

Pasti menang

Wahai perang

Aku datang!

 

(dari album Nyanyian Cinta 1979)

 

Friday, August 10, 2007

MANFAAT (2)

Tuhan tidak menciptakan sesuatu yang mubazir. Pernyataan ini niscaya benar. Bahkan neraka pun berguna, diciptakan sebagai medium pencucian dosa sebelum si terhukum diangkat ke surga, melalui rentang waktu yang sesuai bilangan kekhilafan manusia, kecuali musyrik yang tak terampunkan. Namun demikian ada pula piranti untuk menyelamatkan diri sebelum jatuh terpuruk dalam kobaran api abadi itu, yakni permohonan ampun: taubat yang sungguh-sungguh.

Dengan demikian apa faedah dari setiap penyakit yang tumbuh di dunia ini? Boleh jadi untuk memaksa manusia berpikir mencari penolak atau obat penyembuhnya. Segala kesulitan yang muncul, baik oleh perangai alam maupun kecerobohan manusia, agaknya merupakan cara Tuhan melatih kita mengatasi masalah. Ukuran kualitas manusia pun kadang-kadang dinilai dari kemampuan mengolah problem untuk mendapatkan solusi. Cara itu kemudian diadopsi oleh manajemen sebuah perusahaan dalam menguji stafnya. Untuk naik ke peringkat yang lebih tinggi, seorang kepala cabang dikirim ke wilayah rawan dan sulit. Di sana ia bukan sedang dihukum, melainkan digali potensinya dengan pelbagai masalah. Cukupkah ia bermanfaat untuk memajukan perusahaan dengan tanggung jawab yang lebih berat?

Lahirnya profesi konsultan (untuk persoalan kesehatan, desain, psikologi, feng shui, pendidikan, atau rumah tangga), saya kira karena tidak semua orang mampu menghadapi masalahnya sendiri. Para konsultan itu ”dilahirkan” atau ”disiapkan” untuk kemanfaatan bagi yang membutuhkan. Tapi para konsultan itu juga pihak-pihak yang suatu ketika membutuhkan bantuan orang lain lagi dalam hal yang berbeda. Demikianlah, kemanfaatan seseorang jika dilatari dengan perasaan ikhlas, tidak semata untuk mendapatkan imbalan materi, mungkin akan menghasilkan dua hikmah sekaligus: pahala dan uang.

Siapa yang merasa sama sekali tak berguna hidup di dunia? Sedangkan cacing yang menjijikkan bagi kebanyakan orang pun ternyata punya kontribusi besar bagi kegemburan tanah dan para penggemar pemancing ikan. Seandainya banyak orang yang seolah hanya memenuhi Bumi tanpa karya yang cukup berarti bagi khalayak, itu sebenarnya kondisi yang dibuat sendiri. Jauh sebelum hari ini tentu banyak kesalahan langkah yang telah dibuatnya atau kemalasan yang disengaja sehingga waktu dan bahan yang disediakan Tuhan tidak direngkuh dengan cermat.

Pilihan-pilihan yang kita ambil dalam melangkah barangkali semula dianggap ringan dan sepele. Memilih sekolah seperti memutuskan mau belok ke mana ketika hendak parkir di halaman toko. Memilih pasangan hidup hanya, misalnya, mengandalkan blind date. Memilih mobil yang hendak dibeli hanya berdasarkan isu iklan yang mungkin mengelabui. Siapa yang salah? Bukan sekolah kita, bukan pasangan kita, bukan pula mobil yang telanjur dibeli itu, melainkan kita. Banyak di antara kita segera tergoda oleh bujuk rayu tawaran gaya hidup yang hanya diperoleh dengan taruhan detik. Setelah itu barulah kita ”menyesal” mengapa beli ini-itu yang tidak prioritas demi sebuah gengsi? Atasan saya pernah memberikan nasihat penting, persis sewaktu sebuah supermarket terkenal mengobral banyak barang elektronik dan home-appliances. Katanya: ”Belilah yang kamu perlukan saat ini, bukan beli yang saat ini harganya murah.” Maksudnya adalah membeli yang bermanfaat bagi kita.

Novel Mimpi-Mimpi Einstein karya Alan Lightman memberikan gambaran tentang jalan hidup manusia yang bermula dari keputusan pilihannya. Semua serbarelatif, tergantung pada hulu yang akan membuat serbaneka di hilir. Maka hati-hatilah kita menyikapi setiap keadaan. Ibarat main catur, langkah yang diambil haruslah berdasarkan pertimbangan matang. Pertimbangan itu kadang-kadang muncul dari orang yang pantas kita remehkan namun justru menyumbangkan manfaat yang akan berlangsung bertahun-tahun ke depan. Siapa yang tahu seorang tukang sayur menjadi inspirator bagi seorang Jaksa Agung juga memberikan manfaat spiritual bagi jabatan puncak itu? Ini tercermin melalui kisah nyata yang dihimpun dalam buku Sayur Emas oleh Sandiantoro.

Baiklah, sekarang saya hendak menyampaikan kisah yang mestinya telah didengar banyak orang. Di zaman dulu, ketika mendapatkan air segantang saja perlu turun ke mata air dan membawanya ke bukit tempat sekelompok orang tinggal, diperlukan lelaki atau perempuan yang tangguh. Dikisahkan seorang lelaki yang selalu mengangkut dua ember tergantung di kedua ujung pikulan. Pagi dan sore, berulang kali. Setiap ia turun ke lembah tempat air memancar dari celah bebatuan, ia membawa sepasang ember yang kosong. Ia akan kembali mendaki jalan setapak ke gubuknya di pinggang bukit dengan dua ember penuh air. Agaknya pada satu ember miliknya terdapat lubang yang membuat air menetes sepanjang perjalanan. Ia selalu tiba di rumah dengan hanya satu seperempat ember air.

Karena ini dongeng, bolehlah diceritakan percakapan dua ember itu. Si ember bocor merasa sedih dan mencurahkan isi hati kepada ember yang sanggup menjaga volume air sampai tempat tujuan. Katanya: ”Sungguh aku ember tak berguna, lihatlah apa yang kubawa sampai ke rumah tuanku?” Ember yang utuh itu ikut prihatin dan mencari akal untuk menghibur saudaranya itu. Maka dari ke hari, ember utuh itu berusaha mempelajari pemandangan sekitar yang mereka lalui bersama-sama. Diam-diam ia menemukan banyak perubahan dari hari ke hari yang seolah berjalan sangat alami hingga terlewatkan begitu saja. Apakah gerangan itu?

Di samping kanan dan kiri jalan setapak tumbuh rerumputan. Seingat ember utuh, di kedua sisi beberapa bulan yang lalu memiliki panorama yang sama. Namun lambat-laun terdapat perbedaan karena ada perubahan. Seingatnya, dulu, tidak ada pokok-pokok bunga yang tumbuh di sisi jalan setapak. Apa penyebabnya? Nah, rupanya, setiap kali pengangkut air itu berjalan, ada air yang menetes rutin dari si ember bocor. Tetesan air yang membasahi sisi jalan membuat biji-biji bunga yang terhampar di tanah itu tumbuh akar. Lama-kelamaan muncul pucuk daun mungil. Berhari-hari selanjutnya lahir batang ringkih yang terus disiram oleh tetes-tetes air sampai kemudian rimbun dan akhirnya memekarkan puspa.

Apa kata ember utuh itu kepada ember bocor? ”Jangan sedih, saudaraku. Sesungguhnya kamu telah sangat bermanfaat bagi kehidupan tetumbuhan. Lihatlah jalan setapak ini menjadi indah karena perdu bunga-bunga yang kautumbuhkan.”

Ah, ini hanya dongeng, yang mungkin sedikit bermanfaat.

(Kurnia Effendi, untuk Rehat Media Asuransi)