Aroma Slawi
Guru pertama saya adalah kakek saya sendiri. Radis Hardjo Soeprapto namanya. Mirip dengan yang diceritakan oleh Andrea Hirata, bahwa seorang guru Sekolah Dasar di masa lalu mengajar semua mata pelajaran seorang diri. Namun berbeda dengan novel Laskar Pelangi, waktu kelas satu SD saya memiliki lima angkatan kakak kelas. Dan ketika itu, sekolah saya tidak dalam keadaan hendak roboh. Di masa itu, 1967, selain memiliki satu-dua buku, saya masih menggunakan sabak (batu tulis) dengan grip sebagai pena. Benak murid dilatih menjadi kantung ingatan karena pelajaran berhitung tidak memiliki arsip. Begitu usai tugas dinilai, sabak itu dibersihkan kembali dengan kain untuk digores pelajaran berikutnya.
Semburat memori masa silam itu mencahayai pikiran saya selama beberapa hari saat pulang kampung. Inilah mudik dengan serangkaian penghayatan. Dimulai dengan perjalanan sepanjang 16,5 jam sejak beranjak dari Pondok Bambu Jakarta Timur sampai tiba di teras rumah ibu di Slawi. Begitu bergabung ke jalan tol Jakarta-Cikampek tengah malam itu, seperti memasuki arena parkir terpadat di dunia. Dengan kece
Ringkas kisah, sampailah saya di rumah ibu, pangkuan tujuan yang ditempuh dengan segala cara, menjelang senja. Saya bahagia karena tiba dengan selamat dan menemukan air yang selalu dingin di kamar mandi rumah ibu. Saya menyadari, mudik kali ini, setelah tiga kali Lebaran justru ibu yang saya
Sebelum tiba di rumah, singgah di warung tahu-aci Kalianyar, yang menem
Demikianlah, hari berikutnya makan siang dengan sate kambing khas Tegal. Dua hari berikutnya ternyata saya selalu makan siang dengan sate kambing. Pertama di warung Bu Narto, Slawi. Berikutnya di Tegal, dibelikan oleh adik saya, katanya di warung yang pernah disinggahi oleh “Si Mak Nyus” Bondan Winarno. Ketiga di warung Tirus, Tegal, bahkan membawanya sampai ke Jakarta sebanyak 3 kodi.
Untuk sarapan pagi menjelang perjalanan kembali ke Jakarta, ibu sengaja menyiapkan lengko, yang tak akan ditemui secara lazim selain di Slawi, Tegal, dan Cirebon. Sederhana saja isinya: nasi diramu dengan potongan timun mungil, rebusan tauge, irisan tahu, disiram bumbu kacang dan kecap, ditimbun kerupuk mi yang diremas oleh tangan ibu. Rasanya ini menu sehat yang tak perlu diragukan. Oleh-oleh lain yang “wajib” dibawa arus balik tidak lain adalah kacang asin (serupa kacang Bali) dan pilus, yang kemu
Kepulangan saya ke Slawi saat Lebaran, selain sungkem pada ibu dan silaturahmi ke sanak-saudara, juga untuk ziarah. Kakek saya, sekaligus guru sekolah pertama saya, sudah terbujur tenang di bawah naungan rimbun kemboja. Tak jauh dari istri pertamanya, ibu kandung ibu saya. Istri keduanya hingga kini masih hidup, dan rumahnya di Curug, sebuah tem
Masih terbayang dalam rongga kenangan, kakek mengayuh sepeda menyusuri jalan tanah, melewati perkebunan tebu dan pabrik gula Pangkah. Sering saya melihat deretan lori di musim tebang, memanjang di sisi jalan. Terkadang kakek sengaja berhenti dan meminta sebatang-dua tebu untuk cucunya yang dibonceng setiap hari. Sesekali membawa pulang beberapa gelagah (bunga tebu yang mirip ranting bambu panjang), untuk dibuat mainan: roda dengan tongkat, didorong ke mana-mana di jalan desa.
Di masa kecil itu pula, ketika ayah menempuh pendidikan di Jakarta, ibu suka membawa saya mengambil gaji ke Kabu
Jalan yang pernah saya lewati puluhan tahun lalu itu saya tempuh kembali saat mudik. Pasar Pagi yang menem
Saya pun tak lupa mengambil foto pohon raksasa randualas sebelum ikut punah. Ia tumbuh di lembah, tegak dengan batang dan ranting kokoh meski meranggas. Tampak teguh dilihat dari jalan raya. Di tepi jalan itu, ada kedai tahu yang hingga kini dijadikan langganan banyak orang: Tahu Randualas. Anak sang owner, pernah menjadi teman sekelas saya di SMP, Wono Wiguna. Kakaknya, Imelda Wiguna, adalah salah satu pemain bulutangkis nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa.
Perjalanan dengan upaya menciumi jejak masa kecil kadang-kadang membuat hati teriris. Mengapa waktu lekas berlalu? Sementara aroma Slawi masih sayup-sayup tersisa di hidung, terbawa hingga kini. Ampas melati sebagai campuran teh Gopek yang biasa menimbun di sisi kali, berbaur dengan asap sate kambing. Arus bis terus meluncur dari Tegal ke Purwokerto atau sebaliknya. Setiap hari.
Entah siapa yang ditinggalkan: saya atau Slawi? Ketika saling bertemu, selalu ada gumpalan rindu. Tak habis digerus waktu. ***
(