Thursday, February 28, 2008

Laut dalam Birahi Religiusitas Dino

Puisi adalah binatang yang tercekik dalam mulut botol.

Orang membaca dan menulis puisi untuk memecahkan botol itu.

Kadang binatangnya ikut mati.”

-Afrizal Malna-

 

Kalimat di atas saya peroleh melalui SMS kiriman Pakcik Ahmad. Saya tak tahu persis, apakah benar itu pendapat Afrizal Malna, tetapi sebaiknya saya percaya, karena Pakcik Ahmad termasuk orang yang amanah dan lurus.

            Puisi melalui gambaran Afrizal Malna adalah sebuah makna yang tragis dan dramatik. Mulai dari penciptaannya yang berdarah-darah (tentu ini berlaku bagi para penyair serius, bukan seseorang yang mendadak jadi penyair semata sedang dilanda asmara) sampai pada penafsirannya yang habis-habisan. Setidaknya, jika Anda sempat membaca puisi Afrizal Malna untuk buku antologi Jogja 5,9 Skala Richter, ada pesan mendalam yang tak harus “kasat bahasa”.  Saya tak akan mengutipnya, karena kita sedang membicarakan puisi Dino F. Umahuk.

            Saya sebenarnya lebih setuju bila acara launching/peluncuran buku tidak disertai diskusi karena itu akan menjadi beban bagi para hadirin. Terlebih karena bukunya belum beredar, mungkin hanya satu dua yang pernah membaca melalui manuskrip atau internet jika kebetulan di-posting dalam milis atau blog. Jadi, terasa kurang ideal. Pesta launching buku, jika merujuk pada kata “pesta”, maka kita tonton saja pembacaan puisinya, performance teman-teman yang menafsirkannya melalui pergelaran teater, dan musikalisasi puisi.

            Tapi, sejak awal saya telah mendapat kepercayaan untuk sedikit membicarakannya. Walaupun, terus terang, naskah Dino Umahuk yang dikirim oleh Johanes Sugianto melalui email ternyata tidak lengkap, mungkin karena rontok di jalan. Saya hanya menerima dua folder (dalam hal ini dua bab), yakni “Haluan Menuju” dan “Narasi Tanah Asal”. Tampaknya ada tiga folder lagi yang tak sampai: “Sajak Lautan Rindu”, “Kipas Lenso Putih”, dan “Jejak Sunyi”

            Dengan demikian akan sangat tidak memadai pembahasan ini. Tetapi, sepanjang buku ini ditulis oleh satu orang penyair, bukan merupakan antologi bersama, niscaya ada benang merah dari setiap puisi yang diciptakan antara satu dengan yang lain. Karena saya juga tidak membaca kata pengantar dari penulisnya, tentu tidak tahu apa sebab sekitar 130-an puisi ini dibedakan dalam 5 bagian. Mungkin dipisahkan tema atau tahun penciptaan, mungkin pula masalah persamaan emosi yang hanya penyairnya sendiri paling memahami.

            Membaca dua bagian puisi-puisi Dino Umahuk yang terhimpun dalam “Haluan Menuju” dan “Narasi Tanah Asal”, saya dapat mengambil napas religiusitas yang cukup dominan. Di sisi lain, pembicaraan tentang laut (dalam hal metafora, sebagai latar tempat, personifikasi, maupun esensi) juga sangat karib dalam puisi Dino. Boleh jadi ini menunjukkan kedekatan penyairnya dengan laut sebagai lingkungan yang membesarkan dan atau menjadi obsesinya. Sebagai orang Indonesia bagian Timur, tepatnya Ambon, sekaligus sebagai cucu dari moyang Nusantara yang konon para pelaut, sudah seharusnya manusia Indonesia memiliki “darah” kelautan.

            Puisi bagi seorang penyair memiliki banyak arti. Sebagai katarsis, itu yang paling umum bagi semua kalangan. Hal-hal yang buntu dan tak mendapatkan jalan secara memadai dalam dialektika politik maupun budaya, acap kali tersembur melalui puisi. Ada yang bersifat terapi (seperti yang pernah saya peroleh “kuliah”nya dari seorang psikolog), ada yang mengandung muatan perlawanan. Yang kedua ini sedikit berbahaya bila dipertemukan dengan sasarannya, misalnya para penguasa, terlebih jika yang dituju tidak memiliki kearifan.

            Puisi, seperti ungkapan Afrizal, adalah sebuah posisi rawan kesenian. Untuk menulis sekaligus memahami membutuhkan “pengorbanan” besar, sehingga tak hanya sanggup mengubah pandangan seseorang, bahkan mungkin menggerakkan sebuah energi tak terlihat yang kelak membuat massa bergerak. Puisi dapat pula mencapai fungsinya yang paling sederhana sebagai jejak sang penyair yang menyeret setiap peristiwa dalam sejarah hidupnya. Ia lantas menjadi semacam kesaksian yang dapat menengarai perubahan zaman, menjadi petunjuk bagi generasi berikutnya, selain sebagai catatan sunyi peradaban.

            Toto Sudarto Bachtiar, Rendra, Taufik Ismail, beberapa di antara penyair Indonesia yang pernah menempatkan diri pada posisi kesaksian. Sementara Sutardji Calzoum Bachri lebih menekuni bongkar-pasang estetika, menggali yang terpendam dalam rahasia akar bahasa. Sedangkan Sapardi memberikan eksistensi pada ujaran sehari-hari menjadi “prasasti” monumental yang dikekalkan berkali-kali oleh penggemarnya. Di sisi lain, Goenawan Mohamad dengan metafora mewahnya mengisi bagian elegan dalam sastra Indonesia.

            Dino boleh tidak memilih itu semua. Saya melihat ada proses pembelajaran pada penyair muda ini untuk menjadi dirinya sendiri. Ada sebuah puisi yang saya suka, dan kebetulan cukup kuat mengisyaratkan religiusitas, yakni: “Mendaki Cahaya”, mari kita kutip:

Temaram adalah dahaga yang menorehkan ritme puisi

Tanpa matahari mana mungkin terlahir pelangi

Cinta adalah jalan sunyi mencari diri

Tak mungkin Alif berdiri sendiri

Tak mungkin Mim mengunci diri

 

Lautan adalah jalan di mana Nuh membangun Bahtera

Mendaki Cahaya adalah jalan Rasul menuju istana

Hanya dengan tongkat Musa membelah samudera

Di jalan salib Isa melesat ke pintu langit

Jasad siapa menggantung di atas bukit?

 

Inilah cinta di mana tak ada prahara

Hanya berserah menumpu pahala

Jiwa yang suci selalu punya cara untuk kembali

Meski terlempar di perut Zun Nun

Berputar tubuh semabuk Rumi

Banda Aceh, 30 September 2007

 

            Serupa dengan puisi itu, antara lain “Sajak Lautan Sajadah”,  “Berpunggung Janji”, dan banyak lagi bertebaran dalam antologi Dino. Sang penyair tampaknya ingin berangkat dari sisi transendental. Dalam dunia puisi, menurut pengalaman saya sebagai penulis, ranah yang paling mudah dirambah adalah tema cinta dan ketuhanan. Meski demikian, kita umumnya terjebak pada makna harfiah, hiperbolistik, hal-hal yang bersifat permukaan, dan mengusung idiom yang selalu universal. Ada contoh puisi bagus dari Abdul Hadi WM mengenai “menyatunya diri kita dengan sang pencipta”. Saya kutip satu baris saja: aku panas dalam apimu.

            Religiusitas Dino saya kira belum sampai pada kedalaman filosofis karena memang tidak menggali unsur kesufian. Mudah-mudahan memang bukan bermaksud membawa napas tasauf dalam puisi-puisinya. Terang-benderang untuk puisi ketuhanan juga tidak salah, karena ini sebuah pilihan gaya, dan mungkin dalam perkembangannya kelak lebih dibebaskan dari keinginan untuk membawa sejarah umat manusia yang pernah menjadi narasi besar peradaban. Mulailah dari diri kita saja.

            Kembali pada persoalan laut, menurut saya lebih menarik. Apalagi jika Dino lebih mempertajam pandangannya pada perilaku laut, menyelam lebih dalam, hingga tersedak air asinnya, atau tertoreh ujung taring hiunya. Perdarahan dalam menuliskan sebuah puisi dengan esensi tertentu, akan membuat penyair mabuk abadi: bahasa akan berkelindan dalam getaran ombak yang tak kunjung henti.

            Dengan mengangkat judul Metafora Birahi Laut pada antologi puisi pertamanya ini, tentu bukan tanpa maksud.  Dino punya kesempatan untuk menjelaskan hal ini berikut proses kreatifnya. Mari kita telisik dari tiga baris puisi yang saya petik ini:

Gelisah lautan telah kautangkup di ujung kuku

Tak menjangka apa-apa hanya kata-kata

Dari mana jejak bermula ke sanalah pelayaran menjadi puisi

(Punggung Janji)

 

            Ketika Sutardji mencoba menaklukkan kucing liar dalam aorta darahnya, mengapa Dino tidak ingin menangkap gerakan gelombang lautan yang paling dahsyat dengan perbendaharaan katanya? Ini sebuah tantangan! Ketika Dino memadukan antara yang imanen dengan yang secara fisikal bergelora sebagai laut, sebagai sungai, sebagai sumur, dituliskannya puisi ini:

-Pusara Kita Tak Pernah Ada Di Bumi

Akulah seruling yang terpisah dari rumpun bambu

Rintihan pilu ratap sembilu semesta rindu

Kepada ibu lautan hakikat mengasinkan zikir

Kau dan aku sepanjang umur debu dan batu

Di sungai yang sama tak semua mengalir madu

 

Akulah lengking saluang memuntahkan airmata

Bersumur-sumur jejak kakimu menjelma zam-zam

Ketika cinta menyergapmu diam-diam di bukit Mina

Takdir Ismail telah menjelma seekor domba

Di wahyu  Ibrahim kobaran api sebagai pertanda

 

Akulah sepotong bambu yang terlempar sebagai rindu

Menggadai nasib sebagai rintihan menuju tawaddu

Hamparan langit menjanjikan tangga untuk kembali

Pusara kita takkan pernah ada di bumi

Kau dan aku datang dan pulang ke asal Cahaya

Banda Aceh, 11 Oktober 2007

 

            Rupanya, dalam hal kesaksian, Dino mendapatkan kesempatan besar terkait dengan pekerjaannya di sebuah LSM/NGO. Ia bekerja dan tinggal di Aceh, Bumi yang pernah dihempas oleh tsunami. Laut dalam peristiwa ini menunjukkan eksistensinya yang paling mengerikan. Kesaksian seorang penyair, seperti pernah disampaikan Isbedy Stiawan, untuk tragedi tsunami Aceh, tak sanggup mencapai puncak tragisnya. Tak ada kata-kata yang memadai dalam menggambarkan bencana itu. Saya sangat setuju. Kelemahan saya untuk menceritakan peristiwa itu membuat saya memilih sisi psikologis korban, jauh setelah bencana berlalu. Cerpen “Laut Lepas Kita Pergi” tidak menceritakan proses tsunami, hanya mengangkat pertempuran batin seorang yang nyaris putus asa setelah tak punya siapa-siapa lagi sesudah tsunami.

            Dino sedikitnya menulis tiga puisi sebagai reaksi kepenyairannya terhadap bencana tsunami Aceh. Idiom apa yang dapat mewakili kesedihan, kehilangan, kehancuran, dan kemusnahan umat manusia dalam suatu wilayah? Kompleksitas perasaan akibat kompleksitas kejadian itu tak tergambarkan. Dapat saya katakan, penyair akan tampak gagal ketika menyampaikan peristiwa bencana alam, karena keterbatasan kata-kata yang ditulis secara linier. Apalagi jika akhirnya Dino “hanya” menuliskan dalam salah satu sajaknya: Tuhan/Aku rasa kau sedang bercanda saja/Atau sengaja memperingan  tugas kami dengan tsunami itu/Agar kami tak capek-capek  menggelar operasi (“Doa Seorang Serdadu Usai Tsunami”)

            Ada yang perlu diperhatikan dalam menulis puisi. Logika dan koherensi. Saya tidak menguasai teori penciptaan puisi, tetapi ingin menyampaikan hal-hal yang seharusnya dihindari. Dalam puisi “Membunuh Tirani”, tertulis demikian:

Aku lelaki malam yang lahir dari bisa ular

Ketika bulan bersetubuh dengan matahari

Ibuku perempuan desa berlidah api

Yang menikam rindu di bawah kilatan mata parang dalam kepungan ajal

Usai angin barat melintasi garis bumi

 

Secara estetika cukup baik, ada metafora yang sungguh segar. Tetapi hubungan antara baris satu dengan yang lainnya seperti mengingkari kaidah sebab-akibat. Lelaki malam yang lahir dari bisa ular tetapi beribu perempuan desa berlidah api. Saya mencoba memahami, bahwa bisa ular itu adalah (seekor) ibu (hewan) dari desa (fabel) berlidah api. Lidah api tentu cocok untuk mewakili ular atau naga. Ketika bulan bersetubuh dengan matahari (dalam pemahaman umum, kedua benda langit itu eksis pada waktu yang berlawanan), mudah-mudahan bukan penyebab kelahiran sang “aku”, karena akan semakin jauh dari pernyataan awal: lahir dari bisa ular.

            Sangat menarik puisi-puisi Dino justru pada “untaian kata” yang dapat dinyanyikan. Baru membacanya saja saya sudah dapat membayangkan ada irama di dalamnya. Rasanya ini juga kekuatan yang perlu digali dan dikembangkan. Hamid Jabbar adalah salah satu penyair Indonesia dengan kekuatan irama dan melodia untuk puisi-puisinya.

            Cobalah membaca puisi “Enggo”, dibawanya kita pada suasana riang bermain dengan irama ombak lautan di pesisir. Atau puisi “Menuju Tanah Asal”. Mari kita kutip masing-masing:

-Enggo Lari

Ombak-ombak bermain enggo lari

Baku dusu, sampai bibir pantai

Anak-anak hitam manis, keriting

Bau bia, bau laut

Berlari di atas batu karang

Kalung manik-manik bunga cengkih

Jojajo-mungare
Bawa berlayar kole-kole ....

-Menuju Tanah Asal    

Sio Mama

Sio Nona

Kasih tangan

katong teken janji

pakai  sopi, sirih-pinang juga darah dan air mata

tunggu beta dengan kapata

tunggu beta di pantai Morella

 

Sio Mama

Sio Nona

Kirim beta kain salele

Juga parang salawaku deng tifa tahuri

Jangan lupa  lenso putih nona

 

Sio Mama

Sio Nona

Beta pulang deng canga-canga

demi janji

demi negeri

demi nona sio jantung hati

 

            Mungkin karena unsur eksotisme sangat kuat melekat pada ungkapan bahasanya, seperti ada pengalaman asing yang membuat kita terpesona. Kadang-kadang, kejadian sehari-hari yang diangkat dari folklore, atau tradisi (seperti novel Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari dan Sintren Dianing Widya Yudhistira), akan menjadi sesuatu yang “berbeda”, unik, dan langka untuk orang di luar lingkungannya. Kemenangan film-film Garin Nugroho di negeri orang, karena ia berani memberi suguhan yang belum dikenal secara umum oleh publik dunia.

            Saya kira pengalaman melahirkan karya puisi ke tengah publik adalah kekayaan yang tak ternilai untuk langkah-langkah berikutnya. Tak ada yang sempurna sejak awal. Kesempurnaan hanya akan membuat kita takut dan bahkan berhenti berkarya. Biarlah pembaca menikmati dengan selera masing-masing. Hanya waktu yang berhak mengujinya: apakah Dino akan menjadi penyair Indonesia hari ini dan akan datang?

            Bagaimanapun saya selalu memandang karya puisi dan prosa dari sudut paling subyektif. Oleh karena itu saya ingin mengutip lagi puisi Dino yang lain, yang juga saya sukai sebagai penutup.

 

-Senja itu Akan Selalu Jingga

Senja itu akan selalu jingga

Seperti Tuhan menari dalam cahaya

Di mana emas dijentikkan dari jemari-Nya

Di pantai itu

****

Jakarta, 27 Februari 2008, pukul 16:30

Kurnia Effendi

(ditulis untuk mengantar peluncuran dan diskusi antologi puisi Birahi Laut karya Dino F. Umahuk, 27 Februari 2008, pukul 20:00 di Warung Apresiasi Bulungan)

 

 

 

 

 

Tuesday, February 26, 2008

Omah Sendok

Agak tersembunyi dari jalan besar, dekat tikungan, di tengah lingkungan perumahan mewah, memiliki dua akses, tak jauh dari pusat perbelanjaan terkemuka, terletak di Jakarta Selatan: Omah Sendok namanya. Kata sendok berhubungan erat dengan makanan, benar, tak akan disangkal. Omah Sendok merupakan sebuah kafe dengan sejumlah menu yang berkiblat pada warisan kuliner Indonesia. Tetapi, menurut Nurlaely Wicahyuni, wanita cantik yang dipercaya untuk mengelola, nama sendok di situ diambil dari nama jalan tempat resto itu bercokol. Jalan (Taman) Empu Sendok nomor 45, Senopati.

Saya berkenalan dengan tempat itu di awal tahun 2005. Sebuah bangunan dengan gaya minimalis yang memiliki kolam renang di taman belakang itu menyenangkan untuk nongkrong berjam-jam. Sebagai seorang penulis saya merasa betah tinggal di sana, bahkan seandainya tak seorang pun menemani. Udara mengalir bebas, mata disuguhi warna air kebiruan, rumput hijau, dan segelas kopi bisa membuat saya menghasilkan beberapa bait puisi atau sejumlah paragraf prosa. Jika perut merasa lapar tinggal memilih menu untuk disajikan dalam keadaan hangat. Mau makan apa? Soto tangkar Tanah Tinggi?

Pertengahan Januari tiga tahun lalu, ketika gerimis masih rajin menyiram Bumi, saya bersama teman-teman Klub Sastra Bentang bertandang ke Omah Sendok. Kami baru saja usai diskusi buku Hermawan Aksan, Dyah Pitaloka, di Perpustakaan Diknas. Seingat saya, waktu itu ada Feby Indirani, Gangsar Sukrisno, Rita Achdris, Wien Muldian, dan Endah Sulwesi. Mbak Elly selaku tuan rumah, menemani dengan ramah bersama suaminya, Mas Edy. Seingat saya, malam itu saya memesan bubur sumsum dan wedang kacang tanah. Pokoknya saya memilih menu yang tak banyak dijumpai di kafe lain.

Setelah itu, ternyata, saya jadi sangat rajin ke Omah Sendok. Pelbagai acara saya hadiri. Mulai dari diskusi novel Laskar Pelangi bersama pengarangnya, Andrea Hirata; malam “Cinta yang Terperangkap Aksara” pada 14 Februari 2005 bersama Dua Ibu (Reda Gaudiamo & Tatiana) dan Trie Utami; diskusi buku Filosofi Kopi bersama pengarangnya, Dewi Lestari dan Romo Mudji; peluncuran antologi puisi Kusampaikan karya Lintang Sugianto bersama Mohamad Sobary dan Rendra; diskusi film Deddy Mizwar… Nama kegiatan yang berlangsung tiap Selasa malam itu bernama Selasar Omah, dikelola oleh Akmal Nasery Basral. Acara terakhir yang saya hadiri adalah: peluncuran antologi puisi Karna, Satria Jalan Panah karya Urip Herdiman Kambali, 9 November 2007.

Bila kita cermati, kebanyakan kegiatan yang berlangsung di Omah Sendok berkisar sekitar buku. Apakah karena di dalam Omah Sendok juga terdapat toko buku bernama Galeri Lilin?

”Galeri Lilin lebih dulu lahir,” Elly menjelaskan menjelang tengah malam. Melalui telepon suaranya masih terdengar lantang, tak ada tanda kantuk atau letih setelah seharian mengelola Omah Sendok.    

”Bukankah Galeri Lilin dulu ada di Jalan Bangka?”

”Awalnya di paviliun rumah Gandaria. Itu tahun 2002. Setahun kemudian pindah dengan mengontrak tempat di Jl. Bangka. Di sana juga hanya sampai pertengahan 2004.”

Kepindahan itu seiring dengan kebutuhan. Rupanya Elly dan teman-temannya yang rakus membaca buku tasauf dan spiritual membentuk komunitas kajian buku. Kegiatan bedah buku yang mula-mula berlangsung dua bulan sekali berkembang menjadi setiap dua minggu. Peserta kajian buku spiritual yang semula hanya berdelapan atau berduabelas, lama-lama menjadi berpuluh-puluh orang. Beberapa kali acara bedah buku terpaksa dilangsungkan di tempat lain yang lebih luas. Ada lima komunitas yang cukup aktif berkumpul, di antaranya Komunitas Kajian Alam Semesta (KKAS) dan Komunitas Tangan di Atas (TDA). Maka terpikir untuk mencari tempat yang dapat menampung kegiatan komunitas sekaligus untuk bisnis.

Ditemukanlah lokasi menarik yang bersuasana tenang di Jl. Empu Sendok. Rumah tua itu cocok menjadi sebuah “omah” yang artinya rumah tempat berteduh. Jadi “omah” adalah sebuah nama sekaligus sebuah wadah yang filosofis. Setelah melakukan renovasi sesuai kebutuhan, di sanalah toko buku dan ruang baca Galeri Lilin ditempatkan. Karena biaya sewa cukup mahal, untuk menggerakkan roda usaha, Elly menghimpun tempat-teman dekatnya sampai bersepuluh orang untuk memberat-sama-dipikul-ringan-sama-dijinjingkan modalnya. Satu di antaranya, Wasis, anggota milis “jalan sutera” yang dimotori oleh Bondan “Mak Nyus” Winarno. Apakah lantaran keterlibatan Wasis, sehingga Omah Sendok akhirnya membuka kafe dengan menu beraneka? Entahlah, saya tak sempat menanyakan lebih jauh.

 Persisnya, di Omah Sendok ada toko buku, resto, dan kantor multi media. Elly sendiri, sebagai alumnus Jurusan Arsitektur dari Universitas Brawijaya Malang, menggunakan ilmunya sebagai seorang perencana. Beberapa kantor sahabatnya dirancang oleh tangan dan pikirannya. Sampai sekarang, ia masih meluangkan waktu untuk pekerjaan desain.

Menurut saya, tempat parkirnya yang kurang memadai. ”Ya, terutama jika Omah Sendok dipakai untuk acara wedding,” Elly mengakui. Acara pengantin?

Untuk standing party, taman belakang dan ruang  makan di dalam sanggup menampung sekitar 400 orang. Ngomong-ngomong soal sewa tempat, ternyata dibebaskan asalkan dengan syarat seluruh menu sajian makan dibeli dari Omah Sendok. Pantaslah jika kaum muda mandiri yang berniat menjadi mempelai tanpa bantuan biaya orang tua akan memilih Omah Sendok sebagai tempat resepsi.

Tampaknya menyenangkan ya, mengelola sebuah rumah usaha yang elok dan inspiratif. Dewan Kesenian Jakarta pernah membawa para penyair makan siang di Omah Sendok saat berlangsung Festival Sastra Internasional. Bahkan tanda tangan kontrak film Laskar Pelangi, antara Andrea Hirata dan Mira Lesmana sebagai produser, disaksikan oleh Din Syamsudin di Omah Sendok. Memang sebuah tempat yang tak membosankan. Apalagi bila kita sesekali dihampiri oleh pengelolanya yang selalu tersenyum manis.

Mau meluncurkan buku atau diskusi kebudayaan di tepi kolam renang? Ayo! Mau pacaran di sisi kolam renang? Silakan. Mau berenang? Aduh, maaf, hanya diperkenankan untuk anak-anak. Sebab, kalau misalnya Wulan Guritno atau Luna Maya berenang di sana, tempat parkir tak akan cukup untuk menampung mobil para tamu yang ingin berlama-lama makan di selasar taman belakang itu.... ***

(Kurnia Effendi)

 

 

 

 

 

 

 

 

Konser Leo Kristi bersama Penggemarnya

Nyanyikan Cinta di Bulan Cinta:

Dalam sejarah perjalanan musik Leo Kristi, bermain satu panggung bersama penggemarnya, merupakan kejadian pertama kali. Bahkan mungkin tidak ada musisi atau komposer lain yang pernah melakukannya. Dan itu berlangsung lebih dari satu jam, dengan lebih dari sepuluh lagu, di panggung Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Minggu malam, 17 Februari 2008. “Nyanyikan Cinta di Bulan Cinta“ adalah tajuk acara malam itu. Kehadiran Leo Kristi ternyata masih mampu menyedot sekitar 100 penonton, meskipun malam itu dihiasi rinai hujan.

Adalah Lkers, komunitas penggemar Leo Kristi yang terhimpun dalam komunikasi aktif mailing list LeoKristi@yahoogroups.com, yang menjadi penyelenggara acara. Mulanya mereka hanya saling membicarakan lagu-lagu Leo Kristi dengan kekuatan liriknya yang tak pernah tuntas dibahas. Setelah komunikasi melalui media maya itu berlangsung setahun lamanya, muncul gagasan untuk saling kopi darat. Tentu saja beberapa di antaranya membawa gitar, sehingga pertemuan selalu dihiasi dengan tembang-tembang konser rakyat Leo Kristi. Mulai dari Cafe Venecia TIM, Kebun Binatang Ragunan, dan pelbagai tempat lainnya, pertemuan yang layaknya seperti keluarga itu kian mempererat tali persaudaraan. Ikatan di antara mereka begitu kuat walau hanya dengan sama-sama menggemari komposisi langka Leo Kristi.

Setiyadi, Albert Go, Gamawan Waloeyo, Abing Patrick, Henry Ismono, Henry Widjaja, Ramdan Malik, Dwiyatno Rumlan, Yoosca, Tanti, dan lain-lain menghendaki Lkers membuat acara per tiga bulanan. Menetaslah ”telur” acara yang pertama di MP Book Point, 18 Agustus 2007, dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI. Dengan judul acara ”Senja Raya Indonesia Merdeka”, para LKers menyanyi lagu-lagu patriotik, membaca puisi dan kesaksian terhadap perjalanan negeri ini. Dilanjutkan dengan acara berikutnya pada 10 November 2007 di tempat yang sama. Pada malam ”Pahlawan yang Dilupakan” itu, bahkan diselenggarakan diskusi tentang ”Ruh Pahlawan dalam Lirik Leo Kristi” dengan pembicara Arya Gunawan, dan dibuka dengan pembacaan cerpen oleh Happy Salma.

Di tengah perjalanan komunitas Leo Kristi ini, ”ditemukan” para penggemar akut yang selama ini diam-diam mencintai lagu-lagu Leo Kristi. Melalui pentas Leo Kristi di Balai Sarbini 24 Agustus 2007, bergabunglah anggota baru yang luar biasa itu. Di antaranya Rezza Suhendra (pemetik gitar) dan Bambang Aroengbinang (pemetik bas). Kini LKers semakin kaya dengan musisi yang sudah tak perlu disangsikan lagi fanatiknya terhadap Leo Kristi. Rezza, yang menonton pertama kali Konser Rakyat Leo Kristi semasa SMP, kini telah menguasai 96 lagu karya Leo Kristi!

Maka dapat dikatakan, bintang malam itu, di Wapres Bulungan, selain Leo Imam Soekarno, tentu saja Rezza Suhendra. Dalam penampilan mereka di panggung, kerap kali keduanya (Leo dan Rezza) melakukan ”jam session” dengan petikan-petikan ajaib. Penonton malam itu serasa menemukan oase yang dirindukan setelah bertahun-tahun kehilangan daya getar Leo Kristi. Pertunjukan ”Puisi Gelap” tahun 2005 di Graha Bhakti TIM adalah penampilan panjangnya yang terakhir.

Malam itu dibuka dengan pembacaan ”love story” dari Ari Nurtanio (LKer) yang dilanjutkan dengan Sena (LKer) menyanyikan dua lagu komposisi Art & Garfunkel. Musikalisasi puisi yang dibawakan oleh kelompok teater asuhan Aryo (LKer) menyajikan tiga lagu, bertema cinta. Selanjutnya, Rezza Suhendra tampil mengiringi Ayu (LKers) membawakan ”Bintang Pelangi”, ”Tembang Diahati”, dan ”Rumput Raya Kemesraan”. Setiap usai lagu, walau tampak senyum Rezza malu-malu, dan Ayu mengaku sedikit gemetaran, tepuk tangan membahana di malam gerimis itu.

Pasti semua tidak pernah menyangka, bahwa setelah itu, Rezza memanggil Bambang Aroengbinang dan Gamawan Waloeyo untuk naik panggung dan menyanyikan nyaris sempurna lagu: ”Solus Aegroti Suprema Lexest”, ”Sinagoga-Sinagoga”, dan ”Serenada Pagi 1971” membuat Wapres Bulungan semakin hangat. Tipologi penggemar Leo Kristi umumnya tidak meminta kesempurnaan tetapi ingin mencapai ”rasa” yang kemudian diistilahkan secara nakal sebagai ”orgasme”. Boleh jadi, karena sang maestro, Leo Kristi, juga melakukan semacam chaos panggung dengan jeda yang lama atau nyetem gitar di saat pertunjukan sudah mulai.

”Mas Leo, mohon izin untuk menyanyikan lagu-lagu Leo Kristi. Kami ini anak-anak rohani Mas Leo, tak boleh ditolak kehadirannya,” demikian ujar Setiyadi yang didapuk sebagai Ketua ”Dewan Syuro” LKers di panggung.

Secara jujur, perjalanan awal para LKers ini cukup berat, ketika Leo Kristi masih merasa tak berkenan dengan kiprah penggemarnya. Namun waktu dan kesabaran para LKers telah mencairkan hati sang troubadour yang membuka dirinya untuk melebur dengan para penggemar. Suatu saat LKers mungkin bakal membesarkannya namanya kembali. Mood baik Leo Kristi ditunjukkan dengan kedatangannya ke Jakarta dua hari sebelum pertunjukan, bahkan bersedia melatih para LKers di rumah Bambang Aroengbinang di Cibubur. Suatu kebahagiaan dari impian lama para LKers yang terpendam selama ini. Konon, hubungan indah itu juga terjalin karena ada dukungan dari soulmate sang maestro, inspirator lagu ”Nyanyian Musim” dan ”Baptis Theresia”. 

Malam merangkak dalam cuaca dingin, tapi Wapres Bulungan kian hangat. Ketika Leo Kristi akhirnya naik ke atas panggung, terjadilah reuni yang tak disangka-sangka. Gayatri sang vokalis masa lalu dan Naniel peniup flute sejak awal karier konser rakyat Leo Kristi, dipanggil untuk mendampingi. Suasana yang sangat mengharukan, meskipun nyanyian mereka terbata-bata (tentu karena tak pernah latihan sebelumnya), tetapi para LKers di kursi penonton bisa menyambung nyanyian mereka. Sekali lagi, yang diperlukan adalah ”rasa” bukan kesempurnaan teknik.

Hadir di antara penonton, tokoh ekonomi Faisal Basri, dalang mbeling Sujiwo Tejo, mantan wartawan Tempo Yusi Avianto Pareanom, Ari Malibu, Reda Gaudiamo, dan banyak lagi. Mereka menikmati pengalaman luar biasa, ketika menyaksikan Leo Kristi bisa begitu lebur dengan Rezza, Gamawan, Bambang, Aries, Sena, Setiyadi, Ayu, Tanti, dan Ibu Totot. Kolaborasi perdana yang—menurut Rezza—tak dapat diucapkan dengan kata-kata. Para LKers yang hadir tak hanya dari Jakarta dan Bogor, melainkan dari Bandung, bahkan Kalimantan.

Malam menutup tirai, entah berapa lagu leleh seperti hujan ke dalam hati sanubari para penggemar Leo Kristi. Diakhiri dengan ”Bedil Sepuluh Dua Jelang Empat Puluh Tahun Merdeka”. Sang Maestro masih akan mengembara bersama LKers menghabiskan malam. Ketika: lentera-lentera jalan tak mengenal dirinya lagi...

(Kurnia Effendi)

 

 

 

Wednesday, February 20, 2008

Lima Jam Bersama Shiho Sawai

Ketika berada di Yogya, tanggal 21 Januari 2008 yang lalu, saya membuat janji bertemu dengan Shiho Sawai. Gadis Jepang nan cantik ini sedang melakukan penelitian sastra di Indonesia. Untuk memudahkan pekerjaannya itu, mahasiswa tingkat doktoral (S3) di Universitas Tokyo ini, mendaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Gajah Mada. Shiho menyambut ajakan saya, kami janji bertemu Selasa pagi, 22 Januari 2008.

Cafe Exelso, Galeria, Yogya (10:10)

Saya meluncur dari hotel ke Galeria di Jalan Solo. Itu tempat paling mudah dijangkau, apalagi Shiho tinggal di belakang kompleks pertokoan itu. I’m coming in five minutes,” begitu janjinya.

Sengaja memilih kedai kopi di sudut yang tidak berisik, karena kami akan berbincang banyak hal tentang kegiatan Shiho selama di Indonesia. Demikianlah, saya pesan cappuccino hangat seraya menunggu kedatangannya.

Tak meleset dari ucapannya, Shiho tiba dengan... setelan baju muslim hijau yang dipadu-padan dengan jins. Mata sipitnya menghilang ketika tersenyum. Saya persilakan dia untuk pesan minum, lalu percakapan mulai mengalir. Saya takut mengganggu waktu kuliahnya.

”Oh, saya tidak kuliah setiap hari. Hanya ikut satu mata kuliah dari Pak Faruk HT,” jawabnya menenteramkan saya.

”Jadi sebenarnya di UGM untuk mengambil doktoral atau bagaimana?”

”Saya tetap menjadi mahasiswa S3 di Jepang. Saya menerima beasiswa untuk penelitian sastra di Indonesia. Tetapi untuk mendapatkan banyak pengetahuan harus bergaul dengan banyak orang di sini, salah satu caranya, saya harus mendaftar sebagai mahasiswa di UGM. Kedua pihak universitas sangat membantu proses itu.”

”Berapa lama di Indonesia? Tampaknya sudah mahir bahasa Indonesia.”

”Beasiswa saya hanya untuk 2 tahun, tetapi saya sudah belajar bahasa Indonesia sudah sepuluh tahun.”

”Oh, pantesan. By the way, tinggal sebentar lagi di sini.”

Ya, Agustus tahun ini saya harus sudah kembali ke Jepang,” ujarnya. Nada suaranya mengisyaratkan rasa berat meninggalkan Indonesia.

Percakapan ringan terus berlangsung sembari minum kopi. Mendadak saya ingat janjinya mau menunjukkan tempat lotek yang enak. Kami sepakat meninggalkan Galeria.

Saya pikir akan jauh tempat makan siang itu, rupanya hanya sebentar ditempuh dengan jalan kaki. Lewat belakang pertokoan, ada kompleks perumahan, salah satu rumah besar di situ adalah tempat kos Shiho.

”Sama siapa saja tinggal di situ?”

”Banyak mahasiswa. Tapi mereka suka heran melihat saya larut malam masih bekerja dan tidak bergegas di pagi hari,” Shiho tertawa.

”Secara pergaulan, bagaimana orang-orang Yogya?”

”Mereka sangat baik dan ramah. Kita kadang-kadang kumpul tanpa harus minum-minum seperti di Jepang. Enak sekali suasananya, saya lebih suka.”

Sampailah kami di sebuah kedai lotek yang menjadi makanan favorit Shiho.

Kedai Lotek Bu Bagyo, Yogya (12:15)

Kami mendapat tempat duduk di serambi. Pemandangan lebih bervariasi dan semilir angin langsung terasa sejuk. Hari cerah, matahari bersinar tanpa penghalang.

            ”Saya pesan lotek juga, pakai lontong,” kata saya. Shiho yang masuk ke dalam untuk memesan. Sambil menunggu lotek, kami melanjutkan percakapan.

”Jadi sudah sejauh mana hasil penelitiannya?”

Shiho menggeleng. ”Ternyata tidak mudah. Saya butuh waktu lama untuk adaptasi dan mencari narasumber. Setelah mendapatkan, saya himpun dulu. Saya belum mulai menulisnya.”

”Selama ini banyak ikut kegiatan dan bahkan jadi pembicara, termasuk Kongres KSI di Kudus. Tentu banyak bahan.”

”Ya, memang. Itu sangat membantu. Masalahnya, untuk sekaligus mendapatkan banyak data, agak sulit. Saya harus berhari-hari terlibat dengan sebuah komunitas. Untungnya masyarakat di Indonesia mudah diajak bicara.”

Benar juga, lotek itu cukup nikmat di lidah. Pantas selalu ramai. Dan harganya pasti terjangkau untuk kalangan mahasiswa.

”Apakah ini makanan favoritmu?”

”Ya. Di Yogya susah cari menu sayuran segar. Gudeg kan tidak segar dan rasanya manis. Saya tidak suka manis. Saya lebih memilih masakan Padang untuk alternatif.”

Dalam satu jam kami telah selesaikan urusan makan siang. Shiho mentraktir saya. Selanjutnya saya menawarkan tempat lain untuk ”kongkow”.

Sudah pernah ke MP Book Point di Jl. Kaliurang?”

”Belum pernah. Ada apa di sana?”

Ringkas cerita, kami sepakat untuk naik taksi ke MP Book Point. Sebuah toko buku yang menyediakan kafe dan bebas berinternet. Hanya lima belas ribu ongkosnya. Di sana sudah menunggu cerpenis Puthut EA dan Dodok Hartoko dari Penerbit Buku Baik.

MP Book Point, Jl. Kaliurang Km 5,3, Yogya (13:40)

Di MP Book Point ada kafé bernama Rumah Kopi. Kami bergabung dengan Puthut EA di kursi outdoor. Sebentar-sebentar harus bergeser sesuai dengan bayang-bayang paying, agar tak tersengat terik matahari.

            Kami berdua mendapat souvenir buku dari Puthut EA, tulisannya tentang pengalaman di Aceh dan Nias pasca tsunami, berjudul Lewat Batas Luka.

            “Menurut Shiho, apakah penerbitan buku di Indonesia cukup bergairah?”

“Betul. Dulu menurut info, hanya 2000 judul setahun, sekarang sudah meningkat menjadi 6000 judul setahun. Tetapi masih kalah jauh dengan Jepang atau negara Amerika yang sudah rata-rata 15.000 judul per tahun.”

”Jika dibandingkan dengan Malaysia, bagaimana kulaitas sastra kami?”

Indonesia lebih baik. Lebih kreatif. Selain itu, saya kagum dengan seniman Indonesia yang low profile.” Lalu Shiho menceritakan pengalaman bertemu dengan banyak sastrawan dalam kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, rata-rata bersahaja. Kadang-kadang Shiho tidak menyangka, yang dihadapinya ternyata pengarang besar, seperti Habiburrahman El-Shirazy, misalnya. Sayang sekali waktunya tidak memadai untuk berbicara lebih mendalam dengan mereka.”

Saya menulis beberapa buku, mana yang Shiho belum punya?”

“Biar saya beli sendiri saja. Apa saja judulnya?”

Tak lama kemudian datang Tia Lesmana dan Gangsar Sukrisno. Keduanya almunus Universitas Padjadjaran. Tia pernah menjadi penulis puisi di masa lalu dan kini menjadi pengusaha; sedangkan Gangsar selain menjadi CEO penerbit Bentang Pustaka juga mengelola toko buku MP Book Point.

”Nanti akan bekerja di mana setelah selesai S3?”

”Tak ada pilihan lain, tentu menjadi dosen Sastra Indonesia. Tapi, persaingan cukup ketat karena banyak ahlinya.”

”Mengajar di sini saja. UGM atau UI.”

Shiho hanya tertawa. Di Jepang saja sangat kompetitif, bagaimana di Indonesia?

Pembicaraan berlangsung meluas ke dinamika penerbitan buku di Yogya dan kegiatan para penulis. Kami kembali memesan kopi, saya memilih yang dingin, Shiho mencoba kopi tubruk Vietnam. Tak sadar, waktu terus bergulir sampai matahari condong. Saya harus ke bandara Adisucipto untuk terbang kembali ke Jakarta senja itu.

Tia Lesmana mengantar saya ke bandara. Shiho Sawai, yang berminat pada sastra Indonesia berkat membaca Pramoedya Ananta Toer, turut serta hingga ke Galeria. Kami berpisah di sana. Berharap dapat berjumpa lagi 16 Februari 2008, dalam acara ulang tahun ketiga Milis Apresiasi Sastra di Japan Foundation Jakarta.

(Kurnia Effendi)