Wednesday, October 07, 2009

HARGA HOSPITALITY

Dalam beberapa fakta, memilih perusahaan swasta sering dilakukan karena sejumlah kelebihan yang ditawarkan. Jasa pengiriman barang, rumah sakit, sekolah, bank... wah, justru pada sektor-sektor penting. Apa yang kerap menjadikan lembaga bisnis milik negara menjadi pilihan kedua?

Ada sistem birokrasi dalam lembaga komersial pemerintah yang terkadang bukan melancarkan namun justru menghambat. Citra itu melekat umumnya karena kesalahan yang diawali dengan rasa tidak peduli pada sumber daya manusianya. Pemikiran bahwa “saya digaji oleh negara hanya untuk pekerjaan ini” meredupkan keinginan seseorang untuk meningkatkan simpati dan empati terhadap kepentingan orang lain. Sementara banyak perusahaan swasta, dengan sistem manajemen modern berprinsip: “pelanggan adalah aset dan merekalah yang menggaji saya”

Maka orang memilih jasa pengiriman swasta yang “menjemput bola”. Sejumlah biro perjalanan swasta bersedia membuka cabang kecil di gedung-gedung perkantoran, adalah upaya mendekati konsumen. Bank-bank swasta yang peduli kepentingan nasabah, teller mereka akan tetap melayani pada saat jam istirahat (mengatur jadwal makan siang bukan soal yang rumit). Anak-anak kita menempatkan pilihan pada sekolah menengah swasta dan perguruan tinggi favorit yang juga bukan milik pemerintah di benak masing-masing. Jangan salahkan mereka, karena citra itu terbentuk bukan dari persuasif singkat, melainkan pengalaman para pendahulunya.

Tetapi khusus untuk penerbangan, saya pribadi memilih Garuda Indonesia yang jelas milik pemerintah. Ada sejumlah alasan yang menempatkan Garuda pada prioritas pertama sebelum akhirnya naik pesawat milik maskapai swasta nasional. Pertama, tentu karena rasa aman yang bukan ditawarkan tetapi dibuktikan. Barangkali karena kondisi pesawatnya yang rata-rata lebih terawat dibanding yang lain, yang memang menambah nilai biaya tiketnya. Saya kira kompensasi itu seimbang. Sebab saya pernah mendengar ada biaya yang ditekan untuk faktor pemeriksaan rutin “kesehatan pesawat”.

Hal kedua soal ketepatan waktu. Bukan berarti tak pernah terlambat karena saya pernah beberapa kali mendapat jadwal delay untuk Garuda. Tetapi sungguh paling cemas kalau dalam waktu yang mepet saya harus mengejar pesawat Garuda. Apalagi saya tinggal di Jakarta, tak boleh main-main dengan in jury time, mengingat lalu lintas di ibukota negara kita ini mirip cuaca perangainya.

Soal hospitality, lagi-lagi ada yang berbeda antara Garuda dengan maskapai penerbangan swasta. Sedikit menyinggung soal rumah sakit yang kini seolah-olah dikuasai oleh swasta, memang  kemenangan mereka pada hospitality. Beberapa rumah sakit yang pernah saya masuki (bukan untuk dirawat, melainkan besuk teman yang sakit), memberikan suasana nyaman dan mendorong pasien untuk segera sembuh. Setiap pasien diperlakukan seolah-olah hanya mereka yang sakit di gedung itu. Sementara rumah sakit negeri membiarkan antre panjang berlangsung, penerangan yang berkesan suram, lorong-lorong yang menyarankan pada rasa takut... jadi cocok untuk lokasi syuting film horor. Oleh karena itu saya gembira saat melihat RS Cipto Mangunkusumo dalam beberapa tahun terakhir ini mengubah dandanan luar-dalam.

Kembali kepada Garuda, memang kita tidak semata berjumpa dengan pramugari muda yang menjadi andalan penerbangan swasta, tetapi kita bertemu dengan kematangan cara pelayanan. Keanggunan tak mungkin sembunyi, ketika sambutan disampaikan oleh kru yang mengenakan uniform santun. Mungkin ada yang suka pada hiburan sejam dua jam penerbangan dengan memandang raut manis selintas dua lintas, walaupun yang dihadirkan oleh mereka cukup senyum. Padahal, tak harus bertanya kepada penumpang apakah sudah sarapan atau makan siang, masing-masing berhak mendapatkan sajian untuk dikudap. Tentu ada harga yang dimasukkan dalam tiket, untuk snack atau menu makan yang kerap memiliki dua pilihan. Kita pun bebas memilih minuman yang ditawarkan bahkan dalam porsi yang lebih dari tiga gelas. Lho, saya sering mengambil kesempatan “mumpung” itu. Misalnya mula-mula susu dan teh. Setelah wadah kudapan yang sudah kosong diangkat, saya akan minta apple juice atau kopi. Jika perjalanan memanjang, bolehlah segelas lagi orange juice...

Dalam beberapa kali perjalanan ke Aceh yang transit di Polonia Medan, saya meniru teman yang bekerja di Unesco. Sengaja menyimpan kota snack yang biasanya terdiri dari dua kue manis dan asin untuk dibawa turun dan memberikannya kepada petugas cleaning service di bandara persinggahan. Alangkah senangnya mereka menerima “kemewahan” yang tidak rutin itu.

Rasa aman dan nyaman memang menduduki urutan pertama dalam pertimbangan saya ketika hendak melaksanakan perjalanan ke kota-kota yang jauh di Indonesia. Ke Jambi sebetulnya banyak maskapai penerbangan yang berangkat dari Jakarta, sementara Garuda hanya satu kali dalam sehari. Dengan sedikit akal-akalan, tentu saja dengan cara menambah item pekerjaan, dinas ke Jambi harus pergi dan pulang dengan Garuda. Seakan-akan, dengan naik Garuda, rasa takut terbang pun hilang.

Bukan berarti Garuda tidak pernah mengalami musibah, namun setidaknya masih terdapat peristiwa-peristiwa heroik yang menempatkan Garuda pada suatu pujian. Pendaratan darurat di Sungai Bengawan Solo adalah salah satu sejarah yang tak terlupakan dari paduan antara tanggung jawab dan keterampilan sang pilot.

Dengan pelbagai kemungkinan yang terjadi dalam penerbangan dengan pesawat, memang pantas kita berikan pernghargaan pada kru yang selalu berada dalam kondisi fit. Saya pernah menjadi tetangga seorang awak pesawat Garuda. Seperti rutin beberapa kali dalam seminggu ada mobil jemputan yang berhenti pada pukul 3 dinihari di depan rumahnya. Udara masih dingin bahkan kadang-kadang dalam siraman hujan, sementara langit tentu masih kelam. Namun tugas harus dijalankan untuk memenuhi kebutuhan para penumpang yang hendak melakukan perjalanan sangat pagi, sebelum melihat matahari. Di luar kepentingan kita yang hendak bersafari, awak pesawat itu tentu memiliki keluarga yang ditinggalkan di saat tidur seharusnya masih nyenyak.

Saya berusaha menghindari terbang malam (karena masih saja terpikir rasa was-was untuk mengarungi lazuardi gelap dengan kecepatan minimal 800 km/jam). Tetapi tak selalu berhasil. Berulang kali perjalanan pulang tugas dari Surabaya, terpaksa menggunakan pesawat yang terbang lewat maghrib. Percaya atau tidak, oleh kelelahan survei beberapa hari, saya akan tidur sejak pesawat Garuda yang saya tumpangi tinggal landas. Sejam cukuplah untuk modal vitalitas menemukan jalan macet di Jakarta malam hari. Mengapa saya berani tidur? Karena percaya pesawat akan diterbangkan dengan benar dan baik. Dan di balik itu semua, Tuhan Maha Melindungi, bukan?

Ketika bberapa waktu lalu saya terbang ke Surabaya dengan GA 302, disambut hujan deras saat mendarat di bandara Juanda. Ada pengumuman menarik pada televisi pesawat: “Garuda membuka rute baru, Denpasar-Mataram”. Ahai, perlu menjadwalkan liburan ke Senggigi tampaknya!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Monday, October 05, 2009

Energi (Mudik) Idul Fitri

Tanpa energi yang memadai, kita akan gagal mudik. Wah, ini bukan rumus persamaan atau axioma yang berlaku dalam pelajaran ilmu pasti. Juga bukan bagian dari hasil tambang yang dapat digunakan untuk tenaga penggerak mesin. Ini semata sebuah realitas yang terjadi setahun sekali dalam entitas masyarakat yang sangat menyukai upacara.

Manusia Indonesia memang penggemar upacara.

Apakah dengan menulis artikel ini berarti saya berposisi di luar lingkaran yang sedang menjadi topik pembicaraan? Tidak. Keluarga saya dan adik-adik saya juga mudik ke tanah kelahiran, ke rumah Ibu. Tegal. Tepatnya Slawi.

Apa yang terbayang sebelum melakukan perjalanan? Antrean panjang kendaraan mulai dari jalan tol Jakarta-Cikampek, jalur Pantura, dan cecabangnya menuju ke daerah tertentu. Cuaca terik yang membuat kita tergoda untuk membatalkan puasa (meskipun memang dibolehkan sebagai hak kaum musafir, yang menyelenggarakan perjalanan lebih dari 90 kilometer). Kesabaran yang diuji oleh situasi jalanan, ketika satu-dua pengemudi lepas kontrol dan saling menyela antrean sehingga menambah runyam keadaan.

Mudik memang (tak) enak dilakukan dan (mungkin tak) perlu.

Sedikit mencontek slogan majalah Tempo, kenyataannya, mudik Lebaran memang berada di antara perlu dan tidak perlu. Disebut perlu ketika sepanjang tahun memang tak pernah menyambangi leluhur di kampung halaman. Namun dapat dibilang tak perlu karena kunjungan ke tanah tumpah darah dapat dilakukan pada kesempatan lain yang lebih leluasa secara waktu dan kondisi perjalanan.

Dalam dua tahun belakangan saya melakukan perjalanan mudik Lebaran melalui jalur yang tak terlalu populer. Sebelum tiba di pengujung Cikampek, memisahkan diri ke arah Sadang, Subang, Majalengka, Cirebon, dan seterusnya ke Tegal, berbelok ke selatan menuju Slawi. Tujuh-delapan jam. Saya berpendapat itu normal, karena jarak yang ditempuh hampir 400 kilometer. Tentu saja, di antara perjalanan panjang dengan kecepatan antara 60 sampai 80 kilometer per jam naik mobil pribadi, kami sempatkan istirahat atau singgah mencari oleh-oleh semisal nenas Subang atau kerupuk goreng pasir ala Cirebon.

Sebelum berbuat cerdik seperti itu, saya dan keluarga biasanya terseret arus padat Pantura (jalur pantai utara). Dan pernah suatu Lebaran, sejak bertolak dari Jatiwaringin Jakarta Timur sampai menjelang masuk Cirebon, menempuh waktu 12 jam. Membuat saya memutuskan menginap di Cirebon (walau sudah dekat ke Tegal) untuk meluruskan tubuh dan menghibur anak-anak yang telah bersedia mengikuti ’upacara’ mudik.

Itu ternyata tak cukup mengherankan, karena pernah pula kami mengarungi ’arena parkir’ terpanjang, Jakarta-Cikampek, padat merayap sejak pukul 11 malam hingga kumandang azan subuh. Semua itu kami lakukan demi sebuah upacara yang bernama mudik Lebaran. Adakah yang kapok? Mungkin ada, namun juga lebih banyak yang tak peduli dengan situasi itu, toh setahun sekali.

Cerita mudik dengan kendaraan pribadi dapat ditepis dulu, giliran memeriksa situasi mereka yang menggunakan kereta api dan bus antarprovinsi. Saat masih mahasiswa dulu (di Bandung), saya selalu keheranan pada teman-teman yang tinggal jauh di Jawa Timur atau Sumatera, yang telah memesan tiket kereta api, pesawat, atau bus, beberapa hari sebelum Ramadhan datang. Rupanya, begitu terlambat sedikit, akan berada pada posisi sangat sulit. Kehabisan tiket atau harus menebus dengan harga yang lebih mahal. Artinya lebih dari harga ”normal” yang telah disesuaikan dengan ketidakseimbangan antara jumlah penumpang dan ketersediaan kendaraan.

Pernah dalam beberapa Lebaran saya menukar kebiasaan. Umumnya anak-anak atau keluarga muda datang berduyun dari kota tempat bekerja sebagai urban menuju kampung tempat orang tua menetap. Saya bersepakat dengan adik-adik yang tinggal di Jakarta untuk menjemput Ibu di Slawi agar berlebaran di Jakarta. Dengan demikian, baik sebelum maupun sesudah Lebaran, perjalanan yang dilakukan selalu melawan arus. Ibu bertolak dari kampung halaman ketika orang banyak melakukan safari ke timur. Begitu kembali ke tempat tinggal saat usai Lebaran, berpapasan dengan arus balik mudik yang biasanya bertambah jumlah karena membawa pembantu baru, baik untuk keluarga sendiri maupun tetangga.

Demikianlah, semua bentuk dan model mudik Lebaran, selalu dilakukan dengan energi tinggi. Mengulang pernyataan di awal tulisan: jika tak cukup energi, perjalanan mudik akan terasa sangat menyengsarakan. Sebetulnya bukan semata tenaga yang harus disiapkan, terlebih lagi mental yang diuji batas kesabarannya di sepanjang jalan. Biasanya mudik berlangung di saat masih dalam suasana Ramadhan, sehingga dapat dibayangkan keletihan saat menjalaninya kecuali dengan menggunakan hak musafirnya untuk berbuka.

Apakah soal fisik dan psikis itu cukup? Tidak. Ada lagi yang wajib dipenuhi sebagai syarat suksesnya perjalanan mudik Lebaran. Tidak lain adalah bekal dalam bentuk uang. Tidak ada kekecualian, ongkos kendaraan beramai-ramai naik. Dengan istilah tuslah atau tarif yang disesuaikan, harga karcis bus dan kereta api secara resmi ditingkatkan, lalu oleh para calo dilipatgandakan. Apakah keluarga yang berkunjung ke kampung halaman untuk bersua dengan handai tolan akan bertangan hampa? Tentu tidak. Bahkan anak-anak dan menantu yang berbakti, sejak jauh hari, telah mengirimi orang tua masing-masing dengan THR (Tunjangan Hari Raya). Sejumlah perusahaan yang sehat, membagi THR bagi karyawannya paling lambat dua minggu sebelum Idul Fitri.

Setiba di kampung, ada tradisi berbagi, yang punya rizki ”berlebih” mendermakan uangnya kepada sanak saudara yang secara ekonomi lebih rendah, kepada anak-anak yang memang mengambil kesempatan Lebaran untuk mencari uang jajan ekstra, dan zakat yang diperhitungkan secara matematis oleh aturan Islam.

Bagi keluarga yang tak punya tanah udik sehingga tidak memerlukan perjalanan menengok orang tua atau sesepuh di tempat jauh, mungkin tetap tinggal di kota. Mereka menikmati sepi dan lengangnya ibukota yang kehilangan hampir dua pertiga penduduknya. Namun apa yang harus dilampaui dalam seminggu dua minggu itu? Bekerja menggantikan tugas pembantu yang mudik. Asisten rumah tangga yang memperoleh kesempatan berlibur dari kewajiban rutin, diwanti-wanti oleh majikannya agar kembali lagi. Untuk melerai rasa takut ditinggalkan karena satu dan lain hal, biasanya menjanjikan kenaikan gaji bila setelah Lebaran kembali lagi.

Begitu sakralnya perayaan 1 Syawal sebagai hari raya Idul Fitri. Kondisi yang mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat Indonesia (sebagai negeri dengan penduduk Islam terbanyak), menciptakan kumparan energi luar biasa. Mulai dari gerakan massa yang telah melibatkan efort kerja hampir setiap elemen (kepolisian, rumah sakit, pengusaha kuliner, pengusaha transportasi, perbankan, dan badan amal zakat—untuk menyebut beberapa) sampai dengan waktu yang hilang oleh dampak ’upacara’nya. Betapa semua pekerjaan (proyek yang memerlukan padat karya) terhenti sejenak untuk tunduk pada pesta yang bersiklus tahunan. Alasan yang paling masuk akal saat para tenaga kerja itu kembali dari kampung halaman adalah kesulitan kendaraan.

Tanpa mengurangi makna hari kemenangan bagi kaum muslimin dan muslimat yang berhasil melawan hawa nafsu sepanjang bulan Ramadan, mungkin tak harus dibuktikan dengan kewajiban mudik yang—inalillahi wainailaihi rojiun—kerap membawa korban kecelakaan lalu lintas. Ajal memang tak dapat disangkal. Namun pertimbangan keselamatan perlu menjadi prioritas sebelum sampai kepada tafsir siltaurahmi yang aman bagi semua pihak.

(Kurnia Effendi, penulis novel Merjan-Merjan Jiwa)

 

Friday, October 02, 2009

Penanda Pengukuhan Batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia

Kurnia Effendi:

 

BATIK

 

Mungkin aku hanya selembar mori, awalnya

Sebagai pembungkus jenazah, mengantarnya ke liang lahat:

Lorong yang menghubungkan ke semesta yang lebih keramat

 

Namun suatu hari tangan seni membentangkan diriku

Seuntai garis, seberkas corak, menghias tubuhku serupa tatu

Dirundung lilin cair dengan tekun, seperti prosesi embun

Direndam dalam gelimang warna, mengisi ruang benang

yang tak terlindung. Sebelum sorot surya mengekalkannya

Demikian silih berganti, berhari-hari, berhati-hati

 

Aku pernah menjadi mori, katun, kain satin, cita sutra

Dan serat nenas menyusup ke dalam jalinan

Dicium bibir canting dengan kesungguhan dan tiupan ruh

sang juru sungging. Mata yang teduh menatap sabar penuh kasih

Agar tiap bercak, lengkungan, dan tebal-tipis rona, memiliki irama

 

Berbeda antara satu dan tangan mumpuni yang lain, tercipta sejumlah nama

Untuk tiap kelahiran di pedalaman maupun pesisiran

Bermacam cara membentuk citra tak serupa, antara tulis dan tera

Ke pelbagai negeri keluargaku bermuhibah, hingga antah-berantah

Tercatatlah tempat lahir yang menjadi buah bibir:

Surakarta, Yogyakarya, Pekalongan, Cirebon, Banyuwangi, Garut,

Tegal, Lampung, Palembang, Makassar, Banjar, dan seantero yang lain

 

Mungkin aku pernah ningrat dalam buaian sayang pemilik darah biru

Namun tak menolak turun anjangsana ke pelataran rakyat jelata

Mengiringi perjalanan para saudagar, menghias tubuh pengantin,

Menjadi selendang penari, mewarnai pelbagai festival dan karnaval

 

Janjiku dari Tanah Pertiwi:

”Kepada siapa pun aku ingin mengabdi

sebagai jati diri.”

 

 

Jakarta, 2 Oktober 2009

Menandai pengukuhan seni batik sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia