BINCANG PAGI DENGAN "PARLE"
Salam Sastra, Salam Sepanjang Braga.
Sebelum tiba pada cerita perbincangan dengan PARLE, perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Adhika Dirgantara. Anak muda yang grapyak dan penuh perhatian ini telah memprovokasi saya untuk membuat blogger. Maka, adrakadabra: kini telah terhampar halaman tak tepermanai untuk menumpahkan seluruh isi hati dan pikiran Kurnia Effendi.
Terima kasih juga kepada Endah Sulwesi, yang telah memberi nomor hp Dhika, yang sekalipun beberapa kali bersua dalam diskusi sastra dan melalui milis Klub Sastra Bentang, saya tak punya catatan data ponselnya. Saya harus menyambut usul positif Dhika melalui email, bahwa kesaksian saya terhadap peristiwa sastra yang saya hadiri itu ditulis dalam blogger.
Nah, itulah dia. Mari kita mulai:
Sabtu pagi yang cerah, 15 april 2006 saya meluncur ke Cempaka Putih. Ada seorang sahabat yang kupanggil Mas Tony, anggota milis LeoKristi, yang beberapa hari sebelumnya mengundang saya untuk ngobrol di kantornya. Hari Sabtu tentu tak mirip dengan jam kantor, jadi saya hadir ke rumah-kantor itu dengan busana santai saja.
Di ruang tamu yang lengang saya menunggunya turun dari kamar di lantai dua. Ini adalah hari pertama saya bertemu dengannya, meskipun telah bercakap-cakap panjang sebelumnya melalui telepon. Begitulah, saya mendapati sosok lelaki yang matang (oleh pengalaman dan asam-garam kehidupan jurnalistik), yang menyambut saya dengan senyum lebar.
Dia dua tahun lebih muda dari saya, namun bertemu dengannya, seolah saya lebih culun. Tapi tak apalah, saya kadung ingin menggali ilmu dan wawasannya. Syukur-syukur ada chemistry yang terpadu, sehingga persahabatan yang terjalin tak hanya terbatas pada teknis dan permukaan, namun lebih kepada keinginan saling mengisi hati nurani.
Rupanya, Mas Tony (biarlah saya memanggilnya seperti itu), bermaksud pamer tabloid yang dipimpinnya: PARLE. Juga, tentu saja, ingin memberi saya nomor bukti atas pemuatan 2 puisi saya di Parle terbaru, halaman 18. Ah, senangnya. Walaupun saya sudah menulis sejak 28 tahun yang lalu, selalu ada kebahagiaan setiap mendapatkan puisi, prosa, esai, atau apapun yang saya tulis dalam sebuah halaman media massa.
Ingin tahu puisi apa yang tercantum di sana?
"Arus Cinta Cisadane" dan "Rubaiyyat Duka Nias". Untuk puisi kedua, versi panjangnya pernah saya bacakan (atas permintaan Akmal Nasery Basral) di Selasar Omah, saat acara peluncuran buku puisi Lintang Sugianto yang bertajuk "Kusampaikan" pada tanggal 28 Maret 2006. Pada tanggal yang sama, di Nias, sejak lepas Isya hingga tengah malam diselenggarakan upacara peringatan satu tahun Gempa Nias yang dahsyat, menyusul bencana tsunami 3 bulan sebelumnya.
PARLE terbaru akan beredar Senin, 17 April 2006. Mudah-mudahan gampang dicari di seantero Jakarta (dan tentu Bogor, Tangerang, Surabaya, Cirebon, dan Denpasar).
Omong-omong dengan tokoh low profile yang bernama lengkap R. Widjojo Hartono (bagi para wartawan, tentu nama ini tak asing) yang pernah menjadi pejabat di Jawa Pos, ini sangat menenangkan. Sikapnya yang terbuka, ekstrovert, tentu atas pengaruh pencerahan dari Ustadz Yusuf Mansur (Wisata Hati). Insya Allah, suatu hari saya juga akan mencari waktu agar dapat dipertemukan dalam suasana yang lebih santai dengan Ustadz Jalan Sedekah ini. tak hanya mendengarkan ceramahnya di masjid kantor, misalnya.
Untuk Mas Tony, tentu saya bingkiskan buku (seperti juga kepada Adhika Dirgantara, pada sebuah sore di Arion Plaza). Sekilas dia membaca langsung memberikan komentar yang membuat saya tersipu luar-dalam. Wah, bahasanya bagus, katanya. Dan selalu saya sampaikan, bahwa sebagai penulis saya hanya memiliki alat bahasa untuk dapat 'menyihir' para pembaca. Tentu dalam kalimat yang berbeda dan berpanjang-panjang saya sampaikan argumentasi saya itu.
Ketika Mas Tony menganggap saya telah memetik banyak materi dari hasil royalti buku, dengan sedikit murung (namun tetap optimis) saya katakan bahwa itu tidak benar. Karena di Indonesia, masalah royalti hasil tulisan belum menjadi impian yang patut diandalkan. Hanya satu-dua pengarang yang berhasil karena pas antara yang ditulis dengan harapan atau selera pembaca. Teenlit saat ini mungkin berhasil, tapi ternyata juga tidak untuk semua judul atau semua penulis. Ya... jadi menulis, kembali lagi seperti konsep semula: sebagai hobi, penyeimbang batin, dan sebuah jembatan untuk bertemu dengan para sahabat melalui jalur seni dan intelektual. Semoga semua yang saya tulis akan mencerahkan pembaca, sehingga saya memperoleh kepuasan dua kali.
Sekitar 2,5 jam kami berbincang, dengan suguhan kopi yang sedap, akhirnya saya pamit dengan segengam harapan. Saya memang harus pamit karena berikutnya akan bertemu dengan M. Iksaka Banu untuk bicara hal yang lebih mendebarkan: novel Raden Saleh.
Salam,
Kurnia Effendi
Sebelum tiba pada cerita perbincangan dengan PARLE, perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Adhika Dirgantara. Anak muda yang grapyak dan penuh perhatian ini telah memprovokasi saya untuk membuat blogger. Maka, adrakadabra: kini telah terhampar halaman tak tepermanai untuk menumpahkan seluruh isi hati dan pikiran Kurnia Effendi.
Terima kasih juga kepada Endah Sulwesi, yang telah memberi nomor hp Dhika, yang sekalipun beberapa kali bersua dalam diskusi sastra dan melalui milis Klub Sastra Bentang, saya tak punya catatan data ponselnya. Saya harus menyambut usul positif Dhika melalui email, bahwa kesaksian saya terhadap peristiwa sastra yang saya hadiri itu ditulis dalam blogger.
Nah, itulah dia. Mari kita mulai:
Sabtu pagi yang cerah, 15 april 2006 saya meluncur ke Cempaka Putih. Ada seorang sahabat yang kupanggil Mas Tony, anggota milis LeoKristi, yang beberapa hari sebelumnya mengundang saya untuk ngobrol di kantornya. Hari Sabtu tentu tak mirip dengan jam kantor, jadi saya hadir ke rumah-kantor itu dengan busana santai saja.
Di ruang tamu yang lengang saya menunggunya turun dari kamar di lantai dua. Ini adalah hari pertama saya bertemu dengannya, meskipun telah bercakap-cakap panjang sebelumnya melalui telepon. Begitulah, saya mendapati sosok lelaki yang matang (oleh pengalaman dan asam-garam kehidupan jurnalistik), yang menyambut saya dengan senyum lebar.
Dia dua tahun lebih muda dari saya, namun bertemu dengannya, seolah saya lebih culun. Tapi tak apalah, saya kadung ingin menggali ilmu dan wawasannya. Syukur-syukur ada chemistry yang terpadu, sehingga persahabatan yang terjalin tak hanya terbatas pada teknis dan permukaan, namun lebih kepada keinginan saling mengisi hati nurani.
Rupanya, Mas Tony (biarlah saya memanggilnya seperti itu), bermaksud pamer tabloid yang dipimpinnya: PARLE. Juga, tentu saja, ingin memberi saya nomor bukti atas pemuatan 2 puisi saya di Parle terbaru, halaman 18. Ah, senangnya. Walaupun saya sudah menulis sejak 28 tahun yang lalu, selalu ada kebahagiaan setiap mendapatkan puisi, prosa, esai, atau apapun yang saya tulis dalam sebuah halaman media massa.
Ingin tahu puisi apa yang tercantum di sana?
"Arus Cinta Cisadane" dan "Rubaiyyat Duka Nias". Untuk puisi kedua, versi panjangnya pernah saya bacakan (atas permintaan Akmal Nasery Basral) di Selasar Omah, saat acara peluncuran buku puisi Lintang Sugianto yang bertajuk "Kusampaikan" pada tanggal 28 Maret 2006. Pada tanggal yang sama, di Nias, sejak lepas Isya hingga tengah malam diselenggarakan upacara peringatan satu tahun Gempa Nias yang dahsyat, menyusul bencana tsunami 3 bulan sebelumnya.
PARLE terbaru akan beredar Senin, 17 April 2006. Mudah-mudahan gampang dicari di seantero Jakarta (dan tentu Bogor, Tangerang, Surabaya, Cirebon, dan Denpasar).
Omong-omong dengan tokoh low profile yang bernama lengkap R. Widjojo Hartono (bagi para wartawan, tentu nama ini tak asing) yang pernah menjadi pejabat di Jawa Pos, ini sangat menenangkan. Sikapnya yang terbuka, ekstrovert, tentu atas pengaruh pencerahan dari Ustadz Yusuf Mansur (Wisata Hati). Insya Allah, suatu hari saya juga akan mencari waktu agar dapat dipertemukan dalam suasana yang lebih santai dengan Ustadz Jalan Sedekah ini. tak hanya mendengarkan ceramahnya di masjid kantor, misalnya.
Untuk Mas Tony, tentu saya bingkiskan buku (seperti juga kepada Adhika Dirgantara, pada sebuah sore di Arion Plaza). Sekilas dia membaca langsung memberikan komentar yang membuat saya tersipu luar-dalam. Wah, bahasanya bagus, katanya. Dan selalu saya sampaikan, bahwa sebagai penulis saya hanya memiliki alat bahasa untuk dapat 'menyihir' para pembaca. Tentu dalam kalimat yang berbeda dan berpanjang-panjang saya sampaikan argumentasi saya itu.
Ketika Mas Tony menganggap saya telah memetik banyak materi dari hasil royalti buku, dengan sedikit murung (namun tetap optimis) saya katakan bahwa itu tidak benar. Karena di Indonesia, masalah royalti hasil tulisan belum menjadi impian yang patut diandalkan. Hanya satu-dua pengarang yang berhasil karena pas antara yang ditulis dengan harapan atau selera pembaca. Teenlit saat ini mungkin berhasil, tapi ternyata juga tidak untuk semua judul atau semua penulis. Ya... jadi menulis, kembali lagi seperti konsep semula: sebagai hobi, penyeimbang batin, dan sebuah jembatan untuk bertemu dengan para sahabat melalui jalur seni dan intelektual. Semoga semua yang saya tulis akan mencerahkan pembaca, sehingga saya memperoleh kepuasan dua kali.
Sekitar 2,5 jam kami berbincang, dengan suguhan kopi yang sedap, akhirnya saya pamit dengan segengam harapan. Saya memang harus pamit karena berikutnya akan bertemu dengan M. Iksaka Banu untuk bicara hal yang lebih mendebarkan: novel Raden Saleh.
Salam,
Kurnia Effendi
6 Comments:
selamat yah Pak Kef untuk blognya. Jadi asyik bisa dapat tulisan yang akan terarsipkan lebih baik dari sebelumnya.
makin banyak deh tempat buat 'kuliah sastra gratis' hehehe
Woi Mas kef! saya histeris melihat blog ini. Trus ngeblog ya mas, supaya saya bisa berguru.
Maknyak
salam kenal pak kef yang terkenal :P
selamat ya buat blognya... saya link di blog saya juga deh...salam
Novel Raden Saleh memang sepertinya mendebarkan....selain Kang Kef, say juga berdebar-debar menantikan novel ini...
Ayo Kang.....!!!
Post a Comment
<< Home