Selamat Ulang Tahun Milis bungamatahari
selamat ulang tahun
BUNGA MATAHARI
"Halo, Cantik! Siapa namamu?"
"Gratiagusti Chananya Rompas. Panggil saja: Anya."
"Ah, nama yang tak kalah cantik. Boleh aku duduk di sekitarmu?"
"Kok di sekitarku? Maksudmu aku lebih dari satu? Bergerumbul? Rimbun?"
"Eh, maaf, bukan itu maksudku. Mungkin karena aku merasa teduh berada di dekatmu."
"Masuk saja deh, jangan duduk di pagar."
"Oh, terima kasih. Tapi, ini kebun siapa?"
"Kebunku. Kebun kami, maksudku."
"Kebun kami? Milik keluargamu?"
"Boleh dikatakan begitu."
"Mengapa tidak pasti?"
"Mereka, yang turut memiliki kebun ini, teman-temanku. Tapi kami seperti keluarga."
"O,"
"Mau minum apa?"
"Minum? Jangan bercanda. Aku tak melihat ada dapur di sini. Atau lemari es."
"Tinggal sebut saja kok,"
"Aku semakin tidak mengerti. Atau...mungkin kamu akan memanggil seseorang?"
"Untuk apa? Tanpa dipanggil mereka selalu ada. Tapi bukan berarti berlama-lama."
"Tapi aku tidak melihat teman-temanmu itu."
"Ya sudahlah. Jadi, mau minum apa"
"Ehm, apa ya? Di sini ada kopi atau semacamnya?"
"Kubilang tinggal sebut saja."
"Baiklah. Cappuccino dengan serbuk kayu manis."
"Cocok sekali dengan cuaca hari yang sejuk ini."
"O, tentu! Aku dikenal pintar memilih minuman."
"Pantas."
"Mengapa kamu tetap di sini?"
"Lho, ini kebunku. Aku mau tetap di sini atau pergi, terserah aku, bukan?"
"Benar. Tapi setidaknya kamu melakukan usaha menyiapkan minum pesananku."
"Kamu sudah katakan apa yang kamu mau..."
"Ya, tapi mana?"
"Ambillah meja untuk meletakkannya."
"Dari mana aku ambil benda itu?"
"Tinggal menyebut saja, apa susahnya?"
"Oke. Aku memerlukan meja bundar dari kayu, tampaknya romantis."
"Lagi-lagi kamu memilih barang yang tepat."
"Ingat, sudah dua pesananku, Anya."
"Apakah ada lagi yang kamu inginkan?"
"Astaga, aku bukan orang yang serakah."
"Wah, giliran ditawari sebebas yang kamu mau, malah membatasi diri."
"Dari tadi kamu selalu bercanda. Lama-lama aku bisa geram."
"Geram apa gemas?"
"Anya, kamu menggodaku ya?"
"Apa salahnya? Bahkan sebelum aku berniat menggodamu, kamu sudah tergoda bukan?"
"Apa buktinya?"
"Kamu sengaja berhenti di depan kebunku, lalu menyapaku dengan genit."
"Jangan membuatku tersipu."
"Kamu ternyata laki-laki pemalu..."
"Tolong, segera siapkan permintaanku."
"Bukankah kamu sudah katakan? Apakah cukup hanya itu?"
"Benar! Ternyata aku jadi gemas."
"Nah, apa kataku? Ayo, sebelum teman-temanku datang dan mengambil ini-itu."
"Baik. Aku mau ada piano dengan seorang pemain yang pintar."
"Ada lagi?"
"Sepotong brownies, eh sorry, aku tidak suka penganan legit."
"Boleh diralat kok."
"Kastengels saja. Tapi juga mangga yang dikupas. Salad dengan banyak mayonnaise."
"Sudah?"
"Sudah."
"Oke. Kamu tidak berminat untuk menatanya dengan baik?"
"Maksudmu?"
"Apakah semua pesananmu itu akan tumpang tindih begitu saja?"
"Anya, boleh aku menjerit sekuatnya di sini?"
"Kenapa tidak? Di kebun ini boleh melakukan apa saja sepanjang pantas."
"Anyaaaaaaaaaaa!!!!!!!!"
"Rupanya kamu serius ingin menjerit, ya?"
"Apakah kamu terganggu?"
"Tidak juga. Mungkin malah kamu yang terganggu. Lihat, semua jadi berantakan."
"Apanya?"
"Hot cappuccino, serbuk kayu manis, piano, pianis, salad, mayonnaise, kastengels..."
"Lalu?"
"Mangga. Meja kayu bundar. Dan kamu akhiri dengan jeritan."
"Siapa yang perduli?"
"Terserah sih. Cuma nanti kamu kecewa jika pilihan teman-temanku lebih baik."
"Toh tidak ada wujudnya. Seperti aku tidak melihat wujud pohonan di sini."
"Tapi kamu bisa menyebutnya. Mengatakannya sekehendakmu."
"Jadi, Anya, sebenarnya ini kebun apa?"
"Kebun kata-kata!"
"Ah, bilang dong dari tadi."
"Maaf jika sempat membuatmu geram."
"Geram apa gemas?"
"Hihi, tak ada bedanya kok. Pilih saja sendiri."
"Kamu bilang teman-temanmu akan datang, mana mereka?"
"Kedatangan mereka tak harus tampak. Pokoknya ini kebun kita bersama."
"Lalu siapa yang merawatnya?"
"Siapa lagi kalau bukan para pemiliknya? Sebagaimana mereka bebas memetik."
"Apa yang kalian petik?"
"Kata-kata. Bukankah kamu juga telah memetiknya?"
"Iya deh. Tapi, kenapa hari ini seperti terasa istimewa? Seolah akan ada pesta."
"Akhirnya kamu tahu. Hari ini memang istimewa, karena kami berulang tahun."
"Ulang tahun keberapa?"
"Aku atau kebun ini?"
"Terserah yang mana deh!"
"Gemas ya? Sekarang genap enam tahun."
"Kebun ini telah berusia enam tahun? Mestinya sudah tak lucu lagi."
"Setuju. Tapi mulai tampak cantik."
"Hehe, menurut pemiliknya, bukan?"
"Ya, tentu. Tapi yang penting kan tidak kemayu."
"Kalau tahu kalian ulang tahun, aku datang dengan sebuah kado."
"Itu tak sulit. Tinggal kamu sebutkan."
"Nah, mulai lagi!"
"Aku serius, bung! Kamu bisa bikin kado secepat yang kamu inginkan."
"Maksudmu tinggal petik kata-kata dari kebun ini lalu merangkainya?"
"Akhirnya kamu pintar juga."
"Dasar! Oke, tapi aku ingin tahu sesuatu."
"Apa?"
"Apakah kebun kata-kata kalian ini punya nama?"
"Tentu. Namanya Bunga Matahari."
"Wow! Warnanya kuning, lambang semangat yang menyala-nyala."
"Tapi juga cantik, kan?"
"Terserah katamulah. Aku mau tanya satu lagi."
"Apa?"
"Anya, dapatkah kamu sebutkan 6 kata yang mencerminkan perasaanmu terhadap Bunga Matahari yang berusia 6 tahun?"
"Enam kata ya? Angan, cinta, gairah, peluh, sangtuari, bianglala."
***
1 Comments:
Berawal dari kebun :)
Post a Comment
<< Home