Jeda 24 April 2006
Mencecap Rasa Pagi
Selamat pagi. Selamat membuka hari.
Apa rasa pagi menurut 'lidah' anda hari ini? Adakah berbeda satu dengan yang lain? Barangkali jawabannya adalah: sudah pasti!. Sebuah pagi yang sama, terhampar di hadapan kita, tetapi terasa tak serupa dicecap oleh masing-masing perasaan kita.
Saya menandai pagi dengan aroma kopi. Ah, jadi teringat "Filosofi Kopi" Dewi Dee Lestari. Untuk minum kopi dengan harapan hari ini segalanya akan berjalan sempurna, ternyata 'perlu' melewati pengalaman filsafati. Sementara seorang sahabat, Irwan Kelana, menikmati pagi melalui suara tangis bayi. Sesudah serangkaian rakaat tahajud, di pengujung awal hari, ia mengirim berita bahagia: telah lahir anak kelima, Muhammad Ridho Ilahi. Di saat yang sama, seseorang tidak menemukan pagi karena lolos dari jendela rumah sakit, kecuali tercium sayup harum kimia, yang berulang kali memasuki tubuhnya.
Ketika pagi dicecap dengan riang oleh anak-anak sekolah, belum tentu sebenderang itu hati para orang tuanya. Berpuluh mata pada sebuah pagi yang berparas cerah, justru menyaksikan sisa tragedi, ketika dua kereta api berebut arah lari. Peristiwa duka yang lain, melalui koran pagi, menemukan berita tertembaknya seorang anggota TNI di tepi negeri ini....
Masih ingatkah kita pada sebuah Jumat pagi, saat langit subuh baru saja gemetar melepas para jamaah pergi, beredar majalah Playboy? Apa rasa yang tercecap dari dua aroma yang seolah bersumber dari dua kutub berseberangan ini? Boleh jadi, dengan kejujuran hati, sebagai manusia yang senantiasa berubah nyali, ada yang lucu terjadi. Ketika berada di masjid, seluruh kalbunya tafakur dalam sunyi sujud. Begitu tiba di meja kerja kantornya, mendapatkan kemasan mewah sebuah majalah berwarna merah, terlonjak gairah untuk segera mengintip isinya. Ah, yang terjadi di ujung fajar, adalah semangat untuk menjadi bagian dari kekasih para nabi. Tak sampai tiga jam kemudian, matahari baru beranjak ke sepenggalah, telah lahir semangat untuk meninjau bagian tubuh paling pribadi dari Andhara Early. Namun kemudian terhela nafas kecewa... karena tak menemukan yang paling didamba.
Jadi, wajar jika disebutkan bahwa setan sanggup memasuki aliran darah kita. Tetapi kita harus sangat percaya bahwa Tuhan (yang menciptakan setan) berada dekat dengan urat nadi kita. Seperti halnya makna qolbu, adalah sesuatu yang berubah-ubah, tak tetap, dan oleh karena itu: pada sebuah pagi yang sama dan berjalan linier, kita mampu mencecap rasa yang berbeda.
Mungkin perlu dipelajari dan diteliti, jangan-jangan segala keputusan hati juga tergantung pada sesuatu yang dirasakan di pagi hari. Tentu akan jauh berbeda pada seseorang yang menghadapi pagi dengan tubuh sempoyongan berbekal seperempat kesadaran dibandingkan seseorang yang senyumnya merekah oleh celoteh putera-puterinya di meja sarapan. Yang satu baru saja mengalami petualangan tak tentu arah dan mencoba mengais sisa-sisa harapan yang mungkin segera direbut orang; sementara yang lain tengah menjalin cita-cita panjang melalui percakapan saling mengisi...
Selamat pagi. Selamat membuka hari.
Lihatlah, sebuah kota besar sedang melemparkan selimut ke sebuah sudut. Lalu tersingkaplah tubuh telanjangnya yang sebentar lagi dikerumuni kendaraan dan setiap urat jalan raya menjadi tempat merayap. Pagi seperti itu, yang sudah biasa bagi Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, adalah rasa yang dicecap dengan lidah mati-rasa. Dengan bekal depresi, mampukah kita bekerja dengan hati nurani? Itulah pertanyaan yang harus disiasati, agar tidak terjebak seperti kebanyakan sinetron yang membanjir di televisi. Mungkin kita mulai rindu pada rasa pagi di sejuk gunung, atau rasa pagi di tepi pesisir sunyi. Menikmati waktu yang bergerak lambat dan ruang membuat kita memiliki kesempatan berpikir jernih. Tapi, saya teringat nasihat mertua ketika hendak memasuki kehidupan Jakarta: "Jika sanggup memenangkan semua godaan dan mengatasi semua tantangan, pahalamu lebih besar."
Lewat rasa kopi krim tanpa gula di lidah, saya mencoba memasuki kenikmatan pagi. Lalu selintas merenung dan menemukan sedikit hiburan. Pagi adalah cara terindah untuk mengakhiri malam. Karena seharusnya ada surya yang membuat warna gelap terusir pergi bahkan dari relung-relung hati kita yang pernah kelam. Pagi adalah waktu bagi para mambang menepi, menjauhi perigi, untuk diganti dengan langkah petani..
Ah, jadi teringat nyanyian Leo Kristi entah berapa dekade yang lalu:
Lihat gadis di sawah
Merah kuning jingga kebayanya
Dengan ani-ani di tangannya
Fajar di hatinya
Bangun ayo bangun!
Berjalan tegakkan kepalamu
Nyanyikan di timur matahari
Fajar di hatimu
Itu nyanyian fajar yang barangkali tinggal sebagai utopia. Sebelum kita kehilangan segala-galanya, mungkin perlu sesering mungkin menjenguk isi hati. Masihkah ada hatinurani yang bersedia diajak berbincang pada: sebelum, sepanjang, atau sesudah pagi?
(Kurnia Effendi)
2 Comments:
mencecap pagi...
'kicauanmu' pagi ini benar2 telah menginpirasi...
Apa sih yang tak nikmat dari racikan ala Kef? Selamat malam, Kef. Besok jadi kan ke Bali? Salam buat Oka Rusmini si "Tarian Bumi" hehehe
Post a Comment
<< Home