Monday, October 30, 2006

RAHASIA

SEORANG ayah dengan sembilan anak dari seorang isteri, memiliki cita-cita ingin membahagiakan keluarganya. Hal yang wajar dan umum terjadi, sebagaimana keluarga lain yang hampr seluruh harinya habis tersita oleh pekerjaannya. Mereka  bersebelas adalah keluarga Inggris yang sederhana. Untuk mewujudkan cita-citanya, diperlukan usaha menabung, sedikit demi sedikit dari hari ke bulan. Sang ayah ingin membawa keluarganya piknik ke New York. Sebuah jarak yang alangkah jauh dan berbeda kontinen.

Kisah nyata ini terjadi sekitar tahun 1911. Pada saat yang sama, perusahaan perkapalan di Inggris sedang membangun sebuah kapal pesiar yang spektakuler. Untuk menjadi calon penumpang kapal pesiar itu, perlu mendaftar setahun sebelumnya. Sang ayah yang berniat membawa keluarganya berlayar jauh itu pun mencatatkan sebelas nama sebagai calon penumpang. Sejak itu ia menabung dengan semangat membukit, karena tak semua orang akan mendapatkan kesempatan langka itu.

Ringkas cerita, kapal pesiar itu pun rampung. Jadwal pelayaran perdana telah diumumkan. Kegembiraan meliputi keluarga yang telah bersusah payah mengumpulkan uang untuk menjadi penumpang perjalanan pertama. Namun sungguh di luar dugaan, beberapa hari menjelang keberangkatan, si bungsu dari keluarga bersebelas itu digigit anjing gila, ketika sedang main di rumah tetangga.

Tentu kita paham, apa yang harus dilakukan oleh korban gigitan anjing gila? Dokter menyarankan agar si bungsu dirawat secara karantina. Perawatan itu memerlukan waktu yang lama. Selain anjingnya yang harus dilenyapkan, seluruh keluarga pun mendapatkan suntikan anti rabies. Bagaimana mungkin keluarga itu dapat berangkat ke New York, dalam kondisi seperti itu?

Sang ayah menangis dengan rasa kecewa luar biasa. Perasaannya terlunta. Ia bahkan bertanya-tanya, menggugat Tuhan yang begitu tega menggagalkan rencana sepanjang berbunga harapan itu. Ia menunggu dengan berdebar, berharap ada keajaiban, misalnya jadwal perjalanan kapal pesiar itu diundur. Bagi korporasi yang arogan, tentu tak ada dalam kamusnya untuk melakukan penundaan demi segelintir orang yang bermasalah. Oleh karena itu seluruh cita-citanya seketika pupus, oleh peristiwa yang tak terbayang sebelumnya. 

Kapal pun akhirnya bertolak dari pelabuhan Southampton, Inggris, dengan gagahnya. Sementara itu, di rumah sakit, sang ayah menjenguk anak bungsunya, dan dengan penuh amarah, ia menghardik, menyalahkan anaknya seraya merobek kesebelas tiket yang telah dibeli dengan harga seluruh tabungan mereka.

 

***

RASA kecewa dan amarah itu belum hilang, ketika beberapa hari kemudian ia mendengar kabar, bahwa pada hari Minggu tanggal 14 April 1912, kapal pesiar yang hendak ditumpangi keluarganya itu tenggelam. Hanya dalam dua jam empat puluh menit setelah menabrak gunung es. Kapal yang menjadi impian banyak orang dan hampir saja membawa serta keluarga bersebelas itu mengunjungi Amerika, lenyap dari permukaan air laut. Tubuhnya yang terpotong menjadi dua bagian meluncur seperti dalam gerak lambat menuju dasar samudera.

Berita itu tentu diterima tak selekas saat ini, ketika internet sanggup menyebarkannya ke seluruh penjuru bumi hanya dalam hitungan detik. Tetapi seluruh surat kabar ternama saat itu memberitakannya dengan foto yang membuat pembacanya percaya. Kapal itu kandas menjelang tengah malam di laut yang dingin dengan serpihan es di sana-sini, dan tak tertolong lagi. Tak banyak yang selamat, rasanya, karena peristiwa begitu lekas berlangsung, dalam suhu yang tak tertahankan.

Mendengar (atau membaca) kenyataan itu, apa yang dirasakan oleh ayah keluarga bersebelas itu? Ia pun kembali menangis. Segera didatanginya anaknya yang masih dalam perawatan. Di rumah sakit, setulusnya ia meminta maaf kepada anaknya, lalu mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Sikap sebelumnya telah berubah seratus delapan puluh derajad oleh peristiwa yang membuatnya bersyukur. Ternyata, Tuhan justru telah menolongnya, dengan cara yang sungguh rahasia.

Demikianlah kiranya, rahasia Tuhan tak pernah terbaca sejak awal kejadian. Segala yang terasa gelap dan menyedihkan, boleh jadi ada sinar kegembiraan yang tersembunyi di dalamnya. Hikmah pada umumnya berada di balik peristiwa, bukan dipamerkan sejak muasal. Manusia harus diuji dulu sebelum memperoleh nilai atas perjuangannya: bersabar, ikhtiar, dan ikhlas.

Mungkin anda tahu nama kapal pesiar itu. Benar. The Titanic. Kapal yang diberi nama indah Titanic itu memang luar biasa megah. Kapal pesiar yang agaknya dibuat dengan sebuah kesombongan, seolah hendak mengalahkan Sang Maha Pencipta. Ketika lepas dari dok dan mulai turun ke dermaga, sang pemilik (atau perancangnya?) mengatakan kepada publik: “Titanic, kapal yang luar biasa, bahkan Tuhan pun tak sanggup menenggelamkannya.”

Boleh jadi itu hanya bercanda, untuk meyakinkan kepada para calon penumpang yang tentu merasa bangga dapat ikut berlayar di dalamnya. Tapi malaikat mencatatnya, barangkali, sebagai semacam arogansi yang harus diberi pelajaran. Alangkah kerdilnya jiwa manusia, yang merasa betapa hebatnya dengan hasil karyanya. Sementara ada Maha Pencipta yang tak mungkin dilawan.

Gunung es, hanya dengan sepucuk gunung es, selesai sudah. Dan sesumbarnya gugur oleh kenyataan: Titanic ditenggelamkan Tuhan.

 

(Kurnia Effendi, untuk JEDA tabloid PARLE edisi pralebaran)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home