Tuesday, September 26, 2006

Menutup Luka

SETIAP Ramadan, saya sengaja menyisihkan waktu untuk menulis puisi. Satu puisi saja untuk satu hari. Ditulis setiap hari, setelah sahur atau menjelang buka puasa. Isi puisi itu meliputi segala yang saya rasakan sepanjang hari, atau pengetahuan yang peroleh dari para pemberi ilmu di mimbar tarawih. Saya tulis dalam bahasa puisi, dalam bentuk puisi.

Pada suatu Ramadan saya mengawali ‘ritual’ itu (yang saya mulai sejak tahun 1988) dengan membayangkan seorang tamu. Mengapa demikian? Menjelang Ramadan, banyak spanduk bertuliskan; “Marhaban ya Ramadhan”, dipasang di pelbagai tempat. Ucapan yang bermaknaselamat datangitu laiknya disampaikan kepada seorang (atau lebih) tamu. Bagi umat Islam yang taat, bulan Ramadan memang dinanti-nantikan, bahkan dengan semacam kerinduan.

Namun, ketika pena mulai bergerak menggores aksara, tamu yang saya bayangkan bukanlah bulan Ramadan. Tetapi lebih personal dan lebih merupakanrasa takut’ yang sulit digambarkan. Satu-satunya pengalaman yang tak akan terulang dan tak mungkin diceritakan kepada orang lain. Maut! Itulah yang saya bayangkan sebagai tamu.

Mari kita baca bersama. JudulnyaSeorang Tamu yang Datang Waktu Subuh.”

 

Mungkinkah ia mengendarai bintang?

Ada garis jejaknya, tampak bercahaya

Sesudahnya seperti terdengar lindu, setengah gemuruh

Mungkinkah ia sengaja berdiri di depan pintu, dengan

kerumun embun pada sekitar kakinya?

Ah, tak sabar aku mencari tanda ini:

 

Sepasang mata yang lama tak tidur

Lebih karena berpikir tentang cinta

Yang mengganggu lubuk hatinya

 

Tapi fajar belum sepenuhnya bangkit

Gema adzan berakhir bersama tangkai daun yang luruh

Dan aku cemas oleh suara kerisiknya

Seperti sedang memandang sang penjemput

Tubuhku gemetar

Bolehkah aku minta waktu sebentar? Bolehkah?”

 

Dalam gigil udara, aku mencoba lolos dari pintu belakang

Di bawah tatapan sepasang bintang

 

Demikian yang saya suratkan. Tentu terasa ada ketakutan karena belum benar-benar siap. Bahkan ketika mintadiamenunggu, saya ingin melarikan diri. Tapi, sanggupkah kita menghindar?

 

***

RAMADAN memang pantas ditunggu, disambut, dan dirindukan. Karena sepanjang bujur-rentang-waktunya, terdapat luar biasa banyak taburan rahmat, ampunan dosa, dan keberkahan. Tak hanya umat Islam yang memperoleh berkahnya, terutama ketika setiap kedai, baik yang sederhana maupun kelas supermarket akan kebanjiran rizki hingga Lebaran tiba. Dan umumnya, sepanjang Ramadan, setiap insan ingin lebih santun dalam bercakap dan bertindak. Seluruh atmosfir seperti dilumuri aura kedamaian.

Oleh karena itu, tentu kita tak ingin menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan sisa dendam. Percik angkara yang pernah melukai perasaan orang lain, sudah seharusnya kita hapuskan. Sengkarut masalah yang berlarut segerai diurai-luruskan. Bara lelatu kemarahan akibat kesalahpahaman tiba saatnya untuk dipadamkan dan dijernihkan.

Lalu saya teringat cerita teman tentang seorang pemuda yang mencoba menghapus luka di hati orang lain akibat perangainya. Adalah seorang pemilik toko pemberang yang begitu ringan meluapkan kemarahan atau sikap yang menyakitkan kepada para pelanggannya. Ia tak dapat menahan diri untuk berkata kasar pada pegawainya, dan alangkah mudah tersinggung oleh pelanggan yang menawar harga di luar harapannya. Tabiatnya itu ternyata diperhatikan oleh sang ayah yang merasa khawatir bila usaha yang telah dirintisnya hancur akibat ulah puteranya itu. Maka ia meminta kepada anaknya untuk menancapkan sebatang paku pada pohon yang tumbuh di halaman tokonya setiap kali telah melakukan kekasaran kepada pelanggannya.

Syahdan, setelah seminggu berlalu, sang putera menyampaikan kepada ayahnya, bahwa setidaknya ada dua puluh paku tertancap di batang pohon itu. Meskipun ia seorang pemberang, ia begitu patuh dan jujur kepada ayahnya. Mendapatkan laporan anaknya, sang ayah merasa sedih. Lalu ia minta kepada anaknya agar secara sungguh-sungguh menahan diri untuk tidak melukai perasaan pelanggan maupun pegawainya, sebelum toko yang mereka punyai bangkrut.

Nak, setiap kali dirimu sanggup menahan amarah, setiap kali dirimu mengubah umpatan menjadi senyuman dan kesabaran, cabutlah satu paku dari pohon itu.” Itu pesan ayahnya.

Berlalu sudah waktu seminggu. Pemuda yang sedang melatih kesabarannya itu pun bercerita kepada ayahnya, bahwa akhirnya seluruh paku yang tertancap pada batang pohon itu sudah tercabut. Artinya, dalam seminggu ia telah menggagalkan dua puluh nafsu buruknya. Setidaknya, dia telah menyelamatkan dua puluh peristiwa dari konflik yang tak perlu.

Coba kaulihat pohon itu. Apakah masih ada bekas paku yang pernah kautancapkan?” Pertanyaan ayahnya itu dibenarkan, setelah menemukan dua puluh lubang tusukan. Jika demikian, inilah pelajaran terbaik bagimu. Walau kau telah meminta maaf kepada setiap orang yang kaulukai perasaannya, luka itu sesungguhnya masih tetap membekas.”

Jadi, para sahabat semua, ternyata ada tugas paling berat bagi kita. Tiada lain adalah semaksimal mungkin menutup luka yang kita ciptakan di hati orang lain. Dengan kejujuran dan kesungguhan. Semoga Ramadan dapat kita raih seutuhnya.

 

(Kurnia Effendi, untuk kolom JEDA tabloid PARLE, edisi 56)