SUCI
SEWAKTU Dewi Shinta diculik oleh Rahwana, dalam benak Rama, calon suaminya, mekar sebuah kecamuk. Rahwana adalah makhluk raksasa berkepala sepuluh, sehingga memiliki nama lain Dasamuka. Dalam kekuasaan Rahwana, apa yang bisa selamat? Semalam terkungkung dalam istananya – bahkan mungkin dalam kamar tidurnya – apa lagi yang tersisa? Ah, kata ‘sisa’ sendiri nyaris menunjukkan makna ‘terbuang’, ‘nista’, ‘tak berguna’. Alangkah wajar seorang Rama, dengan caranya sendiri, memendam perasaan murka: campuran antara mual, kecewa, kehilangan, dan sesal…
Dalam kisah itu, epos Ramayana, ketika Shinta diselamatkan Jatayu dan tiba kembali ke hadapan Rama, ada yang harus diklarifikasi. Dijernihkan. Rama, tanpa menunjukkan perasaannya yang terdalam, merasa menerima aib. Ia membayangkan ada seribu sidik jari melekat di permukaan tubuh kekasihnya. Ia membayangkan ada celah yang telah rekah: luka lahir batin yang tak tersembuhkan. Antara dirinya dan Shinta mendadak ada jurang yang harus diseberangi dengan perasaan penerimaan yang luar biasa arif.
“Aku masih suci.” Bahkan pengakuan Dewi Shinta itu pun lebih mirip pembelaan diri untuk diampuni dan diterima kembali. Rama bergeming. Hatinya mengeras. Dan seolah tumbuh tunas telengas.
“Aku ingin bukti.” Kira-kira seperti itu permintaannya. Lantas bagaimana cara membuktikannya? Kesucian seorang perempuan yang umumnya ditunjukkan dengan keperawanan, adakah merupakan sekujur kejujuran? Tempo dulu, ada sebuah film karya Prasanti berjudul “Hati yang Perawan”. Dalam film itu, tokoh wanita yang telah bersuami lelaki bukan pilihannya, mengaku hatinya tak pernah terbuka untuk menerima cinta sang suami. Hatinya tetap perawan, karena tetap ia sediakan bagi pujaannya yang entah kemudian ada di mana.
“Api akan membasuh tubuhmu, dan akan menunjukkan statusmu.” Ah, ternyata lelaki membutuhkan keyakinan itu. Purbasangka yang telah membuat hati Rama jelaga, menyarankan nafsunya untuk tega melakukan itu. Demi kesucian. Demi kata ‘suci’. Sementara saya, barangkali juga para penyair lain, mulai berpendapat: cinta Rama tidak sejati. Barangkali, seburuk-buruk Rahwana, cintanya lebih murni terhadap Shinta sehingga dengan segala upaya ingin mendapatkannya.
Goenawan Mohamad, dalam sebuah puisinya berjudul “Menjelang Pembakaran Sita”, menulis bait terakhir seperti ini:
Di antara ruap rawa dan miasma barangkali akan ada sebuah
ruang luang di mana tak ada lagi Kitab tak ada Kata dan kita
tetap tak mengerti apakah yang tak suci apakah yang setia.
PADA sebuah pagi, Abu Sangkan menyarankan agar kita belajar pada Allah. Membayangkan Guru yang Mahahebat, tentu sang murid akan luar biasa kaffah. Tentu saja, melalui pelbagai media, yang tidak lain bersumber dari-Nya.
Kita sebagai insan yang memiliki hasrat atau nafsu, berbeda dengan malaikat, akan sesekali terperosok ke dalam dosa. Sebagai lawan suci, dosa atau noda akan membuat cela seorang manusia. Kita bukan malaikat yang selalu suci, yang tak punya pilihan lain kecuali menuruti seluruh perintah Allah. Tak ada yang membangkang selain Iblis. Sementara manusia diberi anugerah kemerdekaan, oleh karena itu peluang untuk mengikuti jejak iblis pun terbuka luas.
Siapakah manusia yang tetap terjaga pada kesucian sepanjang hidupnya? Bahkan Nabi Muhammad dan rasul-rasul yang lain pun pernah melakukan kesalahan. Namun Allah telah memberikan jalan bahkan sebelum manusia merasa kebingungan. Taubat, mengaku salah dan mohon ampun, lalu tak hendak mengulangi, adalah jalan menuju kesucian kembali. Karena Allah mahatahu tentang kerapuhan manusia, disediakan cara untuk memperbaiki diri.
Di bulan Ramadhan, mungkin ada pertanyaan besar bagi kita. Apakah perilaku untuk merugikan orang lain, semacam dusta dan tindakan korupsi, tetap berlangsung? Ketika Tuhan membentangkan pintu lebar-lebar untuk menempuh jalan kebaikan, untuk mengambil jalur kesucian, adakah yang tidak memanfaatkannya?
Menurut Abu Sangkan, kesalahan pertama yang membuat kita merasa sangat berdosa, akan mulai mereda kecemasannya begitu dilakukan berulang-ulang. Menjadi biasa. Menjadi piawai. Seperti juga seseorang yang berlatih mengemudi, akan semakin terampil apabila sering praktik. Ketika seorang pemimpin menjanjikan, misalnya, 30 juta rupiah bagi setiap kepala keluarga korban gempa Jogja, lalu diturunkan menjadi 15 juta rupiah; mungkin ada sebersit rasa bersalah saat mengucapkannya. Namun ketika turun lagi menjadi 10 juta rupiah dan akhirnya entah berapa, semakin ringan saja dalam mengutarakannya. Bahkan boleh jadi realitasnya jauh dari janjinya yang terakhir.
Kita semua memang tak suci lagi. Mungkin hanya merasa sok suci, ketika memandang orang lain dengan cara merendahkan derajat mereka. Lalu saya ingat sajak Emha Ainun Najib. Dalam puisi itu dikisahkan ada seorang pengemis kotor yang meminta sedekah di teras masjid. Orang-orang suci yang menjadi jamaah bukan menyantuninya, justru mengusirnya. Maka Tuhan pun meninggalkan masjid, mengiringkan sang pengemis yang terlunta…
Siapa pun kiranya, selegam apa pun kehidupan masa lalunya, selalu memiliki hak untuk mendapatkan ampunan Allah. Tentu dengan cara bertaubat, mengaku salah, mohon ampun, dan tidak mengulangi lagi. Mengenang segala yang buruk untuk diperas menjadi air mata, dan lupakan agar tak ingin mencobanya kembali.
(Kurnia Effendi, untuk Jeda tabloid PARLE edisi 58)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home