Pojok Kafe Simpang Lima
Hanya keajaiban yang mempertemukan kita di sini.
Di pojok Kafe Simpang
Dan katamu, selalu, tetap ajaib!
APA yang sebenarnya kita tunggu setelah mereka, anak-anak kita, memiliki sayap masing-masing dan terbang jauh dari rumah kita? Apa lagi yang mesti kita tunggu beribu jam berjuta detik di tempat sunyi ini? Bukankah kesepian itu semakin indah ketika kita mampu menikmatinya tanpa keluhan? Sepi itu semakin membahagiakan ketika kita punya banyak waktu luang untuk seutuhnya menatap matahari senja turun perlahan ke punggung perbukitan. Sepi itu menjadi sangat berharga saat kita dapat berlama-lama duduk dengan dua cangkir teh di atas meja marmar tua. Meja itu, dengan paras abu-abu muda penuh cecabang urat yang dibentuk oleh endapan sendimen tahun demi tahun, bervariasi antara hitam muda dan kelabu tua, menjadi buku harian yang mencatat waktu berjalan. Semua itu kemudian mengingatkan kita pada sebuah kafe di pojok Simpang Lima…
Pojok kafe Simpang Lima
Sepanjang sore dan petang hari
Kaki lima rumput kota
Syair yang ditulis oleh Leo Kristi itu seperti melagukan percintaan kita yang tak pernah surut lelatunya. Senantiasa meletik-letik. Kini kita tak muda lagi, kita menyadari benar, seperti juga lagu romantik itu, yang melayang-layang pada gelombang radio nyaris sepenuh tahun 1979. Tahun ketika semua pasangan merayakan cintanya dengan cara yang tak terpikir sebelumnya. Tahun ketika kapal-kapal pesiar mulai menghiasi dermaga pelabuhan-pelabuhan besar, menawarkan pelayaran
Dan kita tenggelam di dalamnya. Bukan! Bukan dalam kapal pesiar atau balon udara yang melayang di atas pegunungan bersalju. Bukan dalam iringan musik Led Zeppelin atau Deep Purple yang sayatan gitarnya membuat jiwa melayang-layang, diberondong cinta hingga arang-keranjang. Seolah kita adalah sang musafir cinta yang akan mendaki tangga surga, bertemu dengan Tuhan yang telah menganugerahi sekaligus mengutuk kita dengan cinta. Cahaya itu, yang kadang memancar dari sepasang matamu saat berbicara, ah, telah menyihirku hingga tak lagi mendengar setiap kalimat yang terucapkan kecuali genangan kasih sayang yang terus saja meleleh dari pandanganmu. Lalu aku mirip sebatang lilin yang bersedia terbakar hingga habis demi apimu.
Kini, apa lagi yang kita tunggu setelah semua terpisah dari genggaman? Mereka, anak-anak kita, dengan sayap-sayap yang gagah merentang lebar, terbang jauh dan tak mudah diharap untuk kembali. Bahkan dalam Lebaran tahun ini.
Lihatlah, hari demi hari bergerak terlepas dari kemampuan kita menghayati. Gerimis yang kita tunggu tak juga turun ke bumi. Kemarau memanjang seperti ular yang melepaskan tidur panjangnya, mengurai lilitan tubuhnya dari sebatang pohon tua yang meranggas. Menimbulkan retakan-retakan tanah di sawah-sawah tadah hujan, mengeringkan bukit-bukit kapur, dan membuat
***
Cintaku, aku ingin tempat yang seperti dulu.
Ketika angin bebas menerobos tubuh muda kita.
ENTAH kenapa, aku selalu begitu percaya pada kata-katamu. Ucapan memabukkan yang telah menghamili dinding perut kerinduanku. Dalam tikaman waktu yang meruncing bulan demi bulan, melahirkan anak-anak yang riang. Anak-anak yang selalu memuja petualangan di dalam maupun di luar rumah. Melalui gambar-gambar yang tak terbatas dalam ruang kepala mereka. Atau dengan sepeda menyusuri
Aku tahu, kita memang selalu sama-sama merindukan tempat itu, sebuah sudut kafe di Simpang
Menjelang pertengahan Ramadan, aku selalu merasa gelisah dan berdebar, bukan karena kitab yang kubaca tak akan tamat. Aku memang tak pernah khatam, sekalipun saat mengawalinya begitu bersemangat. Bukan juga karena selalu ada sekitar enam hari yang harus kulewati tanpa menjalankan puasa, dan tidak melakukan shalat. Bahkan saat ini, debaran itu tak kunjung henti, saat menstruasi tak pernah hadir lagi. Semua seperti sebuah kantung kisut yang hanya berisi cinta membara. Yang membuatmu selalu percaya, bahwa pertemuan kita selalu berharga. Acap kali aku ingin melupakannya, tapi selalu dirimu mengingatkannya. Melalui tembang yang seolah abadi dalam pikiran kita.
Pojok kafe Simpang Lima
Masihkah hangat seperti dulu
Kembang senyum kembang hati
Kaki-nini…**
Ah, tiadakah kita sadari, usia yang meluncur deras membuat kita lebih lekas sampai pada kerentaan? Inilah kenyataan yang tak mungkin kita pungkiri. Seluruh belulang merapuh oleh kapur yang terus-menerus menggerus.
Lalu apa yang sebenarnya kita tunggu setelah mereka, anak-anak kita, masing-masing memiliki sayap dan terbang jauh dari hati kita? Apa lagi yang mesti kita tunggu bertahun-tahun di tempat lengang ini? Bukankah kesepian itu semakin indah ketika kita mampu menikmatinya tanpa keluhan? Sepi itu semakin membahagiakan ketika kita punya banyak waktu luang untuk seutuhnya menatap rembulan berlayar di langit yang melengkung sempurna dengan sapuan warna indigo. Sepi itu menjadi sangat berharga saat kita dapat berlama-lama berbaring dengan masing-masing sebuah buku dongeng untuk dibaca. Buku itu, dengan kertas yang mulai menguning, namun tak pernah kisahnya membosankan, tentang seorang pangeran yang dengan kata-kata rayuannya selalu membuat sang puteri merasa hidup seribu tahun. Semua itu kemudian mengingatkan kita pada sebuah cinta yang pernah dan selalu kita miliki.
Di sini kita tak akan berpisah lagi, cintaku
Seperti ketika angin bebas menerobos tubuh muda kita
Uh, sudah tak ada air mata. Telah kering dari sumbernya. Seluruh hari yang berombak bagi kita adalah nyanyian ilalang yang merintih ditiup angin. Tapi, bukankah kita selalu bahagia? Bukankah kita akhirnya mendapatkan keajaiban itu? Bukankah akhirnya kita selalu bertemu seperti yang sesungguhnya kita inginkan bersama? Dalam deru
Kemarin, hari ini
Hari esok, lubuk hati
Cintaku tak
Dalam mengabdi
Kakek oh kakek, kakek
Nenek oh nenek, nenek…**
Bukankah kita selalu tersenyum mendengar lagu itu? Hal yang membuat kita sedikit cemas adalah kepulangan anak-anak kita, dengan sayap-sayap mereka yang merentang gagah. Kita tak sepenuhnya tahu isi hati mereka, apakah akan menjadikan kunjungan ke
Ini tahun ke sembilan, ketika seharusnya setiap kejadian yang sama dan berulang akan terasa biasa. Atau, bahkan, bisa saja ini tahun keajaiban bagi kita, yang menghiasi Lebaran dengan pertemuan besar orang-orang tercinta. Tahun yang ditunggu-tunggu sekian lama. Ah, apakah sembilan tahun telah cukup lama? Bukankah kita selalu bahagia dalam kesepian agung ini? Sepertinya hanya senandung romantik itu yang selalu terngiang untuk menghibur perasaan kita…
Hari Raya kembang api
Lembar hari kembang hati
Pojok kafe lembar sepi
Sendiri… **
***
ANGIN pun reda.. Seperti takbir yang surut. Cuaca begitu santun.
Kita nyaris tak peduli dengan semua itu, bukan? Kita hanya ingin ziarah pada bekas kafe di Simpang
Pada tahun 2025 itu, rasanya kita terburu saling berpelukan, untuk saling melupakan harapan kita. Biarlah mereka, anak-anak kita, bahagia dengan pikiran dan kesibukan masing-masing. Dengan demikian, kita pun bahagia di ranjang kubur ini. Sembilan tahun menanti, hanya doa dalam wangi melati yang turun ke bumi.
Barangkali kita tak lagi peduli, saat kaki-kaki mungil menginjak kerikil dan daun-daun kering yang berserak di halaman rumah kita. Ketika para ayah dan bunda mereka khusyuk memanjatkan tahlil dan shalawat. Kita pura-pura tak mendengar, saat mulut-mulut mungil mereka menyebut nama kita, yang dibaca pada nisan marmar abu-abu, sebagai mendiang kakek dan nenek. ***
Kurnia Effendi
* Judul cerpen diambil dari judul lagu Leo Kristi, “Pojok Kafe Simpang
** Petikan lirik lagu “Pojok Kafe Simpang Lima” ciptaan Leo Kristi.
(Cerpen ini dimuat Suara Merdeka Semarang, Minggu tanggal 22 Oktober 2006)
1 Comments:
waktu cerpen ini dimuat saya sudah di pekalongan, setelah baca saya sms-inlah sampeyan. cuma kok ndak respon :)
Post a Comment
<< Home