Monday, October 05, 2009

Energi (Mudik) Idul Fitri

Tanpa energi yang memadai, kita akan gagal mudik. Wah, ini bukan rumus persamaan atau axioma yang berlaku dalam pelajaran ilmu pasti. Juga bukan bagian dari hasil tambang yang dapat digunakan untuk tenaga penggerak mesin. Ini semata sebuah realitas yang terjadi setahun sekali dalam entitas masyarakat yang sangat menyukai upacara.

Manusia Indonesia memang penggemar upacara.

Apakah dengan menulis artikel ini berarti saya berposisi di luar lingkaran yang sedang menjadi topik pembicaraan? Tidak. Keluarga saya dan adik-adik saya juga mudik ke tanah kelahiran, ke rumah Ibu. Tegal. Tepatnya Slawi.

Apa yang terbayang sebelum melakukan perjalanan? Antrean panjang kendaraan mulai dari jalan tol Jakarta-Cikampek, jalur Pantura, dan cecabangnya menuju ke daerah tertentu. Cuaca terik yang membuat kita tergoda untuk membatalkan puasa (meskipun memang dibolehkan sebagai hak kaum musafir, yang menyelenggarakan perjalanan lebih dari 90 kilometer). Kesabaran yang diuji oleh situasi jalanan, ketika satu-dua pengemudi lepas kontrol dan saling menyela antrean sehingga menambah runyam keadaan.

Mudik memang (tak) enak dilakukan dan (mungkin tak) perlu.

Sedikit mencontek slogan majalah Tempo, kenyataannya, mudik Lebaran memang berada di antara perlu dan tidak perlu. Disebut perlu ketika sepanjang tahun memang tak pernah menyambangi leluhur di kampung halaman. Namun dapat dibilang tak perlu karena kunjungan ke tanah tumpah darah dapat dilakukan pada kesempatan lain yang lebih leluasa secara waktu dan kondisi perjalanan.

Dalam dua tahun belakangan saya melakukan perjalanan mudik Lebaran melalui jalur yang tak terlalu populer. Sebelum tiba di pengujung Cikampek, memisahkan diri ke arah Sadang, Subang, Majalengka, Cirebon, dan seterusnya ke Tegal, berbelok ke selatan menuju Slawi. Tujuh-delapan jam. Saya berpendapat itu normal, karena jarak yang ditempuh hampir 400 kilometer. Tentu saja, di antara perjalanan panjang dengan kecepatan antara 60 sampai 80 kilometer per jam naik mobil pribadi, kami sempatkan istirahat atau singgah mencari oleh-oleh semisal nenas Subang atau kerupuk goreng pasir ala Cirebon.

Sebelum berbuat cerdik seperti itu, saya dan keluarga biasanya terseret arus padat Pantura (jalur pantai utara). Dan pernah suatu Lebaran, sejak bertolak dari Jatiwaringin Jakarta Timur sampai menjelang masuk Cirebon, menempuh waktu 12 jam. Membuat saya memutuskan menginap di Cirebon (walau sudah dekat ke Tegal) untuk meluruskan tubuh dan menghibur anak-anak yang telah bersedia mengikuti ’upacara’ mudik.

Itu ternyata tak cukup mengherankan, karena pernah pula kami mengarungi ’arena parkir’ terpanjang, Jakarta-Cikampek, padat merayap sejak pukul 11 malam hingga kumandang azan subuh. Semua itu kami lakukan demi sebuah upacara yang bernama mudik Lebaran. Adakah yang kapok? Mungkin ada, namun juga lebih banyak yang tak peduli dengan situasi itu, toh setahun sekali.

Cerita mudik dengan kendaraan pribadi dapat ditepis dulu, giliran memeriksa situasi mereka yang menggunakan kereta api dan bus antarprovinsi. Saat masih mahasiswa dulu (di Bandung), saya selalu keheranan pada teman-teman yang tinggal jauh di Jawa Timur atau Sumatera, yang telah memesan tiket kereta api, pesawat, atau bus, beberapa hari sebelum Ramadhan datang. Rupanya, begitu terlambat sedikit, akan berada pada posisi sangat sulit. Kehabisan tiket atau harus menebus dengan harga yang lebih mahal. Artinya lebih dari harga ”normal” yang telah disesuaikan dengan ketidakseimbangan antara jumlah penumpang dan ketersediaan kendaraan.

Pernah dalam beberapa Lebaran saya menukar kebiasaan. Umumnya anak-anak atau keluarga muda datang berduyun dari kota tempat bekerja sebagai urban menuju kampung tempat orang tua menetap. Saya bersepakat dengan adik-adik yang tinggal di Jakarta untuk menjemput Ibu di Slawi agar berlebaran di Jakarta. Dengan demikian, baik sebelum maupun sesudah Lebaran, perjalanan yang dilakukan selalu melawan arus. Ibu bertolak dari kampung halaman ketika orang banyak melakukan safari ke timur. Begitu kembali ke tempat tinggal saat usai Lebaran, berpapasan dengan arus balik mudik yang biasanya bertambah jumlah karena membawa pembantu baru, baik untuk keluarga sendiri maupun tetangga.

Demikianlah, semua bentuk dan model mudik Lebaran, selalu dilakukan dengan energi tinggi. Mengulang pernyataan di awal tulisan: jika tak cukup energi, perjalanan mudik akan terasa sangat menyengsarakan. Sebetulnya bukan semata tenaga yang harus disiapkan, terlebih lagi mental yang diuji batas kesabarannya di sepanjang jalan. Biasanya mudik berlangung di saat masih dalam suasana Ramadhan, sehingga dapat dibayangkan keletihan saat menjalaninya kecuali dengan menggunakan hak musafirnya untuk berbuka.

Apakah soal fisik dan psikis itu cukup? Tidak. Ada lagi yang wajib dipenuhi sebagai syarat suksesnya perjalanan mudik Lebaran. Tidak lain adalah bekal dalam bentuk uang. Tidak ada kekecualian, ongkos kendaraan beramai-ramai naik. Dengan istilah tuslah atau tarif yang disesuaikan, harga karcis bus dan kereta api secara resmi ditingkatkan, lalu oleh para calo dilipatgandakan. Apakah keluarga yang berkunjung ke kampung halaman untuk bersua dengan handai tolan akan bertangan hampa? Tentu tidak. Bahkan anak-anak dan menantu yang berbakti, sejak jauh hari, telah mengirimi orang tua masing-masing dengan THR (Tunjangan Hari Raya). Sejumlah perusahaan yang sehat, membagi THR bagi karyawannya paling lambat dua minggu sebelum Idul Fitri.

Setiba di kampung, ada tradisi berbagi, yang punya rizki ”berlebih” mendermakan uangnya kepada sanak saudara yang secara ekonomi lebih rendah, kepada anak-anak yang memang mengambil kesempatan Lebaran untuk mencari uang jajan ekstra, dan zakat yang diperhitungkan secara matematis oleh aturan Islam.

Bagi keluarga yang tak punya tanah udik sehingga tidak memerlukan perjalanan menengok orang tua atau sesepuh di tempat jauh, mungkin tetap tinggal di kota. Mereka menikmati sepi dan lengangnya ibukota yang kehilangan hampir dua pertiga penduduknya. Namun apa yang harus dilampaui dalam seminggu dua minggu itu? Bekerja menggantikan tugas pembantu yang mudik. Asisten rumah tangga yang memperoleh kesempatan berlibur dari kewajiban rutin, diwanti-wanti oleh majikannya agar kembali lagi. Untuk melerai rasa takut ditinggalkan karena satu dan lain hal, biasanya menjanjikan kenaikan gaji bila setelah Lebaran kembali lagi.

Begitu sakralnya perayaan 1 Syawal sebagai hari raya Idul Fitri. Kondisi yang mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat Indonesia (sebagai negeri dengan penduduk Islam terbanyak), menciptakan kumparan energi luar biasa. Mulai dari gerakan massa yang telah melibatkan efort kerja hampir setiap elemen (kepolisian, rumah sakit, pengusaha kuliner, pengusaha transportasi, perbankan, dan badan amal zakat—untuk menyebut beberapa) sampai dengan waktu yang hilang oleh dampak ’upacara’nya. Betapa semua pekerjaan (proyek yang memerlukan padat karya) terhenti sejenak untuk tunduk pada pesta yang bersiklus tahunan. Alasan yang paling masuk akal saat para tenaga kerja itu kembali dari kampung halaman adalah kesulitan kendaraan.

Tanpa mengurangi makna hari kemenangan bagi kaum muslimin dan muslimat yang berhasil melawan hawa nafsu sepanjang bulan Ramadan, mungkin tak harus dibuktikan dengan kewajiban mudik yang—inalillahi wainailaihi rojiun—kerap membawa korban kecelakaan lalu lintas. Ajal memang tak dapat disangkal. Namun pertimbangan keselamatan perlu menjadi prioritas sebelum sampai kepada tafsir siltaurahmi yang aman bagi semua pihak.

(Kurnia Effendi, penulis novel Merjan-Merjan Jiwa)

 

4 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Selamat sore..
Asik sekali membaca tulisan Bapak. Mudik dengan kendaraan sendiri seperti apapun macet, lama di jalan, ketemu toilet yg menyebalkan, mesjid yang kehabisan air, tapi kok asik2 saja, tetep happy. Seperti Bapak, kami sklg suka muter2 dulu, mampir di rumah teman dan saudara yang di kota yang dilewati, liat2 kota yang belum pernah dikunjungi..akhirnya nyampe sehari setelah lebaran hahaha.
Salam kenal, anita.

5:11 PM  
Anonymous kurnia_ef@yahoo.com said...

Salam kenal juga, Anita. Pada dasarnya saya suka travelling. Mau naik mobil sendiri atau transportasi lain. Memang, enaknya naik kendaraan sendiri, kita bebas mengatur rute dan waktu. Kadang-kadang sengaja berhenti di tempat yang memukau untuk mengambil foto. Atau memilih tempat makan yang spesial. Andai naik pesawat, di tempat tujuan saya suka meluangkan waktu untuk menjajaki daerah-daerah tertentu. Terlebih jika di kota itu ada teman yang dapat mengantar.

5:01 AM  
Blogger chenlina said...

chenlina20160505
lebron 11
tory burch outlet
kate spade handbags
nike store
ray ban sunglasses
kobe 9
toms wedges
michael kors outlet
christian louboutin outlet
air jordans
louis vuitton handbags
tiffany outlet
coach factorty outlet
air jordans
louis vuitton handbags
michael kors handbags
christian louboutin outlet
authentic louis vuitton handbags
kobe 9
adidas uk
michael kors handbags
beats solo
michael kors handbags
true religion outlet
louis vuitton handbags
ray ban sunglasses
ralph lauren uk
polo ralph lauren
michael kors outlet clearance
michael kors outlet
coach factory outlet
ugg outlet
vans shoes sale
nike air max
cheap jordan shoes
kd 8 shoes
timberland boots
coach outlet store online
louis vuitton outlet online
kobe bryant shoes
as

9:09 AM  
Blogger raybanoutlet001 said...

ray ban sunglasses outlet
nike trainers
cleveland cavaliers jerseys
cheap ray ban sunglasses
ralph lauren polo
jordan shoes
mont blanc outlet
polo ralph lauren
new orleans saints jerseys
seahawks jersey

3:43 PM  

Post a Comment

<< Home