Wednesday, September 09, 2009

INKHEART

Ia disebut si Lidah Perak, Silvertounge. Mengapa? Karena saat ia membaca cerita dari sebuah buku, setiap tokoh di dalamnya akan keluar dari teks dan menjadi wujud nyata dengan karakter yang persis sesuai keinginan pengarangnya.

Ini cerita dari sebuah novel berjudul Inkheart karya Cornelia Funke, tetapi saya menontonnya dalam media film. Audi visual. Ditunjukkan di sana, ketika Mortimer si Lidah Perak itu sedang membacakan cerita bagi Meggy, anak perempuannya yang masih berada dalam kereta dorong, ada sesuatu yang aneh. Ia membaca bagian yang menyebut “selimut merah”, dan datanglah selimut merah dari langit diantar cuaca mendung penuh petir.

Ringkas cerita, ada sebuah buku fiksi fantastik yang melepaskan sejumlah tokoh. Satu di antaranya memburu Mortimer ke segala penjuru. Apa tuntutannya? Ia ingin dikembalikan ke dalam buku itu. Risiko yang lain, entah mengapa, istri Mortimer atau mama Meggy yang merupakan tokoh nyata, masuk ke dalam buku Inkheart. Sejak itu Meggy menjadi piatu, diasuh oleh ayahnya hingga remaja.

Petualangan Mortimer memburu buku Inkheart (diceritakan selalu mengunjungi pameran dan bursa buku-buku lawas) adalah untuk mengembalikan istrinya ke alam nyata. Namun di sebuah kota di Prancis, ia harus berurusan dengan tokoh dalam Inkheart yang ahli menjadi pengelola api. Petualangan itu sampai kepada peristiwa terbakarnya perpustakaan besar milik nenek Meggy dan diculiknya keluarga Mortimer bertemu dengan para tokoh fantasi dalam Inkheart yang dikurung kerangkeng besi. Di tempat itulah sebetulnya Resa berada, namun dalam keadaan kehilangan suara.

Film ini sangat menggugah karena berkaitan dengan buku: sebuah dunia yang saya akrabi sejak kecil. Buku adalah sahabat yang menghibur di pelbagai tempat. Buku adalah jendela dunia, kata Nehru. Buku adalah gudang ilmu. Buku adalah petunjuk hidup (terutama jika itu kitab suci), pedoman untuk melakukan banyak hal (jika itu buku-buku praktis). Buku adalah bagian dari industri masa kini.

Menurut seorang pembaca ‘gila’, film Inkheart tak sekuat novelnya. Tentu saja, karena buku bisa memancing imajinasi kita ke mana-mana hanya dengan buaian kata-kata. Sementara film, selain durasinya terbatas, imajinasinya telah diwakili oleh sutradara melalui artistik visual. Namun demikian, tidak semua film gagal menerjemahkan buku. The Goodfather masih cukup baik dan berhasil.

Pengarang novel Inkheart yang juga sempat bertemu dengan tokoh-tokohnya, begitu kagum mendapati “kenyataan” itu. Ini semacam simbol, bahwa buku-buku fiksi yang bagus (termasuk Harry Potter dan karya-karya Ernest Hemingway), yang menampilkan tokoh-tokoh dengan karakter kuat, serupa anak-anak kandung bagi sang pengarang. Tokoh itu begitu hidup. Seperti orang-orang yang berada di sekitar kita.

Entah energi seperti apa yang ditiupkan oleh para pengarang hebat, sehingga Don Carleone (The Goodfather), Hercule Poirot (novel-novel detektif Agatha Christie), Ikal (tokoh sentral novel memoar Laskar Pelangi), Musashi dan masih banyak lagi, menjadi ikon yang melekat dalam ingatan banyak orang. Barangkali, Inkheart juga ingin memberi tahu kepada kita, bahwa setiap goresan pena sang pengarang adalah benih energi yang dapat dihidupkan oleh siapa pun kapan saja.

Maka berbahagialah para pembaca yang menemukan kisah-kisah bagus, yang ditulis bukan dengan sambil lalu, namun mengerahkan semua imajinasi dan pertimbangan rasional untuk menemukan logika (fantasi) yang dapat diterima secara luas. Pembaca-pembaca pintar selalu memberikan nilai tambah pada buku yang dibacanya. Membeli buku bagi yang punya uang tentu persoalan gampang, namun yang sulit adalah memilih buku yang baik.

Bagaimana cara mengenali buku yang baik? Ada banyak bantuan kalau kita mau membuka blog-blog para reviewer buku. Di sana, para pembaca ‘gila’ itu memberi kesan pembacaan mereka dengan cukup terbuka. Jika bagus akan dibilang bagus, jika buruk juga bisa terus terang dinilai buruk. Bahkan komentar-komentar yang hadir sesudah rilis resensi buku itu akan membimbing kita ke arah pendapat yang cukup solid.

Di masa kini buku menjadi semacam gaya hidup. Kalau tidak pernah membaca buku, tampaknya akan berkurang gengsinya. Kalau ada eksekutif muda yang tidak tahu siapa John Grisham atau Sidney Sheldon, rasanya kurang gaul. Jika ada kaum intelektual yang luput membaca Goenawan Mohamad, Pramoedya Ananta Toer, atau sejarah sukses Starbucks, bisa dibilang ketinggalan. Bahkan para santri pun mulai membaca buku-buku di luar teks agama. Mungkin saja diawali dengan novel Ayat-Ayat Cinta, selanjutnya terjemahan karya Julian Barnes pun dilahap.

Buku akan bertambah indah oleh imajinasi pembaca. Inkheart akan lebih indah bila kita lepaskan ingatan dari filmnya. Filmnya sendiri sudah mewakili bayangan takjub tentang tokoh yang “tersesat” di bumi dan menuntut pembacanya dengan kekerasan demi dapat kembali ke dalam teks. Meggy, anak Mortimer yang mewarisi kemampuan ayahnya dalam menghidupkan tokoh, di pengujung cerita telah menyelamatkan umat manusia. Dengan cara apa? Membaca teks yang ditulisnya sendiri, menghancurkan tokoh-tokoh jahat, dan mengembalikan keluarganya dalam satu pelukan kebahagiaan.

Berbeda dengan film-film vampire yang selalu mengakhiri dengan sebuah awal (menyisakan tanya: “Wah, bagaimana selanjutnya?”), Inkheart ditutup dengan happy ending. 

Dalam hal ini, seorang pengarang wajib pintar dan komunikatif. Kalau tak pintar, tak mungkin menghasilkan karya yang sanggup memukau pembacanya. Kalau tidak kreatif dan komunikatif, mana mungkin kisahnya terasa hidup, diterima, dan dikenang oleh banyak orang, nyaris sepanjang zaman. Dulu tentu berawal dari para sastrawan bangsawan, karena merekalah yang memiliki kesempatan menjadi pintar dibanding rakyat jelata. Kini hampir semua kalangan dapat menjadi pengarang, dengan panduan bakat dan ilmu yang diperlolehnya secara akademis maupun informal.

Inkheart mungkin salah satu contoh saja yang memadukan antara otoritas pengarang dan manifestasi para tokohnya. Di masa lalu ada dongeng yang selalu menyelamatkan penceritanya dari hukuman mati dari Sang Raja (Kisah 1001 Malam). Beberapa memoar juga berkisah atau terabadikan lantaran buku, seperti “Buku Harian Anne Frank” atau kisah perjalanan Mayan, memoar yang ditulis dalam bentuk novel oleh Sanie B. Kuncoro.

***

(Kurnia Effendi, penulis memoar “The Four Fingered Pianist”)