Thursday, September 10, 2009

MASA INKUBASI KARYA

Masa inkubasi tidak hanya berlaku bagi virus penyakit. Kata itu memang berasal dari istilah pengeraman, pembentukan, proses pembiakan, untuk kuman atau virus sejak benih sampai terjadinya penyakit. Dengan kondisi yang mirip, rentang durasi yang mengubah cikal bakal tumbuh dan ‘lahir’ sebagai bentuk yang berbeda (mengejawantah), disebut masa inkubasi.

Istilah itu disampaikan oleh Budi Darma, seorang novelis yang menjadi guru besar di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan dosen Universitas Petra Surabaya, pada kesempatan diskusi novel Olenka. Ada beberapa pertanyaan dari peserta forum diskusi, berbunyi seperti ini: “Apakah ada hubungan antara novel Olenka dengan tren hippies di Amerika tahun 70-an? Siapakah Olenka sebenarnya? Apa yang menyebabkan novel Olenka ditulis begitu deras seolah tak terbendung?”

Sebelum menyampaikan jawaban dari ketiga pertanyaan itu, saya ingin berbagi pengalaman saat membaca novel Olenka.

Novel itu ditulis oleh Budi Darma di akhir tahun 70-an. Mendapat penghargaan sebagai buku sastra terbaik sekitar awal tahun 80-an. Diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka dengan kaver yang sederhana (bila dibandingkan dengan desain-desain sampul masa kini). Pertama kali saya membaca langsung terpesona. Di awal tahun 80-an itu, saya sedang keranjingan bacaan.

Saat itu saya masih duduk di STM Pembangunan Semarang, jauh dari urusan sastra. Pelajaran yang saya terima di kelas yang minim teman perempuan, dominan soal teknik. Namun dalam pelajaran bahasa Indonesia, saya memiliki ketertarikan lebih. Tak heran jika saya demikian aktif  mengisi majalah dinding bernama “Trio Dinamika”. Tak heran jika saya sering berlama-lama mojok di perpustakaan membaca buku-buku fiksi.

Apa yang saya baca saat itu? Karmila dan Badai Pasti Berlalu karya Marga T. Cintaku di Kampus Biru, Terminal Cinta Terakhir, Sirkuit Kemelut, karya Ashadi Siregar. Sejumlah puisi Toto Sudarto Bachtiar, Darmanto Jatman, dan Taufiq Ismail. Berlangganan majalah Hai dan menggemari Arswendo Atmowiloto. Menyukai novel dan cerpen Putu Wijaya yang absurd. Di antaranya Stasiun, Telegram, dan naskah-naskah dramanya. Kagum pada karya Iwan Simatupang seperti Tegak Lurus dengan Langit, Ziarah, Merahnya Merah. Membaca terjemahan indah Anton Adiwiyoto untuk novel Wanita karya Paul I Wellman. Lalu, di antara yang berserak itu… saya temukan Olenka!

Sebuah cara menulis yang tak biasa diakui oleh pengarangnya, Budi Darma, membuat saya ingin mendapatkan pemicu dan dorongan yang sama. Menulis dengan deras seolah tak terbendung tentu digerakkan oleh energi yang tak tampak. Keunikan novel karya Budi Darma itu terdapat pada bias antara proses yang merupakan fakta dan aliran kisah yang fiktif (fiksi). Ini sebuah skripsi atau cerita rekaan?

Di sana ada bab-bab dengan banyak catatan kaki. Dalam novel itu ada ihwal cerita yang masuk ke dalam cerita. Tokoh-tokoh utama dalam novel itu, Olenka, Wayne Danton, dan Fanton Drummon, adalah karakter yang tak dapat disebut normal. Mereka unik satu sama lain, dan secara psikologis bahkan dapat digolongkan ‘sakit’.

Ada penciptaan metafor yang asyik, misalnya si Drummon menganggap Olenka sebagai sebuah peta. Digelar di mana saja: meja makan, dapur, di atas lemari. Terbayang betapa liarnya mereka bercinta. Bagaimana mungkin keliaran tokoh-tokoh itu muncul dari pribadi yang santun dan tenang semacam Budi Darma? Kenyataannya seperti itu. Sikap sopan, ramah, dan selalu menghormati orang lain itu tidak menghalangi pikiran dan imajinasinya untuk kelayapan ke mana-mana. Gabungan antara energi dan kreativitas telah membangun sebuah masterpiece karya sastra. Dan ternyata, saya telah membaca Olenka lebih dari 4 kali, dengan kesan yang selalu baru.

Cerita dengan latar tempat Bloominton, Indiana, Amerika itu  toh tidak serta-merta menyembunyikan Budi Darma sebagai orang Jawa (Surabaya). Percakapan dalam novelnya itu selalu menggunakan kata ‘sampeyan’ sebagai kata ganti ‘kamu’ yang terkesan Jawa banget.

Mari kita simak jawaban Budi Darma untuk tiga pertanyaan di atas. Fakta pertama, di tahun 70-an Budi Darma bersama Sapardi Djoko Damono berada di San Fransisco, kota pusat ledakan hippies yang terjadi sebagai dampak dari kebijakan wajib militer bagi setiap warganegara Amrik, yang ditolak oleh salah satunya petinju Muhammad Ali.

Fakta kedua, Olenka adalah seorang warga Rusia dengan nama panjang Olga Semionova, yang menjadi tokoh dalam cerpen “The Darling” karya anton Chekov. Budi Darma membaca bertahun-tahun sebelum novel Olenka ditulisnya. Dalam waktu yang berbeda, gerakan hippies di Amerika dan nama Olenka mengendap dalam alam bawah sadarnya.

“Ada seorang penumpang pesawat yang terbang dari Honduras ke Amerika,” kata Budi Darma. “Penumpang itu telah terjangkit virus flu babi yang pada hari keempat atau kelima akan merasakan sakit. Setelah tiba di Amerika, pada hari kelima ia merasakan sakit dan oleh dokter divonis mengidap flu babi. Jarak sejak virus itu mengeram sampai meledaknya rasa sakit itulah yang disebut masa inkubasi. Endapan nama Olenka itu mengeram dalam masa inkubasi yang panjang sampai meledak sebagai tokoh novel di Bloomington bertahun-tahun kemudian.”

Pertanyaan kita berikutnya: apa yang memicu terbukanya keran kreativitas dan energi untuk menuliskannya?

Fakta ketiga, suatu hari ketika Budi Darma pulang ke apartemennya, bertemu seorang wanita dan tiga gembel dalam sebuah lift. Budi Darma membayangkan nama perempuan itu Olenka! Sesampai di kamarnya, ia membuka mesin ketik dan menulis seperti kesetanan. Mengalir deras tak henti-henti.

Jadi antara endapan memori dan trigger itu merupakan faktor yang menentukan lahirnya karya bagi seorang seniman. Budi Darma mengaku tidak memiliki tendensi khusus novel-novelnya akan ditujukan kepada sekelompok pembaca tertentu. Ia hanya menulis saja, sesuatu yang sangat nikmat baginya. Saya mengenal karya-karyanya yang lain: Orang-Orang Bloomington, Nyonya Talis, Rafilus, Harmonium, dan Kritikus Adinan. Dan novel Olenka diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka tahun 2009 ini.

Setiap kali saya bertemu dengan Budi Darma, selalu bertambah ilmu, selalu merasa dipompa energi untuk menulis lebih baik. Ia seorang bapak yang dermawan berbagi pengalaman dan pengetahuan. Setiap kali saya berdinas ke Surabaya, selalu saya sempatkan singgah di rumahnya. Setiap kali Budi Darma memiliki agenda di Jakarta, Depok, Puncak, atau di mana pun yang sanggup saya sambangi, selalu saya usahakan untuk bertemu. Kadang-kadang terlibat dalam acaranya atau sengaja mengobrol sembari minum kopi di lobi hotel tempatnya menginap. Itu pasti lebih hikmat dan nikmat.

***

Kurnia Effendi