Monday, April 24, 2006

Filosofi Kopimu, Dee


Filosofi dalam Secangkir Kopi

Judul Buku : FILOSOFI KOPI
Pengarang : Dee (Dewi Lestari)
Kata Pengantar : Goenawan Mohamad
Penerbit : Gagas Media
Cetakan Pertama : Februari 2006
Tebal Buku : 134 halaman dan X

FILOSOFI kopi? Perlukah memahami filsafat saat kita minum kopi? Atau adakah semacam konsep hubungan transendental antara seorang peminum kopi dengan zat yang diminumnya? Atau setiap jenis minuman memang memiliki filosofi? Andai benar terjadi, pertanyaan ini bisa sangat memanjang dan kita siap-siap mengerutkan kening atau sengaja menyisihkan waktu untuk memaknai sesuatu yang kita minum, dan dalam 'kasus' ini adalah kopi...

Akan tetapi, sebenarnya kita tidak akan minum kopi. "Filosofi Kopi" adalah judul buku buah karya Dewi (Dee) Lestari, sebuah kumpulan cerita dan prosa yang diterbitkan oleh Gagas Media bulan Februari 2006. Agaknya, selain menghasilkan novel trilogi Supernova (Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh; Akar; Petir), Dee juga menulis cerita pendek dan sejenisnya, yang berlangsung sepanjang satu dekade (sepuluh tahun, dari 1995 sampai dengan 2005). Sejumlah tulisannya itu (dalam buku Filosofi Kopi terhimpun 18 karya) mendapat komentar positif dari Goenawan Mohammad, yang petikan pengantarnya dicabtumkan dalam sampul buku: "Tidak ruwet, bahkan terang benderang; tak berarti tanpa isi yang menjentik kita untuk berpikir. Ada sebuah kata bahasa Inggris, wit, yang mungkin bisa diterjemahkan dengan ungkapan 'cerkas'. Kumpulan prosa ini menghidupkan yang cerkas dalam sastra Indonesia."

Pada sebuah perbincangan diskusi yang lebih menitikberatkan pada pembahasan sisi spiritual dalam karya-karya Dee, sang pengarang pernah menyampaikan tentang dirinya, yang dihubungkan dengan dua penulis (oleh karena sering dipersatukan dalam forum diskusi di beberapa tempat) yang dikaguminya, yakni Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Dee menggunakan perumpamaan kopi! Menurutnya, karya-karya Djenar adalah ibarat secangkir kopi tubruk, yang memberikan sensasi bagi peminumnya (pembacanya) dan meninggalkan kesan yang luar biasa sesudahnya. Sedangkan karya Ayu Utami merupakan kopi yang diracik akurat sehingga takarannya begitu pas, dan menimbulkan rasa nikmat yang tak dapat dibantah. Sementara untuk diri sendiri, Dee menganggapnya sebagai kopi yang setelah diminum, peminumnya akan mencari minuman lain. Ah, apa maksudnya? "Janganlah berhenti pada karya saya. Karena banyak karya lain yang menunggu giliran untuk dibaca," begitu kira-kira harapan Dee.

Dari kedelapan-belas tulisan Dee dalam buku Filosofi Kopi (diambil dari judul cerita pembuka), yang memiliki kaidah umum sebagai cerita (atau cerpen) ada 8, sepuluh yang lain merupakan prosa yang kepuisi-puisian, atau semacam catatan ungkapan hati atas sesuatu yang bersifat lebih filsafati. Misalnya tentang pertumbuhan sebuah pohon sejak masih mungil (melihat semut sebagai serdadu dan embun seolah bola kristal dari surga) hingga menjulang tinggi (bahkan burung-burung bisa bersarang di ketiaknya) mendekati langit menjauhi tanah. Itu tercantum dalam "Jembatan Zaman". Sejumlah cerita dengan minimum kata yang lain adalah: Salju Gurun, Kunci Hati, Selagi Kau Lelap, Diam , Cuaca, Lilin Merah, Cetak Biru...dll. Pada judul-judul itu terasa sejak awal sebagai himpunan makna hidup yang telah dan sedang dialami oleh sang pengarang. Pengalaman yang dicerap itu menumbuhkan suatu pemahaman, pembelajaran, dan bahkan mungkin kesimpulan, yang membuatnya akan lebih arif dalam menghadapinya. Yang paling sederhana, misalnya: "Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang jika ada ruang?" (Spasi). Atau: "Otot mereka kokoh akibat kecintaan mereka pada berlari, bukan mengantar seseorang ke sana-kemari. Kandang mereka adalah alam, bukan papan yang dipasangkan..." (Kuda Liar).

Cerpen Filosofi Kopi (ditulis tahun 1996), merupakan cerita yang deskriptif, tentang dua lelaki yang bersahabat dan sepakat membangun kedai kopi yang tidak biasa. Kedai Koffie Ben & Jody, itulah nama kafé yang menggunakan nama panggilan pemiliknya. Ben, sebagai ahli minuman kopi, sebelumnya telah melanglang ke seluruh penjuru dunia hanya untuk mempelajari ramuan kopi ternikmat dari kafe-kafe kelas dunia. Kemampuannya memahami setiap rasa kopi yang memiliki efek sensasi sesuai harapan peminumnya, membuat kedainya ramai dikunjuingi pelanggan, dan nama kedainya berganti menjadi Filosofi Kopi, Temukan Diri Anda di Sini. Tapi dalam setiap perjalanan sukses, selalu ada aral sebagai batu ujian. Suatu hari, seorang enterpreuner yang tidak menemukan tegukan kopi sebagai Wujud Kesempurnaan Hidup, telah membuat Ben menutup warungnya demi mencari ramuan itu. Perjuangan ini dilukiskan dengan bagus oleh Dee. Ia mencoba menguras emosi dua sahabat dalam pelbagai peristiwa, yang meskipun berbeda haluan pemikiran, tetap dapat bersatu visi untuk melakukan bisnis bersama. Dan apa yang terjadi ketika seorang lelaki dari desa yang sangat 'culun' untuk sebuah suasana kafe memasuki kedai Ben dan Jody untuk mencicipi ramuan Ben's Perfecto? Jawaban lelaki Jawa yang 'ndeso' itu membuat Ben frustrasi. Seolah-olah, seluruh perjalanan panjangnya untuk mendapatkan rasa kopi terbaik di seluruh permukaan bumi jadi sia-sia, dinafikan oleh sepotong lidah laki-laki yang mungkin seumur hidupnya hanya merasakan 'kopi tiwus'. Ah, apa hebatnya 'kopi tiwus'? Lebih baik anda membaca sendiri!

Karya-karya Dee kadang-kadang juga mengandung paradoks (seperti pada Salju Gurun) yang tidak lepas dari keinginan untuk memahami, bahwa sesuatu yang bertolak-belakang itu juga bisa harmonis. Bahkan mungkin sebuah cara untuk tampak menonjol (terkemuka) sebagai eksistensi. Dengan membaca seluruh isi buku, kita seperti membedah cara berpikir Dee, juga caranya menerima nikmat kehidupan. Ternyata sebuah tulisan tidak semata-mata suguhan yang bertujuan menghibur pembaca atau menerbitkan sensasi fisik; justru Dee menempuh jalan yang lebih berakar pada, ah, lagi-lagi bersifat filosofis! Tampak sebagai buah hasil perenungan (yang tidak dengan sengaja berkontemplatif di suatu tempat) dari kehidupan yang dijalani sehari-hari. Hubungan antar-manusia, kasih sayang, pengamatan terhadap benda-benda yang berfungsi di sekelilingnya. Dan dalam satu ungkapannya di Lilin Merah, menunjukkan bahwa kebahagiaan tak harus tampil dengan suasana eforia: Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik.

Pada pengakuannya, karier Dee sebagai penulis sesungguhnya berjalan paralel dengan kariernya sebagai penyanyi. Hanya saja, yang sampai kepada publik terlebih dahulu adalah bakatnya sebagai penyanyi (melalui kelompok vokal Ridha Sita Dewi). Bersamaan dengan lahirnya kumpulan cerita Filosofi Kopi, Dee juga mengedarkan rekaman nyanyi tunggalnya bertajuk "Out of Shell" dalam bentuk Compact Disk. Tema yang paling favorit baginya untuk berkarya adalah cinta. Dan itu dibuktikan pada setiap karyanya baik novel maupun kompilasi prosa di buku Filososfi Kopi. Bahkan cerita Rico de Coro yang pemeran utamanya seekor kecoak, masih juga berbicara tentang cinta antara binatang menjijikkan itu dengan seorang manusia (gadis cantik dan manja) dari sudut pandang keluarga coro. Tentu ini sebuah cinta platonis. Dalam kisah itu, muncul pengorbanan atas nama cinta, yang mungkin lebih tulus ketimbang cinta seorang manusia laki-laki.

Tak berlebihan 'pujian' Goenawan Mohamad terhadap Dee, karena selain menyampaikan cerita dengan jernih dan cerdas, pengarang yang telah menikah dengan penyanyi Marcel dan berputra Keenan ini begitu taat terhadap kaidah bahasa. Terbukti dia perduli dengan gramatikal, tidak sekadar pandai mengutarakan buah pikiran namun juga cara menuliskannya. Kepekaan seperti ini menjadi penting, manakala para sastrawan atau orang yang sejak awal berkecimpung di dunia tulis-menulis justru abai terhadap piranti komunikasinya sendiri.

Sampul bukunya sesungguhnya menarik, menyesuaikan judulnya: mengambil gagasan kemasan biji kopi dengan label yang biasanya dibuat menggunakan kertas sampul coklat dan tera merk yang dihasilkan oleh teknis sablon atau cetak sederhana. Namun jika sang pengatur buku di toko buku tidak teliti, karya sastra ini dapat diletakkan salah, misalnya di sekitar buku tentang cara menanam tembakau, minyak perawan kelapa, atau budidaya belut. Atau malah digabung dengan buku-buku filsafat yang lain?

Nah, apakah Dewi (Dee) Lestari, seperti harapannya, adalah ibarat secangkir kopi yang setelah kita teguk lantas kita tinggalkan untuk beralih mencari minuman (bacaan) lain? Mari kita buktikan. ***