Monday, November 06, 2006

Opor Ayam

1

1

SEMALAM tak ada tarawih, diganti dengan kumandang takbir di mana-mana. Subuh hari ini Mas Slamet tidak puasa lagi karena Lebaran. Bahkan sebelum berangkat ke halaman masjid untuk shalat Iedul Fitri, disunahkan untuk sarapan lebih dulu. Tapi karena teringat ada hidangan yang akan disajikan oleh Bibi Sumi di Sanggar, Mas Slamet hanya minum kopi.

Sesudah sembahyang Ied nanti, kita langsung ke Kebon Pala,” ia mengingatkan isteri dan anak-anaknya.

Apakah cukup masakannya untuk kita sekeluarga?” tanya isterinya. Lagi pula ada Ibu di sini.”

“Kita ada janji sama kawan, Ayah. Boleh berpisah jalan, kan?”  anak-anak minta persetujuan.

Sebentar saja. Sekalian ziarah, kan dekat dari situ.”

Tetapi setelah mempertimbangkan ini  dan itu, akhirnya Mas Slamet meluncur sendiri ke Sanggar. Ia hanya ingin menepati janji, memenuhi undangan Bi Sumi yang sudah dari jauh-jauh bulan disampaikan. Ketulusan itu yang hendak ia tiru. Sehingga, apa pun yang dia dan teman-teman Sanggar lakukan untuk penghormatan kepada Bung Teguh Karya, harus dilandasi dengan niat tulus.

Seorang berambut gondrong membukakan pagar untuk mobil Mas Slamet.

Hai, Edi! Kamu nggak pulang kampung?” sapanya begitu turun. Edi gondrong segera menjabat tangan Mas Slamet sambil mengucapkanminal aidin’.

Tahun ini giliran di Jakarta. Lagi pula itung-itungannya nggak cocok buat mudik.” Edi tertawa lebar. Mas, sudah ditunggu Bi Sumi.”

“Oh ya. Mana dia?” Mas Slamet bergegas masuk melalui pintu belakang yang langsung berhubungan dengan ruang pementasan. Ia mengucap salam di ruang lengang.

Seorang perempuan membalas salam dari dapur. Bi Sumi tergopoh seraya menarik tangan anaknya untuk mengikuti langkahnya.

Alhamdulillah, Mas Slamet datang. Mana isteri dan anak-anak?” Diraihnya tangan Mas Slamet dan diciumnya sambil memohon maaf lahir dan batin. Diikuti oleh anak lelakinya yang mengenakan baju baru.

Sama-sama, Bi. Aku yang banyak melakukan kesalahan. Di rumah ada neneknya anak-anak, susah dibawa jalan-jalan. Lagi pula ada beberapa tamu datang, jadi aku sendiri saja. Hari lain aku ajak semua ke sini.”

Terimakasih, Mas. Mari, langsung ke ruang makan. Sudah Bibi siapkan opor ayamnya.”

Ayo, kita makan bersama-sama. Mana si Edi tadi?” Mas Mamet berjalan ke beranda yang kini menjadi ruang makan. Halaman yang diteduhi pohon mangga masih basah oleh gerimis semalam, tapi bebas dari tebaran daun. Ada jejak garis-garis sapu lidi yang telah menyingkirkan semua sampah.

Mas Slamet mau makan nasi atau ketupat?”

Karena hari ini Lebaran, aku pilih ketupat.”

Dengan cekatan, Bi Sumi membelah janur pembungkus ketupat, dan mengirisnya di atas piring. Ayamnya mau yang paha atau sayap?”

Wah, jangan membuatku jadi kikuk, Bi.” Mas Slamet tertawa. Aku bisa ambil sendiri. Dan Bibi jangan berdiri di situ. Duduk sajalah. Si Otong suruh panggilkan Edi, biar sekalian makan.”

Bibi menyeru nama anaknya untuk memanggil Edi gondrong. Lalu kembali menatap Mas Slamet menyendok opor dari pinggan besar. Kuah kuningnya menyebarkan aroma harum santan yang gurih. Mengepul asap pertanda hangat.

Hm, luar biasa! Masakan Bibi cocok untuk lidah kami. Jadi jangan khawatir, aku pasti akan nambah nanti.” Mas Slamet menyeruput kuah opor dari sendoknya.

Syukurlah kalau enak,” Bi Sumi tampak lega. Hampir saja saya gagal, Mas.”

Maksud Bibi?” Mas Slamet mulai mengunyah ketupat dan menyayat daging ayam dengan garpu. Tampak begitu berselera.

Kemarin siang, Otong main-main di pekarangan. Mungkin dia bosan di kamar, karena liburan tak ada teman. Saya kaget waktu dia membuka kurungan ayam…” Bibi Sumi bercerita sambil berdiri di samping Mas Slamet. Ayam jago itu lepas!”

Wahlantas?” Mas Slamet terbelalak. Mirip naskah drama saja, pikirnya. Ada ketegangan yang diletakkan di awal cerita.

Saya minta tolong Edi untuk mengejarnya, tapi ayam itu lolos dari tangkapan dan lari keluar pagar.”

Jadi, pikirnya, ini bukan ayam jago itu? Tapi ia terus menyuapkan ketupat dan daging ayam ke mulutnya. Kumisnya turut mencicipi kuah bersantan itu. Terus?”

Agaknya Bi Sumi berbakat menjadi pendongeng. Saat ayam itu menyeberang jalan, sepeda motor menabraknya. Saya menjerit dan menubruk ayam yang menggelepar di jalan. Saya panik, Mas.”

Astaghfirullah! JadiBibi beli ayam lagi?” Mas Slamet memandang takjub.

Tidak. Ayam itu segera kami bawa ke dapur untuk dimasak…”

Hei, tunggu!” Pandangan Mas Slamet berubah cemas. Kalau begitu, ayam yang dimasak ini halal atau haram?”

Jangan khawatir, Mas. Halal. Ayam itu belum mati, kok. Hanya sayap dan kakinya yang patah. Lalu Bibi minta agar Edi segera menyembelihnya.”

Oo,” mulut Mas Slamet membentuk bulatan.

Alhamdulillah. Akhirnya Bibi bisa juga masak opor ayam untuk Mas Slamet.” Bi Sumi bersyukur sambil mengelus dadanya dengan kedua tangan.

Terima kasih, Bi. Eh, mana Edi? Kok nggak datang-datang?”

Sebentar Bibi panggil,”

Tepat ketika Bi Sumi berlalu, Mas Slamet mendapatkan bunyikrespada gerahamnya. Daging ayam yang dikunyahnya seperti mengandung beberapa butir pasir. Kebetulan ia memilih sayap, bagian yang menjadi kesukaannya. Lalu ia teringat cerita Bibi, bahwa sayap dan paha ayam jago itu patah tertabrak motor. Dan menggelepar di aspal jalan. Boleh jadi, butir-butir pasir ituatau serpih aspal?

Bibi Sumi datang kembali tanpa Edi. Katanya nanti saja. Dia makannya banyak, malu kalau sama-sama Mas Slamet.”

“Ah, alasan saja. Biasanya kita makan rame-rame di sini.” Mas Slamet meneguk air putih untuk menggelontor hasil kunyahannya.

Mas Slamet tadi janji mau nambah, kan? Bibi ambilkan paha atau sayap lagi?”

Mas Slamet segera mengembangkan telapak tangan kanannya. Menahan gerakan Bi Sumi. Nanti aku ambil sendiri, Bi. Sekarang seduhkan teh manis saja untukku, ya?”

Baik, Mas.” Bi Sumi kembali beranjak ke dapur. Sementara Mas Slamet menarik nafas lega. Ia tersenyum sendiri. Ini Lebaran yang luar biasa!

Apa pun yang kemudian dikunyah sampai habis, telah menerbitkan rasa haru pada hati Mas Slamet. Bi Sumi telah berjuang agar cita-citanya tercapai. Dia begitu jujur menceritakan setiap proses untuk meraih harapannya. Tanpa menyembunyikan sedikit pun peristiwa yang terjadi. Hati jernih yang sungguh sulit ditemui bahkan pada orang-orang yang kerap memberikan nasehat tentang kebajikan.

Ketulusan itu harus ditiru, pikir Mas Slamet. Dengan kesederhanaan, ungkapan terima kasih seseorang tampak mewah di matanya. Sepasang kelopak yang kini menghangat oleh desakan air bening.

 

***

 

(untuk Mas Slamet Rahardjo Djarot)

 

Kurnia Effendi, untuk Jeda Tabloid Parle, edisi 61, 6 Nopember 2006 

 

 

 

 

 

 

1 Comments:

Blogger asrita said...

alhamdulilah nemu blog ini..
cerita2 yang ada, saya lahap dengan cepat..
untuk buruh pabrik yang jatah beli buku harus sangat disesuaikan seperti saya..blog seperti ini bagaikan oase..apalagi di tanggal tua begini..

sering2 nulis ya mas..

2:44 PM  

Post a Comment

<< Home