Tuesday, March 20, 2007

Sebijak Air Semulia Emas

Selamat Ulang Tahun Emas Pak Rudy dan Bu Lince,

            KIRANYA hanya Tuhan yang kuasa mempertemukan dan memisahkan, mengawali dan mengakhiri, dan mengijinkan serentang waktu yang memanjang demi menjadi saksi sebuah kebersamaan. Lima puluh tahun sudah pernikahan berjalan, lima puluh batang lilin dinyalakan untuk mencahayai satu harapan: kebahagiaan yang hakiki.

            Inilah tahun emas pekawinan. Tahun ketika bahtera telah berhasil melampaui sejumlah badai. Tahun ketika beranda rumah kembali sunyi kecuali dipenuhi suara indah masa lalu yang mengisi hari demi hari, sebelum anak-anak satu demi satu pergi menempuh pelangi.

            ADAKAH rahasia yang masih tersimpan di hati masing-masing, setelah ribuan hari menjadi teman dalam suka dan duka? Adakah tersisa keping prasangka yang tersembunyi, setelah ratusan bulan berulang kali purnama dan memercikkan lelatu asmara? Semua itu, kini, tentu telah lebur menjadi semacam telaga yang luas berhias kuntum-kuntum padma sebagai lambang kebijakan. Semua itu tentu telah menyatu dalam lingkaran tahun batang pohon yang menjulang teduh sebagai lambang perlindungan.

            Andaikata harus mengulang seluruh sejarah, lembar-lembar riwayat seperti tak hendak terlewat karena betapa manisnya dikulum kenangan. Dikelilingi puspa ragam, lima anak perempuan, yang mengisi taman jiwa sepanjang usia.

            Ah, alangkah segar dalam ingatan, nostalgi yang diungkap kembali, seraya memandang senja. Senja dalam kenyataan, juga senja dalam perjalanan. Terbayang kemilau kolam renang Manggarai, tempat berkaca wajah dua sejoli yang kemudian saling jatuh cinta. Tertera dalam almanak 1953, ketika negeri ini baru delapan tahun merdeka.

            Adalah harapan yang ditimang sejak awal mula dalam dunia yang sama. Merenangi bentangan air, merenangi waktu, merenangi hati masing-masing. Di antara keduanya tumbuh reranting asmara. Dua tahun kemudian, pucuk-pucuk rindu itu dipertautkan dalam selingkar cincin, tanda sepasang hati tak ingin lepas lagi. Pada bulan Oktober, belah rotan itu terpasang di jari manis. Pada musim angin santer, seolah terucapkan janji gerimis.

            Niat suci itu terus tumbuh dan makin kukuh. Kesabaran membuat keyakinan senantiasa utuh. Sampai pada hari yang ditunggu, sepasang perenang nasional duduk sebagai pengantin di pelaminan. Tanggal 10 Maret 1957, keduanya ingin mulai mengarungi lautan kehidupan, dengan saling menyerahkan kepercayaan.

            MALAM ini, pada tanggal yang sama, 10 Maret, adalah lima puluh tahun setelah sakramen suci itu. Jejak panjang titian hidup yang patut menjadi teladan bagi kami. Kesungguhan cinta membuktikan prestasi tidak berhenti. Pada tahun 1958, Ayahanda Rudy mewakili salah satu perenang Indonesia untuk Asian Games di Jepang.

            Cinta itu telah melahirkan lima buah hati. Dimulai dari Margie, Marlyne, Martha, Marcel, dan Margareth. Barangkali kita boleh mengetahui, apakah terkandung makna dari kelima nama yang selalu dimulai dengan tiga huruf M, A, dan R? Adakah terkait dengan nama bulan Maret yang indah ini? Terlepas dari itu semua, kita tahu, kerukunan keluarga menjadi resep utama menuju kebahagiaan sejati.

            Kini, kelima anak tercinta itu telah diantar ke gerbang kehidupan baru, membangun rumah tangga masing-masing.  Satu di antara mereka, Margie, sang perangkai bunga, kini tinggal di Amerika Serikat. Dengan demikian, kehidupan seolah kembali sebagaimana bermula: dua hati yang saling memiliki. Melalui jarak yang ditambatkan temali cinta, memandang pohon-pohon keluarga baru itu tumbuh dalam doa dan restu.      

            Kiranya, tak ada yang lebih indah dari sebuah sejarah yang di dalamnya dipenuhi aroma kasih sayang. Kekayaan hati hanya bisa dibentuk melalui asam garam kehidupan yang tak pernah lepas dari ikatan cinta. Spirit yang dibangun dengan kekuatan saling memiliki selalu membuahkan rindu dan ingatan akan rumah. Ingatan terhadap sang ihwal. Boleh jadi, salah satu caranya adalah secara bersama-sama menikmati menu kudapan hasil karya sendiri. Dari tungku yang sama, dengan masakan yang sama, mengalir ke dalam tubuh dan jiwa.

            SEMATA kehendak Tuhan, yang telah menciptakan malam ini sebagai tahun emas perkawinan. Rasa haru-biru tak cukup ditandai dengan linangan air mata bahagia. Karena sesungguhnya ada ribuan hari-hari yang dengan caranya sendiri membangun pondasi keluarga yang tak tergoyahkan prahara. Prestasi itu ingin kami tiru. Kami merasa malu setiap kali mendengar pasangan yang gugur tak sampai separuh perjalanan. Ternyata kami masih harus banyak belajar, banyak berdoa, dan banyak mengisi hidup dengan cinta.

            Konon terkisahkan dalam pelbagai hikayat. Ketika sepasang manusia kembali memasuki kehidupan berdua, rasa takut kehilangan akan menumbuhkan cinta yang lebih sakral. Dua yang menjadi satu, satu yang tak terduakan. Rindu tak lagi kenal jeda, jarak tak ingin lebih jauh dari sedepa. Kesepian menciptakan keindahan baru.

            Bunda terus mengalirkan kasih sayangnya melalui racikan masakan dan kue buatan tangannya. Menebar luas menembus batas. Ayahanda tekun dengan tanamannya. Semangat menumbuhkan tunas-tunas baru, kehidupan-kehidupan yang tak terbatas. Memandang ikan dalam akuarium seperti menyeruak seluruh rahasia cinta dalam jiwa. Segalanya tampak transparan. Tak tersembunyikan.

            Malam ini adalah malam untuk mensyukuri hidup yang diberikan Tuhan sebagai anugerah luar biasa. Kita yakin, Tuhan sedang menunjukkan sebuah contoh yang nyata, yang tak sanggup dipungkiri, yang patut menjadi teladan bagi kita semua.

            Malam ini kita tidak bermaksud meluapkan hasrat pesta, kecuali ingin saling berbagi dalam suasana cinta. Mungkin perlu diutarakan, bahwa sajian utama ulang tahun emas ini tidak lain adalah buatan Bunda Lince. Itu menjadi bukti, bahwa luapan rasa cinta tak dapat lagi disembunyikan. Pada malam istimewa ini, ada sidik jari yang akan terbawa ke hati kita masing-masing. Semoga akan menularkan keabadian cinta yang sama, terbawa hingga akhir masa.

            Segala rasa yang tercecap di lidah kami adalah rona kehidupan yang akan kami jalani. Aura yang akan membuat kami menayadari betapa besar arti saling memiliki.

            ANAK-anak yang lahir dari perkawinan, dan kami yang menjadi handai tolan, memanjatkan doa untuk kesehatan. Tak ada yang lebih bernilai dari tubuh dan jiwa yang sehat. Semoga Tuhan menghindarkan Ayah dan Bunda dari segala penyakit.

             Setelah semua perjuangan selesai, mungkin tiada lagi kisah yang heroik. Namun perasaan damai adalah tujuan setiap hatinurani manusia, yang belum tentu tercapai. Malam ini kami ingin menimba banyak pelajaran. Rasanya banyak filosofi yang terkandung dalam kesederhanaan sikap, dan kami sedang berusaha bagaimana sanggup menyerap.

            Dunia renang di masa lalu telah memberikan dasar pijakan yang kuat mengenai sportivitas, gairah untuk berjuang dari segala kesulitan hidup, sebuah cara agar tetap bugar, dan persahabatan dengan unsur alam paling penting: Air. Melalui sifatnya yang selalu mengalir ke tempat rendah dan memiliki permukaan yang rata, Ayahanda dan Bunda telah menafsir dengan benar. Malam ini kami menemukan sepasang pengantin yang telah sebijak air.

            Ketekunan mendidik anak-anak, memastikan mereka melangkah pada jalan yang benar, memberikan kasih sayang tanpa pandang jauh-dekat, menjadikan diri sendiri sebagai contoh, adalah pekerjaan yang luar biasa berat. Hanya para pendulang emas, yang selalu hati-hati memilah butiran berharga dari yang tak berguna. Hanya pande-emas yang begitu teliti membentuk logam mulia menjadi tatahan perhiasan indah. Tahun-tahun yang dilalui dengan seksama telah mewujudkan anak tangga hingga hari ini. Kiranya, malam ini kami mendapatkan sepasang pengantin yang telah semulia emas.

            SETELAH ungkapan selamat dari kerabat dan sahabat, ijinkan kami menjadi bagian dari malam bahagia ini. Kini kami menyadari arti pepatah: harimau mati meninggalkan belang dan gajah mati meninggalkan gading. Corak kulit harimau dan gading gajah adalah karakter yang paling berharga sebagai tanda keberadaannya. Menjadi jejak yang bernilai tak lekang waktu. Bagi manusia, nama baik akan menjadi prasasti yang dikenang banyak orang.  

            Malam ini kami sedang menyerap aura nama baik Ayahanda dan Bunda. Dari hal-hal yang sederhana. Dari cinta yang bersemi hari demi hari, perlahan namun pasti, hingga tak tergoyahkan lagi.

            Selamat berbahagia. Selamat mencapai hari yang ke delapan belas ribu dua ratus lima puluh pernikahan agung. Doa dan syukur kami panjatkan. Semoga Tuhan tidak berhenti mencurahkan cintaNya. Amin.

***

Jakarta, 8 Maret 2007

(kurnia effendi)

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home