Monday, March 05, 2007

Terima Kasih

KATA terima kasih umumnya diucapkan setelah pemberian, jasa, pertolongan, bantuan, dilakukan. Saat kita kebingungan mencari alamat, kita akan mengucapkan terima kasih kepada pemberi petunjuk. Saat tetangga yang merayakan Imlek mengirim kue keranjang, kita ucapkan terima kasih kepada pemberinya. Ketika anak kita yang merantau mendapat tumpangan di rumah saudara, melalui telepon atau surat kita sampaikan terima kasih. Ketika perbaikan pompa air yang rusak seusai banjir diselesaikan dengan baik oleh seorang tukang, kita ucapkan terima kasih seraya membayar upahnya. Ketika kita turun dari bajaj di depan gang alamat yang dituju, kita ucapkan terima kasih kepada sopirnya sambil mengangsurkan uang ongkosnya...

Ucapan tulus dari hati yang tergambar melalui rona muka berseri dan senyuman itu disebabkan oleh rasa puas. Kepuasan atas pemberian, jasa, pertolongan, atau bantuan dari pihak lain. Terlebih jika menyangkut urusan hidup dan mati: saudara kita yang kecelakaan di jalan raya diantar ke rumah sakit, misalnya. Ada semacam hutang budi yang tak akan terbayar dengan nilai uang. Tak akan cukup dengan ucapan terima kasih.

Hubungan antarmanusia sebagai makhluk sosial akan menempatkan kata terima kasih sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari. Kini, apakah masih setara nilainya apabila ucapan terima kasih itu dialihkan menjadi barang atau uang?

Taksi yang kita naiki ada tarip standarnya. Jadi, andaikata kita tambahkan ucapan terima kasih dan tip beberapa ribu rupiah, barangkali untuk kenyamanan dan keamanan sepanjang perjalanan. Rumah yang dikerjakan oleh mandor bangunan bersama tim tukangnya, sudah ada pembayaran yang disepakati. Ucapan terima kasih ditujukan untuk jadwal yang tepat atau kepuasan atas hasilnya. Di sini terjadi hubungan timbal-balik yang wajar, sepadan, dan indah. Memang sudah seharusnya demikian.

Saya tertarik dengan teks informasi yang ditulis cukup besar pada salah satu dinding dekat kasir sebuah bengkel mobil. “Jangan berikan tip langsung kepada mekanik kami, masukkan dalam kotak di bawah ini”. Kadang-kadang, untuk ketelatenan sang montir menangani mobil kita, tergugah perasaan untuk memberinya uang di luar upah jasa resmi dari juragannya. Kebijakan pada bengkel itu bertujuan, agar setiap mekanik mendapatkan nilai ekstra yang sama, dan tidak akan pilih-pilih pekerjaan.

Saya pernah ditraktir oleh seorang ilustrator cerita pendek. Katanya, sebagai rasa terima kasih setelah saya memperkenalkan dengan redaksi budaya di sebuah koran ternama. Saya menerima ajakannya dengan gembira. Bahkan selanjutnya saya membantunya lagi agar sejumlah lukisannya dapat dipamerkan di sebuah toko buku yang merangkap kafe. Saya melihat keindahan hubungan pertemanan kami. Tapi tuluskah saya melakukannya? Apakah lantaran pamrih setelah mendapat undangan makan siangnya? Saya jadi ragu: jangan-jangan, apabila sekadar ucapan terima kasih, tak akan berlanjut dengan upaya saya yang lain untuk membuatnya maju.

Dulu sekali, ada tetangga yang memberikan sejumlah uang kepada Kepala SMA, karena anak sulungnya dapat diterima di SMA Negeri itu. Sebetulnya anaknya tak bodoh betul, dan telah dijelaskan bahwa ia masuk bukan dengankatrolanmeski posisi ranking menjelang terakhir. Ini sebagai ucapan terima kasih.” Apakah ini bakal menjadi preseden buruk, karena menjadi pengalaman yang ingin diulang, dan seterusnya?

Ketika bekerja di sebuah perusahaan besar, ternyata setiap urusan ditangani oleh orang-orang yang berbeda. Ada bagian pemasaran, ada bagian produksi, penjualan, promosi, pembelian, pengembangan, ada bagian yang mengurusi sumber daya manusia, dan ada bagian yang tekun dengan masalah keuangan dan pajak. Lalu saya juga mendengar ada istilahbasahdankeringpada tiap-tiap bagian itu. Sementara di pemerintahan lebih santer lagi istilah-istilah seperti itu. Apalagi yang menyangkut hubungan antara wakil rakyat dengan kementrian dan pengusaha, sebuah segitiga yang mirip Bermuda. Ah, rasanya, kita semua tahu apa yang kemudian terjadi di antara mereka. Yang bisa saja berawal dari keinginan “berterima kasih”.

“Terima kasih telah memberi saya proyek. Ada sekadar balas jasa, tak seberapa, mohon diterima.” Dengan dag-dig-dug pada awalnya, pemberian itu kita terima. Benarkah kita telah berjasa “memenangkan” dia? Bukankah semua berlangsung dengan proses tender yang benar? Apa porsi kita dalam kinerja itu? Boleh jadi, kita dipercaya sebagai Pinpro (pemimpin proyek), tapi yang memberi tugas adalah direksi. Tanpa kepercayaan dan tugas itu, tidak mungkin kita menduduki kursi Pinpro. Dan, persoalan yang mengganggu perasaan adalah: pekerjaan itu belum dimulai! Kita belum tahu hasil dan kualitasnya…

Agaknya dari sana pertumbuhan benih “terima kasih” itu bermula, menjalar dan menjadi pohon rimbun yang kelak sulit dirobohkan karena akarnya membelit-belit. Dengan menanam “terima kasih” di pucuk hulu, seseorang akan merasa giliran berhutang budi, di ambang hilir dan membalasnya dengan kontrol yang kendor. Ketika ungkapan “terima kasih” itu diterima di tengah perjalanan, setiap laporan progres dapat diatur. Menjelang serah-terima pekerjaan, ada persiapan-persiapan khusus, demi lancarnya proses yang akan membuat rapor pelaksana pekerjaan terhindar dari angka merah akibat penyimpangan-penyimpangan dari standar yang ditetapkan.

Andaikata sebuah jembatan rontok sebelum habis masa garansi, ada dua penyebab: pertama karena dikerjakan grusa-grusu demi mengejar event (seperti halnya jalan tol Cipularang beberapa waktu lalu), atau karena biayanya tidak sesuai lagi dengan yang dibutuhkan oleh minimum kualitasnya. Untuk yang kedua, ke mana larinya biaya yang seharusnya menjelma tiang konstruksi, batu pondasi, dan rentang baja kelas terbaik itu?

Terima kasih, karena saya telah mendapatkan pelajaran dari peristiwa-peristiwa itu di negeri ini.

(Kurnia Effendi)