Sahabat
SESEORANG tak bisa memproklamasikan dirinya menjadi sahabat bagi yang lain sebelum diuji dengan sejumlah peristiwa. Benarkah demikian? Kita tidak harus percaya dengan pernyataan itu, karena perlu membuktikannya. Saya justru sedang belajar agar bisa lulus ujian itu. Tentu saja, sejak kecil, makna sahabat selalu menunjukkan perubahan. Ketika saya senantiasa tampak bersama-sama dengan tetangga sebaya, baik di sekitar rumah maupun saat di sekolah, tertangkap oleh telinga, ucapan orang tua kami: ”Mereka bersahabat.”
Apa sesungguhnya yang kami lakukan berdua sepanjang bersama-sama? Pinjam komik berdua, bertukar kelereng, bersepeda sampai ke tempat jauh untuk ukuran anak Sekolah Dasar, saling mentraktir, gantian berkunjung ke rumah nenek masing-masing di kala liburan. Bagaimana bila salah satu dari kami sakit atau dimarahi oleh ayah? Simpati yang ditunjukkan oleh teman kita akan menunjukkan kualitas hubungan itu.
Dari satu lingkungan yang kecil ke lingkungan yang lebih besar, dari satu periode ke episode berikutnya, akhirnya dari selajur sejarah kehidupan seseorang ada sejumlah pasang surut hubungan antarmanusia. Kita sering mendengar persahabatan yang pecah oleh kerjasama bisnis. Sesuatu yang berhubungan dengan uang terasa demikian sensitif. Apabila ada salah seorang yang mengalah, akibat ketidakadilan yang terjadi, boleh ditafsir ke dalam dua kemungkinan: karena keikhlasan atau demi menghindari pertikaian sekalipun memendam api dalam sekam. Hal yang kedua itu umumnya akan berujung pada ledakan, dan hancurlah hubungan persahabatan.
Apakah sahabat adalah pribadi yang selalu mampu menjaga perasaan orang lain atas apa pun yang terjadi? Kita harus ingat bagaimana marahnya ibu saat kita bermain hujan, sementara petir menyambar-nyambar. Terpikir betapa ibu membenci kita karena membuat kita kecewa. Padahal di balik murkanya, tersimpan rasa sayang agar kita jangan sampai sakit atau bahkan tewas tersambar lidah guntur. Dengan demikian, bila kasih sayang menjadi dasar persahabatan, masing-masing tidak hanya akan menunjukkan toleransi yang justru membiarkan sahabatnya terjerumus ke dalam jurang kesulitan. Ketika tampak tanda-tanda sahabat kita mulai berkenalan dengan narkoba, sebagai contoh, pembuktian rasa sayang bukan dengan merayakan pesta kepayangnya. Tarik dia sekuat yang kita mampu untuk terlepas dari dunia gelap itu, meskipun resikonya kita bakal dimusuhi. Memang boleh jadi persahabatan itu retak, namun nilainya lebih mulia ketimbang kita melihatnya tenggelam tanpa pernah berusaha menyelamatkan.
Tidak setiap orang memiliki cukup kekuatan fisik, mental, dan spiritual, untuk menjadi sahabat yang benar. Cinta segitiga kerap menumbangkan akar persahabatan antara dua perempuan. Dan konflik itu menjadi sumber inspirasi banyak cerita fiksi. Persahabatan juga terancam bubar oleh hadirnya pihak ketiga yang sulit dipilih salah satu, misalkan isteri atau suami kita tidak respek dengan sahabat kita. Barangkali dengan tetap menghargai masing-masing privasi, hubungan persahabatan dan hubungan suami isteri tidak akan saling meruntuhkan.
***
SUATU petang seorang sahabat mengirim pesan melalui ponsel: ”Aku kecelakaan dan malam ini harus operasi. Teringat pada puisimu tentang kematian yang bening yang kupakai untuk ending novelku. Bahkan aku belum sempat ucapkan terima kasih untuk itu. Doakan aku ya.”
Saya terperanjat dan gemetar. Tak mungkin saya menganggapnya becanda untuk berita yang cukup serius itu. Dia seorang perempuan Solo yang bicaranya lembut. ”Ya Tuhan, apa yang terjadi? Saya kirimkan doa agar proses operasi berjalan lancar dan kamu lekas baik.” Itu balasan saya. Entah kenapa saya tak berani mendesaknya untuk menjelaskan yang terjadi. Baru saya tahu dari teman lain yang juga perempuan: ”Bibirnya sobek, harus dijahit.”
Dalam beberapa hari saya mencoba menanyakan keadaannya. Ia mengabarkan rasa perih yang dideritanya. Ia menganggap peristiwa yang menimpanya sebagai trauma: disuntik ini-itu, diinfus, dibius, dioperasi, dan menjalani proses CT scan. Jarak yang jauh membuat saya hanya bisa menghiburnya melalui SMS, khawatir lukanya tak dapat menggerakkan bibir dengan leluasa.
Ternyata tak selesai di situ. Saya mendengar kabar lagi beberapa hari kemudian, ia jatuh terpeleset di rumah, mata dan pipinya luka akibat terbentur meja. Saya tak dapat membayangkan keterpurukan perasaannya karena kembali wajahnya yang terlukai. Benar kiranya, kalimatnya menunjukkan nada putus asa: ”Pernah kutulis tentang hampa, itu yang kini kurasakan. Tak ada keinginan apa pun meski sekadar air putih. Tapi orang di kantor memaksaku segera kerja. Alangkah kejamnya dunia. Baru kusadari kerapuhanku lebih dari yang kukira.”
Saya ’hanya’ seorang sahabat atau belajar menjadi sahabat. ”Setiap orang punya kalbu, sesuatu yang selalu berubah. Karakter natural itulah kekuatannya. Apa pun yang kita rasakan semua akan lewat dengan sendirinya. Tapi jangan berhenti ikhtiar karena itu investasi Tuhan yang harus kita jalankan agar tak ’bangkrut’. Sejumlah sahabat adalah kekayaan lain yang muncul di saat darurat. Doa dan semangat mereka mengisi rasa hampamu itu. Anggap karya-karyamu sebagai cermin.”
Saya begitu bahagia saat menjelang tengah malam dia bangkit dari reruntuhan. ”Hardikan teman sangat jitu. Katanya aku selama ini bukanlah si cantik, tapi si pendengar, empati, baik hati, penyemangat yang lucu. Jahitan apa pun tidak akan mengubahnya. Ini harus kusetujui. Akan kutemukan diriku yang seperti itu. Kemarin aku cengeng sekali ya. Seperti berada di titik nol. Akan mulai kubangun diriku. Big thanks untuk selalu menjadi sahabatku.”
Rasa lega saya rasakan seperti turunnya embun ke kering tenggorokan. Saya belum tentu sanggup menjadi dia. Bahkan untuk menjadi sahabatnya pun terasa amat berat. Saya terus belajar menumbuhkan benih empati. Selayaknya seorang wiraniaga yang hendak menjadi ”sahabat” pelanggan. Kita ketahui dulu kebutuhannya. Kita dengarkan keinginannya. Dan kita akan masuk melalui ”pintu” yang tepat, sebagai sahabat mereka.
(Kurnia Effendi)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home