Friday, March 02, 2007

Harapan

SEBENARNYA apa yang kita sandarkan pada harapan? Rasanya itu semacam cara untuk menempatkan kita lebih berharga dibanding orang-orang yang putus asa. Harapan juga sebuah cara untuk menghibur diri dari setiap kegagalan, atau kemenangan yang tertunda. Orang-orang kalah masih mampu tersenyum atau menempatkan cahaya pada matanya dengan cara menyisakan harapan: suatu saat akan meraih keberhasilan.

Setidaknya harapan itulah yang saya tanam dalam hati dan pikiran ketika menerbitkan sebuah buku. Karena saya berutang banyak kepada para pembaca, dan “hanya” bisa membayarnya dengan cara menulis, maka saya berharap buku itu dibaca oleh banyak orang, atau bahkan semua orang yang mendapatkannya. Dengan tema cinta, perkara paling universal di Bumi, ada harapan agar kaum romantis akan menggemarinya.

Tetapi, “Cinta adalah tragedi,” ungkap seorang sahabat, M. Fadjroel Rachman. Entah merujuk ke mana, pendapat itu terasa ekstrem, mengingat banyak orang merasakan kebahagiaan dalam genangan cinta. Boleh jadi, ketika cinta itu melampaui takaran yang seharusnya, orang itu tenggelam dan hanyut dibawa arus yang deras. Oleh karena itu, cinta, selain membahagiakan juga mencelakakan. Padahal cinta adalah harapan itu sendiri. Harapan untuk menemukan hari ini, hari esok, yang lebih merona dari hari kemarin.

“Saya masih muda, tapi telah mengalami asam-garam cinta,“ demikian kata Wulan Guritno menjelang membacakan cerita cinta. Saya yakin, di balik kegetiran yang pernah dikunyahnya, ada harapan untuk dua hal: tidak terulang rasa pahit yang sama dan mencapai rasa manis pada lembar hari berikutnya. Malam tanggal 14 Februari itu, Wulan tidak sendiri. Dia hendak makan malam dengan seorang pemuda, beserta harapan tentu saja, untuk memperoleh makna yang lebih berharga dari sekadar menikmati menu berdua dalam satu meja.

Harapan mampu membangkitkan seorang yang sakit parah untuk tetap bergairah memandang hidup. Harapan tetap menjadi nama depan daerah pemukiman yang selalu mendapat giliran banjir di kala musim penghujan tiba, sebagai pertanda keyakinannya yang tak pernah ambruk. Tanpa harapan, mana mungkin para pengungsi itu bersedia tabah menghadapi kesulitan pada hari-hari basah.

Bahkan penjudi pun, dalam mempertaruhkan uangnya, berharap meraih kemenangan. Begitu besarnya harapan, saat gagal mencapainya, ada yang tercerabut dari hatinya. Nafsu untuk mengejar ketinggalan itu akan tampak dari wajah yang merah padam dan perasaan yang sensitif. Dengan demikian, harapan tumbuh oleh akar-akar nafsu. Dan nafsu tidak selamanya buruk, terutama ketika berhias hasrat untuk merengkuh kemenangan secara sportif.

*

SEPANJANG dua hari ini, di lereng bukit yang dingin, saya terlibat dalam sebuah workshop yang diselenggarakan oleh perusahaan. Pembicaraan yang berkembang dari tiap sesi mengandung unsur harapan untuk menciptakan siasat bisnis yang sanggup menjadi terobosan di tengah lesunya ekonomi. Bagi pelaku pemasaran yang gigih, situasi redup seperti sekarang ini – yang telah berjalan setahun – tidak serta-merta merundukkan semangat. Kami pun mencoba bersikap demikian. Mencari peluang dari setiap celah kemungkinan, menyusun langkah-langkah yang semula dianggap mustahil, menggarap setiap kesempatan dengan pertimbangan yang tak terlalu berlarut. Rasanya tak seorang pun di antara kita yang bersedia terus tenggelam dalam kerugian. Satu-satunya cara untuk menangkis kondisi itu adalah menanam harapan.

Ketika saya berjanji pada diri sendiri ingin menerbitkan 6 buku dalam tahun ini, bukan bermaksud mencari sensasi. Itu hal yang masih masuk akal. Namun tidak secara sekonyong-konyong akan terwujud jika tetap dibiarkan sebagai keinginan. Selalu harus ada upaya untuk membuktikannya. Untuk dapat memenuhi target itu, saya akan memasang sebutir bintang di ujung pandangan. Itulah harapan, yang seperti kata Soekarno, harus diletakkan setinggi-tingginya. Setelah itu, berusahalah untuk mencapainya.

Lalu saya teringat ucapan Mario Teguh, bahwa untuk meraup cita-cita yang tak mungkin, gunakan alat-alat yang mungkin. Barangkali ada contoh klasik ketika umat manusia ingin berkunjung ke bulan. Bukankah kala itu dianggap sebagai semacam khayalan yang tak mungkin diwujudkan? Ternyata, dengan peralatan dan teknik yang dianggap mungkin (teknik yang dibuat berdasarkan try and error), sesuatu yang semula mustahil itu menjadi nyata. Agaknya, segala keajaiban teknlogi yang terjadi hari ini adalah sejumlah ketidakmungkinan di masa lalu.

Jadi apa sebaiknya yang harus kita lakukan dalam melewati hari demi hari? Saya sendiri ingin tidak berhenti menggali kemampuan diri, untuk terus melahirkan gagasan-gagasan yang tak terpikir sebelumnya. Dari pematang waktu yang membentang di hadapan langkah saya, ingin selalu saya taburi benih harapan. Kemudian, dengan bekal hasrat yang meluap-luap saya hadapi tantangan itu. Tantangan untuk menuai setiap buah dari harapan yang disemai.

(Kurnia Effendi)

 

 

  

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home