Puisi Pergaulan yang Mewakili Perasaan Orang Banyak
PERSIS tanggal 22 Februari 2007, Forum Lingkar Pena (FLP) berusia 10 tahun. Bagi sebuah organisasi khususnya komunitas sastra, untuk mencapai umur satu dasawarsa pasti memerlukan perjuangan yang luar biasa. Namun demikian, FLP telah sanggup melampauinya bahkan dengan prestasi yang menakjubkan, karena tak hanya tumbuh di
Setahu saya, FLP banyak berkecimpung dalam sastra genre prosa (jika melihat buku-buku yang diterbitkannya). Namun ternyata ada komunitas penulis puisi juga yang beberapa waktu lalu menerbitkan buku untuk menunjukkan empati dan sumbangan bagi korban gempa Jogja. Di forum ini, kita hendak membicarakan puisi pop. Mudah-mudahan forum ini menjadi wadah untuk belajar bersama dan saling memberi masukan antara yang duduk di sini dan anda semua.
SEOLAH-OLAH ada sebuah paradoks dalam dunia perpuisian. Apakah kita sepakat, bahwa hampir setiap orang (yang melek aksara dan bisa berbahasa) pernah menulis puisi? Seorang penyair atau yang merasa diri penyair tentu saja pernah menulis puisi, justru menjadi semacam profesi atau dedikasi. Bagi orang “biasa”, mungkin mereka menulis puisi dalam buku harian, majalah dinding,
Padahal puisi merupakan karya sastra paling universal (apalagi banyak dikembangkan menjadi lagu, atau dengan kata lain, sejumlah besar lirik lagu bisa dikategorikan puisi), yang paling mudah dikenali dari bentuknya: baris-baris kata atau kalimat menjadi bait atau kuplet. Puisi enak dibaca berulang-ulang, ketimbang sebuah cerpen atau novel yang tentu jauh lebih panjang dan menghabiskan banyak waktu. Oleh karena itu puisi juga mudah dihafal luar kepala. Puisi demikian ringkas mengemas perasaan tertentu, sementara prosa justru terasa meluas ke pelbagai arah. Puisi pintar menyimpan misteri sehingga perlu berulang-kali menerka tafsirnya, sementara prosa terasa lebih menjelaskan ketimbang menyembunyikan. Puisi acap kali bersifat personal… nah, barangkali ini simpul musababnya.
Sesuatu yang personal membutuhkan keterkaitan emosional antara penulis dan pembacanya. Sedangkan cerita pendek dan novel (yang realis) bisa diterima pelbagai pihak dengan rentang usia atau profesi yang demikian luas. Puisi, dalam sebuah ekstrem, terasa jadi sangat simbolik dan kepuitisannya jika tidak pas malah membuatnya kenes. Bagi orang biasa (bukan sastrawan atau penggemar sastra), cerita pendek dan novel lebih bisa dinikmati. Tentu karena sifat-sifat yang (umumnya) lebih menjelaskan: ada narasi deskripsi, bahkan dibantu percakapan antartokoh (bila ada).
Mengapa setiap orang cenderung memilih puisi sebagai ekspresi atau katarsis dari gejolak perasaannya? Karena puisi menjadi alat pengucapan yang sanggup segera menangkap sekaligus mengisyaratkan perasaan dalam sebuah momentum. Andai seseorang memilih cerpen atau novel ketika sedang gandrung, marah, atau terharu, agaknya perasaan itu terburu tawar sebelum jalan pengungkapannya selesai. Meskipun, dalam kasus tertentu, seseorang akan menulis prosa dengan memelihara “keterharuannya” secara konsisten sepanjang proses penulisannya. Itu saya kira persoalan obsesi.
Karena kita akan bicara mengenai puisi pop, maka perlu menyamakan persepsi tentang pop terlebih dahulu. Jika pop berasal dari kata populer, maka sesuatu yang pop selalu digemari banyak orang. Pop menjadi semacam budaya massa, suatu tren yang menjalar demikian cepat dan mendunia. Kata pop dapat disandangkan ke pelbagai objek. Lagu pop, film pop, pop corn, pop mie, lolypop… Pop kemudian dibedakan dengan yang klasik. Pertanyaannya adalah: adakah lagu pop tidak akan pernah menjadi klasik? Demikian juga cerita pop, yang muncul sebagai karya kontemporer, tidakkah suatu saat akan menjadi cerita klasik?
Dalam sebuah diskusi, Remy Sylado sebagai penggagas “puisi mbeling” di tahun 70-an, mengatakan bahwa pada awal gerakannya, pop dibuat demikian serius. Tujuannya adalah ingin mengusik kemapanan yang seolah-olah menempatkan posisi lagu, gambar, sastra, mode busana hanya milik menara gading. Seniman, baik pelukis, komponis, sastrawan, sutradara, maupun pemeran teater di masa lalu menjadi orang-orang agung dan waskita. Karya-karya mereka menjadi sesuatu yang adiluhung. Namun tiba-tiba segala yang eksklusif itu mencair oleh gerakan pop. Gerakan yang ingin memberikan alternatif, agar tidak hanya mempercayai arus besar karya (puisi) kontemplatif sebagai satu-satunya genre. Mereka, para “pemberontak”nya mencoba menciptakan subgenre-subgenre. Dengan melelehkan “kebekuan” karya yang seolah “tak tersentuh” (proses penciptaannya) oleh orang-orang awam, disambut masyarakat dengan gembira. Karena kemudian publik lebih berani menampilkan karyanya, termasuk puisi. Saya kira ini sebuah keberanian yang patut dipuji.
Pop itu ternyata lebih cepat diaplikasi, karena lebih “berwarna” dan mudah (atau boleh?) diduplikasi. Segala yang pop tumbuh sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari, digemari banyak orang. Ditandai dengan produk semacam cocacola, film Holywood, fried chicken, arloji Guess, dan lain-lain. Lalu bagaimana dengan cerpen pop dan puisi pop? Cerpen yang mengangkat tema cinta remaja atau dewasa dengan mengusung ikon-ikon yang bersifat “fashion” (misalnya menyebutkan nama mal, judul film, makanan, penyanyi yang sedang kondang) dianggap cerpen pop. Puisi tentunya disebut demikian juga, jika hanya membahas masalah yang “tampak” di permukaan. Tampil dengan presentasi ragawi bukan dengan menggali kedalaman isi. Seolah-olah puisi pop tak akan tahan lama, sebab begitu ganti generasi, ikon di dalamnya tak dikenali lagi.
Berangkat dari kata populer itulah, seharusnya, sebuah karya sastra terutama puisi, diuntungkan. Karena kata populer itu berkaitan dengan “dikenal banyak kalangan”, tentu nama pengarangnya akan lebih lekas melambung. Bahkan seakan-akan menggeser nama-nama “dewa” penyair yang sudah malang melintang lebih dulu. Hal itu berlaku bagi penulis prosa, misalnya Hilman Hariwijaya atau Mira W. Sedangkan penulis puisi, selain Remy Sylado, mungkin “hanya” Yudhis, Arswendo Atmowiloto, Katon Bagaskoro. Padahal banyak sekali orang menulis puisi (pop), tetapi tidak serta-merta bersedia disebut penyair pop.
Saya mungkin termasuk penulis puisi pop. Jika muatannya adalah masalah cinta yang kasat mata, mengusung benda-benda yang menjadi mode pada saat puisi ditulis, apa boleh buat, di situ ada budaya
Apakah dengan demikian puisi pop menjadi lebih buruk dibanding puisi klasik? Tergantung siapa yang menilai dan motivasi saat menulisnya. Ini seperti kita membandingkan antara tanda cinta seorang laki-laki berupa Taj Mahal dengan kado berupa sebuah mobil mewah yang dicat merah jambu. Terasa benar, karya arsitektur Taj Mahal menjadi agung dan klasik, sementara mobil mahal dengan rona jambon itu terklasifikasi sebagai kenes dan pop. Jika demikian, idiom-idiom yang digunakan dalam sebuah puisilah yang akan membedakan “aliran” itu.
Lantas kenapa puisi pop tumbuh subur, sebagaimana lagu pop? Saya rasa karena sanggup memenuhi kebutuhan perasaan banyak orang. Oleh karena itu, puisi pop menjadi bagian dari pergaulan masyarakat. Puisi pop terasa ringan, mudah dicerna, dan dilahap seperti halnya popcorn, lolypop, atau popmie.
Demikianlah, ini hanya pengantar, yang tentu akan memancing pro kontra dan sejumlah pendapat baru. Dengan hasrat ingin memperkaya pengetahuan, diskusi ini terbuka sangat lebar. Terima kasih.
Kurnia Effendi
Jakarta, 24 Februari 2007, menjelang subuh
(ditulis sebagai pengantar diskusi puisi pop pada ulang tahun Forum Lingkar Pena ke-10, di Perpustakaan Diknas Senayan, 24 Februari 2007)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home