Friday, March 06, 2009

Sekolah Anak-Anak Lapas

Pernahkah terpikir oleh kita, bahwa ada sejumlah besar anak-anak tak beruntung yang terpaksa harus kehilangan waktu untuk menambah ilmu?

Mereka adalah residu dari kepentingan dan egoisme para orang tua,” ujar Abdurrahman Saleh yang akrab dipanggil Maman. Lajang kelahiran 1974, alumni Jurusan Seni Murni dari Yogya  itu, sejak 2005 menggeluti dunia anak-anak penghuni penjara.

Anak-anak? Usia berapa mereka? Apa kesalahan mereka sampai-sampai harus disekap dalam penjara – yang kita selama ini ketahui menjadi tempat bermukim para maling, penjahat seks, pembunuh, atau koruptor? Bervariasi umur mereka, karena dalam kategori hukum, sampai usia 21 tahun masih tergolong anak-anak. Pembatasan itu ditandai dengan berakhirnya tanggungan orang tua terhadapnya (dalam struktur gaji).

Perbincangan tentang anak-anak dalam hukuman ini bermula dari sebuah pameran komik di Senayan City yang berakhir bulan lalu. Di lantai dasar, menempati salah satu hall, karya anak-anak lembaga pemasyarakatan (lapas) Tangerang dipamerkan. Sejak tanggal 1 sampai 7 Februari. Selama itu banyak peminat yang singgah dan terperangah menyaksikan gagasan anak-anak itu yang dituang dalam bentuk gambar komik. Pameran itu hasil sebuah workshop selama seminggu.

Awalnya, Maman “mengetuk” pintu rumah penjara anak-anak untuk sebuah tugas, yakni mendokumentasi kegiatan mereka. Namun rupanya ia “dijebak” oleh si tuan rumah. “Anak-anak, Kak Maman ini seorang seniman yang pintar menggambar. Siapa berminat belajar menggambar?”

Demikianlah, anak-anak penghuni lapas Tangerang itu antusias menyambut usulan Kepala Lapas. Lalu jadwal pun diatur, sehingga Maman menjadi pengajar setiap hari Sabtu untuk anak-anak itu, yang semuanya laki-laki.

Sebetulnya ada juga anak perempuan penghuni lembaga pemasyarakatan, namun tempatnya terpisah. Salah satunya di penjara wanita Pondok Bambu. Maman juga pernah melakukan pelatihan untuk napi anak-anak perempuan, tetapi tak berlanjut karena jumlahnya hanya 7 orang. Berbeda dengan penjara anak-anak lelaki yang jumlahnya mencapai 150 orang, secara turn over.

Aneka ragam kasus yang membuat mereka harus disekap, seperti layaknya orang dewasa. Paling banyak memang masalah narkoba. Namun, selain mencuri (kleptomania), pelecehan seksual (akibat menonton VCD porno), tawuran yang menyebabkan cidera, ada juga kasus pembunuhan. Sungguh mengerikan, ketika kita temukan kenyataan bahwa anak-anak usia SMP bisa melakukan tindakan kriminal yang keji.

Dapat diterka, bahwa umumnya mereka yang terperangkap pada perilaku jahat itu datang dari keluarga yang retak (broken home). Kebanyakan pula dilakukan oleh anak-anak jalanan. Mereka tidak menyadari bahwa waktu yang dihabiskan di luar sekolah telah merugikan masa depan.

Pendekatan kepada mereka, memerlukan metode dan tahapan. Maman, bungsu dari sembilan bersaudara, cukup terampil melakukannya. Ia belajar dari kakaknya, seorang psikolog yang kerap ia bantu pekerjaannya di lapangan. Beberapa kakaknya yang lain bekerja di bidang sosial dan LSM, sehingga Maman punya rujukan yang dapat diterapkan untuk kepentingan anak-anak itu.

Ada 8 atau 9 tahapan yang dilakukan untuk mengenali sekaligus membantu mereka mengenali diri sendiri, dengan cara menggambar. Pertama kali mereka diminta untuk menggambar wajah. Kedua, diperkenalkan dengan gambar gerak (tindakan). Selanjutnya mereka diminta untuk mengidentifikasi diri melalui komik. Dengan cara ini, mereka akan mengungkap keinginan-keinginannya dalam bahasa gambar.

Tahap berikutnya menggali sosialisasinya, lantas diminta membuat komik yang tematik. Baru setelah itu belajar narasi. Bisa berupa komik atau hanya tulisan saja. Setelah itu mereka ditugasi membuat cerita imajinatif. Pada tahap persepsi, kadang-kadang diperkenalkan sebuah puisi yang diminta untuk ditafsirkan dalam bentuk gambar.

Melalui langkah-langkah itu, dapat “dibaca” sifat mereka melalui gambar, sebagaimana yang acap ditempuh oleh para psikolog. Motif hidup mereka akan tampak melalui identifikasi diri. Dari sana tergali persoalan keluarga yang mereka alami, keinginan-keinginan terpendam, sampai hal-hal yang mengerikan, misalnya dendam. Dari sana pula akan tampak minat atau bakat yang perlu untuk diasah secara positif. Selain melukis, mereka juga belajar musik, teater, sastra, dan keterampilan lain sesuai dengan minat khusus masing-masing.

Dalam melakukan semua kegiatan itu, Maman membiayai diri sendiri. Ia akan menyisihkan keuntungan dari proyek desain grafis atau percetakan yang didapatnya. Ia menganggap bahwa ada saja rejeki untuk mendukung programnya. Pernah ia menjalani program anak-anak itu atas biasa suatu lembaga setelah ia mempresentasikan proposal.

Awalnya Maman merasa sanggup melakukannya sendiri, namun sejak tahun 2007 ia memerlukan asisten. Ia mencari ke kampus-kampus dengan menempelkan poster-poster sederhana, sampai ditemukan seorang mahasiswi tingkat akhir dari UNJ Jurusan Seni Rupa yang bersedia membantu pekerjaannya. Jeany namanya.

Dalam operasional pengajaran, perempuan lebih banyak dibutuhkan. Jeany mengaku meluangkan waktu tiap Sabtu untuk melatih mereka di kelas dengan senang hati. Saat ini dia sedang menunggu sidang Tugas Akhir. Namun sebagai desainer atau kreator, Jeany telah berkarya untuk pameran-pameran bersama. Ia tak hanya melukis, tetapi juga mendesain karya instalasi.

Di antara anak-anak itu, ketika keluar dari penjara, ada yang terpaksa harus menjalani penyesuaian di suatu tempat sebelum kembali kepada orang tuanya. Maman menyediakan rumahnya untuk membina mereka sementara waktu, lalu ditawarkan mengantarnya ke rumah. Ternyata, banyak orang tua yang tak peduli dengan kondisi anaknya, sehingga sering ditemukan kasus anak-anak yang kembali ke dunia jalanan sekeluarnya dari sel.

RTJ atau Rumah Tanpa Jendela, itulah nama “lembaga” yang dibangun oleh Maman. “Sesuai dengan kondisi rumah saya,” ujarnya sambil tertawa. Ia pernah mendidik seorang mantan napi anak-anak yang berbakat besar untuk melukis, namun gagal. Sifat klepto sang anak muncul lagi dan lari karena takut kembali masuk penjara. “Saya sampai saat ini mencari di stasiun-stasiun, tapi agaknya dia takut dan menghindar. Padahal saya ingin membinanya.”

Seharusnya kita bisa mengulurkan bantuan dalam bentuk apa pun, seperti yang dicontohkan Maman, untuk memberikan pendidikan pada generasi muda itu. Kejar Paket, itulah yang mereka tempuh untuk dapat menyesuaikan diri dengan siswa-siswa normal.

(Kurnia Effendi)