Tuesday, March 03, 2009

Sisi Muram Peradaban Kota

Buruk muka cermin dibelah. Andaikata bisa, orang-orang India yang yang tinggal dalam kemewahan di luar negeri akan melumat film Slumdog Millionaire. Dalam film itu, India dipotret dari sisi paling kumuh (slum area), melalui kota Mumbai. Seperti layaknya negara dunia ketiga yang sedang tumbuh, pembangunan senantiasa memakan korban. Ditambah pula konflik agama yang membuat masyarakat hidup tidak tenteram. Film yang menggambarkan realitas kota Mumbai memang menampar wajah manis yang kerap ditampilkan dalamsandiwaraBollywood.

Memperhatikan wajah seluruh film, nyaris tak berbeda dengan kondisi Jakarta yang dari segi fisik menunjukkan ketimpangan itu: di balik gedung-gedung pencakar langit, terdapat kawasan miskin dan rawan yang tak mampu tersembunyikan. Dengan penggambaran karakter tokoh yang tumbuh melewati peristiwa psikologi masing-masing, kerap menunjukkan perilaku hiperealis. Praktik masyarakat sehari-hari dalam tekanan kemiskinan dan hukum pemerintah yang lemah menghasilkan banyak dampak buruk.

Film-film drama sosial yang hendak menyampaikan secara jujur kondisi zaman tempatnya lahir, akan mencatat dokumentasi tersendiri. Sebuah perjalanan bangsa, yang secara politik selalu melewati hipokritasi temperamen, mau tak mau harus mengorbankan masyarakat yang lemah. Kisah para nabi pembawa wahyu atau pemimpin agama budaya yang mengulurkan tangan mereka kepada si miskin dan si tertindas adalah satu pola penyelamatan yang digariskan dalam takdir sejarah besar manusia. Dan kota di mana pun di dunia ini tak terhindar dari ambiguitas itu.

Dikaitkan dengan musim kampanye di negeri kita, setiap calon pemimpin menjanjikan hari depan yang baik. Namun masyarakat sudah telanjur tahu ‘modal’ yang dimiliki masing-masing pemimpin itu. Banyak di antara mereka adalah para pelaku sejarah dengan track record yang tidak mulus. Banyak cacat menghiasi perjalanan politik itu, dengan segala upaya dibalut ucapan manis untuk membujuk kembali hati rakyat yang terluka. Sayangnya memang, seolah-olah negeri kita kehabisan tokoh teladan yang dapat menjadi panutan tanpa harus gembar-gembor janji.

Untuk menjadi nomor dua saja sulit, apalagi ingin meraih nomor satu. Namun tak seorang pun dengan legowo menerima tugas yang tak kalah beratnya sebagai nomor dua. Para politisi itu berebut posisi puncak namun melupakan kekuatan pondasi yang mendukungnya. Ibarat sebuah kota yang tumbuh dengan kecepatan untuk mencapai predikat metropolitan, namun melupakan dukungan masyarakat yang tumbuh dengan ekonomi stabil. Sendi-sendi itu rapuh belaka. Akhirnya para pejabat hanya akan bermain topeng. Berada di panggung dengan wajah yang bukan miliknya.

Slumdog Millionaire mungkin sebuah film yang hendak melepaskan diri dari tradisi kepura-puraan pertunjukan hiburan. Di sana ada seorang Jamal yang memenangkan hadiah kuis dan menjadi seorang milyuner (kuis yang juga pernah populer di Indonesia dengan host Tantowi Yahya). Berbeda dengan film-film India yang umumnya menampilkan eloknya tarian dan merdunya nyanyian, sutradara Danny Boile (dari Inggris) dan Loveleen Tandan (dari India) justru membuka realitas paling memprihatinkan yang terjadi di negeri Gandhi itu.

Film itu mengisahkan lelaki yang mendapatkan peruntungan justru dari perjalanan perih yang dilewati sepanjang hidupnya. Setiap pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, tahap demi tahap. Selalu dijawab dengan benar. Pihak penyelenggara, bandar Who Wants to be Millionaire, merasa curiga dan menganggap Jamal melakukan kecurangan. Kembali kekerasan harus diterima oleh Jamal, setelah kenyang dengan perjalanan hidupnya yang keras sejak kecil. Pada akhirnya, setiap jawaban yang menunjukkan ‘kecerdasan’ itu dapat diterima oleh kebetulan yang telah menjadi nasibnya. Sesungguhnya Jamal belajar dari riwayatnya sendiri.

Selalu, dalam sebuah cerita dramatik, ada unsur cinta yang tak hanya mewarnai, namun juga menjadi bagian yang menyumbangkan rasa pedih itu. Dengan irama yang bervariasi, gegas dan tenang, setiap babak memberikan pelbagai kejutan. Tanpa upaya keras untuk membuka mata penonton, kenyataan kelam di balik wajah kota sungguh terjadi dan berlangsung paralel dengan kehidupan nyaman yang dijalani segelintir orang.

Ada pernyataan menarik dan tak perlu dibungkus dengan slogan apa pun, ketika Jamal kecil menyerukan kepada turis asing: “Inilah India yang sebenarnya.”  Secara keseluruhan, film Slumdog Millionaire hendak menyampaikan India yang sesungguhnya. Mirip dengan film Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho yang menggambarkan dunia kelam anak-anak jalanan di kota besar.

Baju yang dikenakan sebuah kota, metro atau kosmo, adalah setelan gemerlap dari tubuh yang arang keranjang oleh luka peradaban. Kemajuan pesat di satu sisi selalu akan mengorbankan sisi yang lain. Dengan komposisi seperti itulah dunia ini tumbuh. Sejarah hanya mengulang-ulang saja tragedi manusia yang kerap kali diciptakan sendiri.

 Kita tahu, pembunuhan berlangsung sejak keturunan pertama Adam dan Hawa dilahirkan di bumi. Pelacuran merebak sejak zaman prasejarah dengan model yang terus diperbarui. Korupsi dan budaya suap sudah menjadi perilaku sehari-hari dalam pemerintahan Cina kuno, terlihat dalam nasakah Water Margin. Kekuasaan menampakkan keangkuhannya pada dinasti Firaun yang salah satu pemimpinya mengaku sebagai tuhan. Bukankah segala carut-marut di bumi ini sudah ditengarai oleh malaikat?

Namun sungguh penting kiranya kehadiran film sejenis Slumdog Millionaire untuk mewakili sisi buruk peradaban kota. Film-film yang menggambarkan kisah gelap dalam tradisi agama juga merupakan koreksi terhadap kealpaan kita atau sebuah ingatan yang menandai kesucian palsu. Semua pelaku sejarah adalah manusia, termasuk para nabi, yang tentu memiliki sifat manusia: ada gabungan malaikat, iblis, dan binatang.

Baru-baru ini beredar film Perempuan Berkalung Sorban yang berkisah tentang gugatan seorang wanita terhadap diskriminasi gender dalam pesantren. Film ini mengundang pro dan kontra. Sebagai negara yang sedang belajar menempuh budaya demokrasi, sudah seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat dengan kesempatan dan kemerdekaan berpendapat. Secara alamiah orang ramai akan tahu, lantas memilih yang benar dengan pengujian waktu dan hikmah.

Bagaimana cara Jakarta dan Indonesia menata diri untuk mencapai harapan masyarakatnya? Diperlukan pemimpin yang visioner dan memiliki integritas tinggi. Sebentar lagi kita akan memilih calon dari yang berserak, patut berhati-hati dan jeli. Mereka adalah orang-orang yang harus mengakui kondisi seperti dalam film Slumdog Millionaire, lalu menyelesaikan setiap persoalan bangsa dengan adil dan cerdas, bukan melalui kekerasan politik. 

(Kurnia Effendi)