Monday, April 24, 2006

Simfoni Feby

Keindahan Simfoni yang Menyayat Bulan

Judul Buku : Simfoni Bulan
Nama Pengarang : Feby Indirani
Jenis Karangan : Novel
Penerbit : Media Kita, Jakarta
Cetakan Pertama : Januari 2006
Tebal Buku : 200 halaman + viii

Siapa yang berani mengatakan menjadi pelacur itu mudah? Kemarilah. Aku ingin meludahinya. Sekarang. Saat ini juga.
(Feby Indirani, Simfoni Bulan)

KEKERASKEPALAAN Feby Indirani untuk menangkis pendapat ibunya, bahwa ia dianggap tak cocok menulis fiksi, justru melahirkan sebuah karya yang elok: novel Simfoni Bulan. Sebagai novel pertama, setelah pada tahun 2005 naskah dramanya sempat menjadi nominator kompetisi Perempuan Penulis Drama yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Simfoni Bulan cukup menjanjikan sebagai awal karir Feby dalam khazanah sastra.

Berkisah tentang seorang mantan wartawan yang ingin menulis novel dengan cara mengalami, Bulan Rahmatulayla bertekad menjadi pelacur. Dengan mengalami, atau terlibat dalam kehidupan nyata yang hendak ditulisnya, Bulan berharap novelnya tidak hadir sebagai omong-kosong belaka. Keyakinan itu muncul atas pengaruh Visya Yudhistira, novelis muda yang dikaguminya, karena selalu menuliskan pengalamannya. Rasa sakit yang dimaksud dalam setiap novel Visya adalah luka yang secara fisik maupun psikis telah dialami oleh pengarangnya. Visya selalu memandang sinis pada kehidupan, sementara dia sendiri menjalani hidup secara unik. Perkenalannya dengan Visya, telah membuat Bulan senantiasa terbayang-bayang akan wajah dan harum cendana yang mengambang dari tubuh lelaki itu.

Berhasilkah Bulan dengan obsesinya itu? Agaknya ada serangkaian kegagalan yang sejak awal telah membayangi hidup Bulan. Boleh jadi dia lahir dari keluarga yang berantakan. Berbekal hubungan buruk dengan ibunya, ia pun membenci kata 'pulang'. Ketika bekerja pada sebuah tabloid berita, dan dipercaya sebagai asisten pemegang rubrik, ia dianggap tidak mampu menulis. Sifat keras kepala sang pengarang agaknya menurun kepada tokoh novelnya, ditandai dengan pengambilan keputusan untuk keluar dari pekerjaannya hanya lantaran perbedaan pendapat dengan atasannya. Pengalamannya meliput daerah prostitusi di Kramat Tunggak, membuatnya ingin mengangkat tokoh pelacur turun-temurun dalam sebuah novel. Namun ternyata tak semudah yang diharapkan, karena selama ini dia biasa menulis berdasarkan fakta dan data. Bekal imajinasinya tak sanggup menjangkau atmosfir yang hendak dituangkan. Sementara itu, warisan yang diperoleh dari pergaulannya dengan para penghuni lokalisasi sebetulnya tak sekadar gagasan fiksi, namun juga anak seorang pelacur yang diasuh setelah ibunya tewas terbunuh. Artinya, ada kebutuhan lain yang bersifat finansial untuk dapat bertahan hidup, yang tak bisa bergantung semata dari hasil honor cerita pendeknya selama ini.

Menjadi pelacur adalah keputusan besar berikutnya, yang sempat mengagetkan Steve, sahabatnya yang kemudian menjadi manajernya. Ternyata menjalani kehidupan pelacur secara profesional tak hanya sulit saat awalnya, bahkan beberapa pengalaman menerima tamu berikutnya menunjukkan, betapa tak berharganya seorang pelacur di mata laki-laki. Ia harus mengorbankan harga diri, sekaligus menyaksikan berlangsungnya kemunafikan kaum lelaki yang kadang-kadang menjadi idola di tengah masyarakat. Namun dari dunia mesum yang ditelusurinya itu ia mendapatkan seorang 'ahli anak' yang sanggup mencairkan hati Bayu, anak asuhnya. Demikianlah, dari satu kejadian ke peristiwa berikutnya saling bertaut dengan sebab dan akibat yang saling mendukung satu sama lain, sekaligus mengandung suspense yang membuat kisah Bulan ini mengalir berliku hingga ke... Sungai Gangga di negeri India.

Proses 'kelahiran' kembali seorang Bulan, sebagai spirit reinkarnasi, memang hendak diawali dengan sesuatu yang baru dan berbeda sebagai titik balik. Tetapi masa lalunya yang kelam tak benar-benar lenyap terkubur. Ada jejak tersisa sebagai bagian dari eksistensi yang pernah diperjuangkan dengan mempertaruhkan harga diri. Justru tercium kembali aromanya, melalui peristiwa book-signing yang tak termaafkan baginya. Selanjutnya, kita sebagai pembacalah yang bertugas membayangkan akhir cerita.

Banyak hal menarik dari novel Simfoni Bulan. Pertama, Feby tidak bercerita secara linier. Ia meletakkan beberapa kilas balik yang berfungsi untuk saling menjelaskan. Kedua, tidak menciptakan tokoh hitam dan putih, melainkan abu-abu. Manusiawi dan realistis: bahkan tokoh Bulan yang selayaknya kita bela karena serangkaian beban penderitaannya itu pun bukan orang suci di mata Tuhan. Ketiga, sebagaimana definisi sebuah novel (seraya mengingat kembali pelajaran sastra di bangku sekolah menengah), tokohnya mengalami perubahan hidup yang luar biasa. Syarat ini pun dipenuhi oleh sang pengarang. Keempat, ada banyak kejutan yang tak terasa sengaja diletakkan, namun menunjukkan bahwa setiap kejadian di belakang memiliki musabab. Misalnya saja ketika manuskrip novelnya tertinggal di kamar Gangga, atau dompetnya tertinggal di bangku bis saat ia terburu turun oleh kabar kritis yang disampaikan tantenya melalui telepon. Dan novel ini, dengan kekayaan peristiwa yang menyebabkan setiap karakter tokoh berfungsi efektif, terasa filmis dan memiliki potensi sebagai cerita visual.

Seperti umumnya novel yang ditulis oleh jurnalis atau seseorang yang bergelut dalam dunia riset untuk media massa, cerita terasa cerdas dan memiliki logika fiksi yang baik. Karakter tokoh cukup kuat, terutama tercermin pada sikap Bulan terhadap ibunya meskipun telah dibayar dengan rasa kehilangan. Artinya, ada kemungkinan melodramatis yang justru tidak dipilih oleh Feby, yang sekaligus telah menyelamatkan novel ini dari sikap ambigu. Ketidaksepakatan saya, mungkin terdapat pada pertanyaan Bulan di awal profesinya sebagai pelacur: "Kalau aku dipromosikan sebagai pelacur yang mantan wartawan, akan menambah nilai jualku nggak?" Jawaban Steve boleh jadi benar, tetapi secara umum, wartawan - meskipun mantan - tidak sekadar 'ditakuti' karena akan lebih pintar ngomong; jauh lebih mencemaskan apabila perilaku para pemakai jasa seks kelas tinggi, yang acap menjadi public-figure, akan bocor ke tengah masyarakat. Hal yang lain adalah 'sebuah kebetulan' yang nyaris mengganggu, saat Visya menyelamatkan Bulan pada sebuah rumah sakit. Boleh jadi benar, 'rumah' kedua bagi Visya yang kerap melukai diri sendiri adalah rumah sakit, tetapi terlalu banyak rumah sakit di Jakarta untuk sebuah keberuntungan. Sementara itu, di halaman 72, Feby seperti membuat laporan dengan memindahkan data observasi yang diperoleh dari hasil statistika.

Meskipun novel karya Feby Indirani ini hampir merupakan kisah yang mencurahkan nasib sedih berturut-turut kepada tokoh utamanya, sang pengarang tidak memberi judul Elegi Bulan, melainkan Simfoni Bulan. Bagi tokoh yang selalu gagal... (Aku mungkin cuma orang gagal. Wartawan gagal. Pengarang gagal. Pun sekarang jadi pelacur gagal.), metafor 'simfoni' terasa lebih mencerminkan keindahan dan mengandung optimisme ketimbang 'elegi'. Secara pribadi, saya pun lebih suka dengan judul Simfoni Bulan: hidup yang dramatik dengan melewati segala kepedihan itu terdengar serupa lagu merdu, sebagai pemberian Tuhan, meskipun merajang perih. Sesuai dengan namanya tentu, Bulan Rahmatulayla, bulan sebagai anugerah malam, keindahan di tengah kelam...

***

(kef)