Pahlawan
ORANG-orang itu menunggu pahlawan mereka. Yang biasanya datang dengan menunggang kuda. Berputar-putar sebelum menurunkan pundi-pundi dalam buntalan dari punggung dan pelana kudanya. Membagi keping uang, perhiasan dan harta lainnya untuk rakyat yang tertekan oleh lapar dan rasa takut.
Siapakah dia yang dielu-elukan kaum proletar di sekian abad lampau?
Robin Hood namanya. Lelaki yang rela meninggalkan istana karena melihat kesewenang-wenangan berlangsung di depan mata, justru oleh penguasa pengganti ketika Raja Richard in absentia karena pergi memimpin Perang Salib.
Di benua lain ada pahlawan bertopeng bernama Zorro. Yang digambarkan dalam film tentu sebuah hiperbolisme: pedangnya berkelebat secepat bayangan. Selain itu, sisi romantisme menjadi bagian yang bukan sekadar bumbu, tapi estetika yang mengemuka.
Dan di ranah
Jadi, siapakah sebenarnya pahlawan? Apakah mereka yang menolong satu pihak dan merugikan pihak lain? Yang menjadi penderma sekaligus mengambil milik orang tamak? Lalu, antara benar dan salah, dipandang dari sudut yang mana?
Mungkin benar, asal kata pahlawan adalah pahala. Pahlawan pada mulanya menjadi sebutan bagi para pejuang yang mati syahid dalam peperangan membela kebenaran. Dalam kitab suci Al-Quran, jaminan bagi para syuhada (orang yang mati syahid), adalah surga. Artinya, mereka hanya menerima pahala tanpa tertoreh noda dosa, sehingga ada jalan singkat tanpa hisab ke pintu Firdaus. Dengan kata lain, pahlawan adalah orang yang menerima semata-mata pahala atas jasa di sepanjang atau akhir hidupnya.
Perang tentu melibatkan dua pihak yang saling berhadapan. Entah apa pun bentuk yang diperebutkan, sebuah perang meledak di saat kedua belah pihak menginginkan yang satu dan tak mungkin berbagi. Sejarah demi sejarah, selalu menyampaikan hikayat seperti itu, hingga kisah yang terpanjang: kemelut Timur Tengah. Antara Palestina dan
Keluarga yang memiliki ayah atau kakek gugur dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, mencoba setahun sekali duduk tepekur di depan nisan bertanda sepasang senapan. Memanjatkan doa untuk moyangnya. Lebih dari itu, mereka berdoa untuk pahlawan yang pernah berguna bagi sejumlah rakyat atau negara.
Tapi, di negeri Belanda, yang menjajah kita dulu, ada sejumlah pahlawan yang ditanam di pekuburan khusus. Mereka, dalam posisi sebagai penjajah, yang tewas oleh tusukan bambu runcing, juga seorang pahlawan. Pertanyaannya: di mana kebenaran berpihak? Dengan kata lain: pahlawan tidak lagi ditafsir sebagai seorang manusia yang mati dengan jaminan pahala dan tanah surga.
Sinchan juga punya pahlawan bernama ‘pahlawan bertopeng’ yang tidak lain ayahnya dalam peran sebuah permainan. Guru-guru kita, terutama pada Sekolah Dasar, adalah ‘pahlawan tanpa tanda jasa’, yang telah meletakkan pondasi intelektual sejak dini. Mereka telah mengajari kita membaca dunia melalui aksara dan angka pertama. Ibu kita adalah pahlawan kehidupan, yang mempertaruhkan nyawa saat melahirkan, dan tak pernah berpikir suatu ketika anaknya akan menjadi ‘malin kundang’.
Mari kita telaah kembali, perilaku dan moral seperti apakah yang paling tepat untuk seorang pahlawan? Adakah selalu yang telah meninggal saja yang patut mendapat sebutan pahlawan? Sementara ada akar kata pahlawan yang dirunut dari pala (nama buah) atau palapa. Sumpah Amukti Palapa Gajah Mada justru sebuah target yang mungkin sekarang dikenal sebagai komitmen dalam bidang marketing. (Nah, mengingat Gajah Mada, seolah ada yang perlu diluruskan jika dipandang dari cakrawala Padjadjaran atau ranah Sunda).
Seorang pakar trainer, Reza Syarif, dalam sebuah perbincangan Friday Spirit di salah satu stasiun radio, mencoba merumuskan pahlawan dari kata HERO (yang berarti pahlawan dalam Bahasa Inggris). Setiap huruf sengaja diciptakan istilah yang pantas untuk dilekatkan pada predikat pahlawan. Huruf H yang diperpanjang menjadi history, menunjukkan bahwa seorang pahlawan harus mampu membuat sejarah. Kita tahu, setiap pahlawan di
Sangat menarik, dan menurut saya cukup masuk akal. Dengan memanggul predikat ‘HERO’ di pundak perjuangan, maka jadilah ia seorang pahlawan sejati.
Lalu saya, secara pribadi dan mungkin subjektif akan memilih figur ibu dan peran guru sebagai pahlawan sejati. Saya tidak tahu akan menjadi seperti apa jika tidak dilahirkan oleh seorang ibu yang baik. Untuk itu memang ada doa yang paling tepat buat beliau: “Ya Tuhan, kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi saya sewaktu masih kecil.” Saya juga tidak tahu, andai tak ada hasrat seorang guru (yang kebetulan kakek saya sendiri) untuk membawa saya ke sekolahnya setiap pagi dengan sepeda tuanya. Hanya untuk – dengan tekun – memperkenalkan saya kepada fungsi alfabet dan manfaat angka, melalui papan sabak dan batang grip. Pantaslah jika tak pernah ada ‘bekas’ guru, karena beliau adalah orang tua kedua, sebelum mertua kita.
Bagi para remaja yang sedang dimabuk
Baiklah, saya kembalikan saja kepada pendapat masing-masing, karena arti pahlawan kini menjadi semakin luas. Mungkin yang terpenting: janganlah menjadi ‘pahlawan kesiangan’ …
(Kurnia Effendi, penulis cerpen dan peneliti LPKP – untuk kolom REHAT majalah PROTEKSI edisi Nopember 2006)
2 Comments:
mas Kurnia, salam kenal.Menarik merenungi kata "pahlawan". Emang ada tuh pahlawan atau sekadar mitos? Ehm, aku kok lebih melihat pahlawan sebagai suatu makna yang amat personal dan spesifik. Tidak bisa digeneralisir. Lebih-lebih hidup di belantara realitas hidup yang multi tafsir....
Aku jadi ingat kisah wayang dengan lakon Kumbakarna dan adiknya Wibisana. Dua bersaudara ini sama-sama menjadi pahlawan di kubu yang berlawanan. Dua-duanya hidup dalam krisis sosial dan kemanusiaan yang disebabkan oleh kelaliman kakaknya Dasamuka yang merebut Shinta, istri Rama. Masalah syahwat ini pun memicu perang besar: pihak Dasamuka dan Rama dengan para balatentaranya.
Wibisana memilih berpihak pada musuh kakaknya karena menilai tindakan Dasamuka adalah kelaliman dan kejahatan. Ia berperang melawan angkaramurka Dasamuka. Yah, tindakan Wibisana benar adanya karena membela kebenaran.
Sementara, Kumbakarna memilih setia di pihak Dasamuka. Bukan karena loyal pada Dasamuka, tetapi loyal pada negaranya. Ia tidak mau negaranya hancur dalam perang. Ia juga tidak mau melihat rakyatnya mati lantaran perang ini. Ia seorang nasionalis (pro patria). Pilihan Kumbakarna juga benar, dia membela tanah air.
Dua-duanya bisa dilihat sebagai pahlawan, tetapi bisa juga sebagai pengkhianat. Tapi, kebenaran memihak keduanya.
Belajar dari ini, aku semakin menyadari bahwa aku harus melihat realitas hidup yang mengalir dengan seribu satu kacamata. Satu hal bisa dimaknai dengan sejuta makna. Itulah hidup...yang multidimensional...karena manusia juga bukan One Dimensional Man seperti digagas Herbert Marcuse....
so, bagaimana dengan pahlawan?
yang jelas, aku menjadi pahlawan dalam hidupku sendiri...hue he he...salam kenal mas. Jangan lupa kalo ada jeda senja, mampir di blogku ya....
saya inget guru saya pernah bilang, "Pahlawan itu orang yang bangkit lagi setelah jatuh. Dia tidak menyerah walau jatuhnya berkali-kali, dia tetap berusaha untuk bangkit lagi."
Post a Comment
<< Home