Friday, November 10, 2006

TKI

HUJAN emas di negeri orang telah memikat ribuan tenaga kerja Indonesia berbondong-bondong merantau jauh, meninggalkan tanah air, bermaksud meraup nilai uang yang memiliki posisi beberapa tingkat di atas pendapatan di negeri sendiri, dengan menutup seluruh atau sebagian aib yang mungkin terjadi, demi panjangnya nafas kehidupan atas nama keluarga. Kemudian tersebutlah nama-nama negeri yang semula bagai dongeng: Saudi Arabia, Hongkong, Malaysia, Singapore – jauh di mata, kadang hadir kepada kita hanya berupa cerita dari orang-orang yang menempuh rukun Islam kelima, ziarah ke tanah suci dengan atau tanpa mabrur (Arab Saudi); atau kisah para pelancong yang memandang gemerlap cahaya oriental dengan dominasi warna merah dan kuning emas (Hongkong), atau aroma khas Melayu yang muncul dalam penampilan santun kaum fanatik (Malaysia) dan hebohnya para pembelanja yang tak letih-letihnya memilih kemilau barang yang dipamerkan di plaza-plaza besar bertudung kaca (Singapore).

Lalu berangkatlah mereka berbekal cerita dari mulut ke mulut, bahkan seperti peristiwa migrasibedol deso’, yang nyaris tak menyisakan penghuni kecuali anak-anak dan para lansia. Bertahun-tahun mereka, lelaki dan perempuan, seperti terlindung bumbung besi yang kedap berita, karena sulit menyampaikan kabar ke tanah air, namun dengan kepasrahan yang sulit dirumuskan, mereka yakin semua baik-baik saja, dengan atau tanpa kiriman uang, dan setelah sekian tahun muncul kembali seperti malaikat yang sanggup memberikan kesejahteraan bagi keluarga yang ditinggalkan, bahkan serasa meningkatkan harkat kemanusiaannya melalui ukuran bendawi.

Sementara itu, bak cendawan di musim hujan, agen-agen penyalur tenaga kerja, dengan atau tanpa ijin resmi, berlomba-lomba merekrut manusia yang tergiur cerita para pendahulunya yang berhasil membawa pulang dollar, real, dan ringgit. Perkebunan kelapa sawit yang demikian luas di tanah Malaysia menunggu. Menunggu harga buruh yang murah. Menunggu orang-orang yang begitu haus karena merasa telantar di negeri sendiri. Oleh kebutuhan yang luar biasa, maka tak seluruh tenaga kerja lelaki itu berbekal ijin resmi. Melalui gelapnya birokrasi, mereka mirip ribuan laron yang dihimpun terang cahaya di hamparan kebun keluarga palma itu.

Sementara itu pula, kaum perempuan yang merasa diritrengginas’, sehat fisik dan muda, memiliki keberanian kolektif, lantas berduyun-duyun mendaftar. Mereka dilatih, dikarantina, dipsahkan dari keluarganya, dibubuhi atribut yang sama, dan bertebarlah sebagai tenaga kerja memasuki populasi dan habitat rumah tangga keluarga modern, di rumah-rumah maupun apartemen. Sejak masuk ke dalam lingkungan itu, seolah putus semua jalinan komunikasi ke tanah air. Rimbabaru itu menjadi bagian yang harus dijelajahi dalam pengembaraannya. Menyesuaikan diri dengan cara dan gaya hidup pribumi di negeri orang. Derita dan bahagia disimpan sendiri. Tak perlu dikumandangkan karena ada cita-cita yang harus diperjuangkan, yakni sejumlah uang.

Sekian tahun berlangsung, sebuah desa atau kecamatan mendadak bersinar karena sebagian besar anggota penduduknya menjadi pegawai di tanah seberang, harapan semakin benderang. Pantas jika pemerintah Indonesia kemudian menyebut mereka sebagai Pahlawan Devisa. Uang mereka mengalir ke tanah air. Mengangkat taraf kehidupan kian menjadi mapan.

Tetapi apakah benar semuanya mendapatkan kesempatan yang menyenangkan?

Di antara yang pulang dengan senyum, ada pula cerita dengan tangis yang menyayat, karena mudik dengan luka lahir batin. Kenyataan pahit mulai dari tidak dibayar sesuai janji, bekerja melampaui waktu yang lazim, dihukum kelewat batas bila melakukan kesalahan kerja, dan dilecehkan secara seksualPada saat hal itu terjadi, terutama yang diseterika dan diperkosa, lalu mencoba meminta perlindungan, adakah kita mengulurkan tangan untuk memberikan keadilan?

Mungkin benar telah dilakukan upaya untuk membela mereka yang terjepit antara kesulitan hidup di tanah air dan kejahatan yang mengancam di negeri orang. Namun kita tahu, birokrasi hukum antarnegara, basa-basi politik, ketidakmampuan diplomasi, dan kelambanan dalam penanganan kasus, akhirnya membuat kesabaran tak cukup lagi menjadi bagian dari proses. Dan ketika seorang TKW terpaksa melakukan pembunuhan, sebagai simpul dari kemanusiannya yang terluka, boleh jadi kita hanya sampai pada permintaan belas kasih, bukan lagi dengan semangat nasionalisme.

Baiklah, salah atau benar kita serahkan saja kepada hati nurani dan campur-tangan Tuhan. Justru saya sering tak dapat memahami perilaku saudara sebangsa yang memeras para TKI (khususnya TKW) saat kembali ke tanah air. Ketika berangkat, investasi yang mereka serahkan adalah sebuah pengorbanan dengan harapan akan mendapatkan ganti yang lebih memadai. Barangkali kerugian itu tak lagi perlu diingat-ingat, karena cukup terhibur dengan gaji berkali lipat. Namun manakala mereka hendak membuktikan keberhasilan itu, dalam ukuran-ukuran tertentu, seraya membuka keran rindu yang selama bertahun-tahun disumpal jarak dan waktu, justru muncul rasa cemas.

Rasanya kita sering mendengar TKW yang dirampok sopir taksi, yang dikibuli oleh uluran tangan penawar jasa sejak dari bandara, yang harus melakukan ini-itu agar sebagian bawaannya dapat lolos ke tangan keluarga, dan banyak cerita lagi yang mungkin jauh lebih muram.

Mereka Pahlawan Devisa, menurut pemerintah. Pahlawan untuk siapa? Bagi Negara, bagi keluarganya, atau bagi para calo yang mendistribusikannya? Sekali lagi, yang saya sulit memahami, kenapa banyak yang masih tega memeras mereka, padahal kita tahu ada sederet penderitaan panjang mereka di tanah seberang saat mengumpulkan penghasilan itu.

Bukankah masih lekat dalam ingatan ketika polisi Malaysia mengusir para TKI yang sesungguhnya mereka butuhkan untuk menggarap perkebunan? Mungkin cara datangnya para buruh itu yang salah sehingga tak layak mendapat penghargaan dari pihak berwenang di sana. Pada saat itu, sekaligus kita malu untuk dua hal: kedatangan yang ilegal dan pengusiran yang tak manusiawi. Harga diri Indonesia serasa rontok. Lalu kita menghibur diri dengan istilahpahlawan’.

Jika memang demikian: jadilah TKI dengan kemampuan profesional yang tinggi.

Percaya atau tidak, banyak pahlawan di Indonesia yang bernasib malang. Guru, atau para pahlawan tanpa tanda jasa, termasuk dalam daftar itu. Dengan demikian, barangkali, pahlawan adalahmemangseseorang yang berjuang benar-benar tanpa pamrih demi kepentingan banyak kaum, dan tentu tak harus dengan imbalan yang pantas.

Jadi, siapa yang masih ingin jadi pahlawan?

 

 (Kurnia Effendi. Esai untuk Kolom JEDA Tabloid PARLE, edisi 62)

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home