Tuesday, December 05, 2006

Siapa Kita?

ADALAH suasana sore dengan langit yang cerah. Sebuah dusun dihiasi dengan gerumbul pepohonan yang sejuk, lanskap gunung dengan latar langit senja, dan jalan setengah berbatu yang meliuk mendaki bukit. Matahari menjelang surut, mendekati cakrawala nun jauh.

Di sebuah teras rumah beratap rumbia, duduklah seorang kakek dengan seorang cucunya. Mereka terlibat perbincangan penuh kasih sayang, bercanda bercengkerama, dibuai angin lembut yang bertiup dari tenggara. Sang Kakek mengisap kelobot dengan pipi yang nyaris kempot, namun tatapan matanya tetap berbinar bahagia. Sementara Si Bocah menceritakan kisah-kisahnya yang lucu sepanjang bermain sambil mengayun-ayunkan kaki di tepi bale-bale.

Sayup-sayup terdengar derum mesin mobil yang segera disusul bentuknya, sebuah jip yang kekar. Pengemudinya seorang lelaki separuh baya, wajahnya sedikit muram, namun dasi masih terpasang pada kemejanya yang mulai kusut. Mungkin ia seorang eksekutif  dari kota. Barangkali perjalanan jauh telah membawanya ke dusun itu, tampak dari mobil yang tak bersih lagi.

Jip itu berhenti di depan rumah rumbia. Pengemudinya turun tanpa mematikan mesin. Ia menghampiri kakek dan cucu yang sedang asyik berbincang.

“Pak Tua, apakah jalan ini masih panjang?” tanya lelaki eksekutif itu, sambil menunjuk ke arah bukit.

Sepanjang yang bisa bapak tempuh. Mau ke mana?”

Lelaki itu menggerutu dengan gumam yang tak jelas. Lalu, “Saya dipindahtugaskan ke daerah terpencil ini. Saya ingin tahu dulu, apakah tempatnya baik? Apakah orang-orang di sana ramah dan bersahabat?”

Mengapa Bapak bertanya seperti itu?” Sang Kakek balik bertanya.

Karena kantor saya sebelumnya tidak sesuai harapan. Orang-orang di tempat saya tinggal hanya mementingkan diri sendiri, tidak ramah dan tidak peduli pada saya.”

“Ooh,” Kakek itu menghela nafas panjang. Kemudian ia berkata: “Rasanya tempat yang Bapak tuju tak beda jauh dengan yang Bapak tinggalkan. Termasuk perangai orang-orang di sana, tidak ramah dan tidak peduli.”

Wah, betul-betul sial saya ini!” Lelaki itu pun pamit dan kembali mengendarai mobilnya, melanjutkan perjalanan.

Hanya beberapa menit sesudah lelaki itu pergi, terdengar kembali mesin mobil yang menderum mengakhiri tanjakan dan berhenti di depan rumah rumbia itu. Mobil mungil yang tampak kelelahan itu dikendarai seorang perempuan separuh baya. Ia mematikan mesin dan turun, tersenyum menyapa kakek dan cucu, yang kembali menghentikan percakapan.

Selamat sore, Kakek. Bolehkah saya menanyakan sesuatu?” suaranya terdengar begitu lembut. Selembut tiupan bayu senja itu.

Tentu. Silakan duduk di sini.”

Terima kasih. Saya datang dari kota. Saya minggu depan dipindahtugaskan ke dusun yang ada di bukit itu. Sebelum saya bertugas, saya ingin tahu apakah lingkungan di sana ramah dan bersahabat?”

Mengapa Ibu tanyakan hal itu?” Si Kakek penasaran.

Hanya ingin tahu saja, agar tidak kaget. Tempat kerja saya sebelumnya sangat nyaman, dan lingkungan tempat saya tinggal begitu akrab penuh penerimaan.”

“Ooh,” Kakek itu menghela nafas lalu tersenyum. Sebenarnya Ibu tak perlu cemas. Kantor yang akan Ibu tempati pasti senyaman kantor lama. Dan orang-orang di sana sangat ramah, bersahabat, dan pasti akan menerima kehadiran Ibu.”

Syukurlah, kalau begitu saya tidak perlu khawatir. Baik, saya pamit. Terima kasih.”

Sepeninggal ibu itu, cucu yang sedari tadi hanya mendengar percakapan kakek dengan tamunya, terpancing untuk bertanya.

Kakek, kenapa jawaban yang diberikan berbeda? Bapak yang pertama dijawab begini, Ibu yang baru saja datang dijawab begitu…”

Sang Kakek terkekeh dengan gigi ompongnya. Tahukah kamu cucuku? Tamu kita yang pertama tidak mungkin punya sahabat dengan perilakunya itu. Sedangkan tamu yang kedua pasti seorang yang akan disukai teman-temannya.”

Jadi, apa maksudnya?” Sang Cucu tak mengerti.

Artinya, kita jangan mengharap suatu tempat yang baik dengan lingkungan yang ramah, apabila kita tidak membuatnya demikian.”

Si Cucu yang baru duduk di awal Sekolah Dasar tentu belum memahami. Mudah-mudahan kita cukup mengerti. ***

 

(Kurnia Effendi, kolom JEDA tabloid PARLE edisi 65)

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home