Tuesday, December 05, 2006

Sujud Syukur

Dear sahabat,

Terima kasih atas tebaran simpati dan empati yang ditulis di milis Apsas dan Klub Sastra Bentang, atas musibah yang menimpa “sepanjang braga”. Tentu terima kasih juga pada Ita Siregar dan Endah Perca yang masih sanggup bercerita detil perjalanan ke Bandung kemarin, dalam rangka Festival Potluck. Perjalanan yang mengesankan, bukan?

Ya, demikianlah. Hanya sujud syukur kepada Tuhan yang pantas saya lakukan setelah semuanya beres. Semua bagai sebuah mimpi buruk di tangkai malam yang hampir punah menuju pagi. Menjelang tiba di rumah, ketika di antar three angels (istilah Endah), saya sempat bergumam: ini waktu tahajud. Tentu saja. Pukul 02 dinihari. Saya menyerah pada bujukan teman-teman manis itu untuk tidak mengantar mereka, namun sebaliknya saya yang di antar lebih dulu. Saya titipkan pada Pak Akhyamin, sopir taksi yang kemudian mengantar Endah, Dina, dan Ita ke Duren Sawit.

Sebelum isteri saya menanyakan mobil, meskipun membuka pagar dengan seraut kantuk yang membalut, saya bercerita singkat tentang musibah yang menyambut kami di kilometer 18-an. Ia tak perlu meyakinkan, apakah yang datang suaminya atau semacam suaminya, yang penting perasaannya jadi lega melihat saya tak kurang suatu apa. Seperti janji saya dalam hati. Saya pun shalat dengan banyak rakaat. Tentu karena Isya disusul Maghrib yang tunda, dilanjutkan dengan tahajud dan witir, sampai tak ingat: saya berdoa atau tidur?

Begitu lelahkah saya? Mungkin juga. Karena hari Kamis subuh saya sudah berada di bandara, untuk lepas landas pukul 6 dengan Garuda ke Banda Atjeh. Lantaran singgah di Medan, pesawat baru tiba di Atjeh pukul 10.30. Dijemput oleh Alfi dari Nurul Fikri, bergabung ke Radio Nikoya, yang sekaligus menjadi sekretariat Pusat Komunikasi dan Budaya Banda Atjeh, yang dibangun oleh Unesco dengan Yayasan Nurul Fikri.

Di ruang kelas, Gus tf  (yang tiba Rabu petang) sedang mengajar para calon pengarang Atjeh. Ia memang mendapat sesi pagi, sedangkan saya giliran setelah makan siang. Waktu yang tersisa saya gunakan untuk memperbanyak materi, dan membuat dua halaman kuis untuk menggali potensi. Setelah makan siang, saya memulai sesi pelatihan penulisan kreatif yang cukup interaktif. Setelah ashar, barulah dilakukan pembahasan karya peserta, saya tandem dengan Gus tf.

Demikianlah, saya ke Atjeh karena undangan Unesco untuk pemberdayaan masyarakat Atjeh, walaupun dalam skala yang masih kecil. Selain saya dan Gus tf, hari pertama diisi oleh Azhari, dan hari ketiga akan diisi oleh Sulaiman Tripa, Fauzan Santa, serta Reza Idria. Usai maghrib hari Kamis itu, saya ingin mengulang nikmatnya kopi telor di Kedai Jasa Ayah, Ulee Kareng. Maka atas kebaikan Azhari dan Reza Idria, saya bersama Gus tf dan Sulaiman Tripa dijemput untuk tujuan itu. Lantas dengan buru-buru, karena Alfi menelpon untuk acara talkshow di Nikoya, Reza melajukan sedannya lebih dari biasa. Ya, talk show dimajukan setengah jam, untunglah masih tak jauh terlambat.

Sesudahnya, saya masih harus membuka email di kantor radio itu, sementara Gus yang masuk angin dan sudah beberapa kali muntah, terbaring di belakang saya. Sekira jam 23, kami pun pamit dan kembali ke penginapan.

Jumat pagi, saya dan Gus siap-siap untuk dijemput makan pagi dan akan diantar ke bandara untuk pesawat jam 10.25. Saya teringat undangan Martin Aleida yang disampaikan Endah untuk hadir di Meja Budaya sore itu di TIM. Saya memang ingin ngobrol dengan salah satu pembicaranya: Leila S Chudori, setidaknya mengenai Dunia Tanpa Koma. Maka saya mencoba janjian. Dan Leila mengiyakan.

Karena kembali pesawat mesti transit di Medan, sampai di Jakarta sudah setengah tiga. Saya mulai bimbang: pulang ke rumah dulu atau langsung ke TIM. Sekali lagi saya mematikan Leila, yang mengatakan acara mulai jam 3, membuat saya memutuskan langsung ke TIM dengan membawa koper, tentu. Setiba di PDS HB Jassin, acara sudah berjalan, giliran Deddy Mizwar yang sedang bicara. Singkat cerita, usai diskusi, saya mengajak Leila menepi untuk ngobrol sekitar DTK.

Sebenarnya, pada obrolan pagi menjelang berangkat ke bandara Atjeh, Gus cerita tentang Nugroho Suksmanto, pengusaha yang menerbitkan buku kumpulan cerpen, dan launching tanggal 1 Des malam di Bentara Budaya. Nah, rupanya, Endo Senggono dari PDS HB Jassin juga diundang. Walhasil, saya pun kepincut untuk mengikuti acara itu, sekalian ingin ketemu Triyanto Triwikromo. Mumpung ada mobil yang bisa ditumpangi. Karena koper masih menjadi teman setia.

Berangkatlah, setelah menelepon ke rumah, saya, Rara Gendis, dan Akidah Gauzillah, menjadi pengikut mas Endo. Di tengah perjalanan ditelepon oleh sebuah rumah produksi yang sedang membuat acara sastra untuk remaja, ingin mewawancara saya sebagai nara sumber prosa. Lalu saya ingat, Hasan Aspahani pernah juga diwawancara untuk materi acara yang sama, mengenai puisi. Saya sanggupi, tapi harus malam ini juga, di Bentara Budaya, karena Sabtu mau jalan ke Bandung. Mereka setuju. Saya berkonsultasi dengan Rara Gendis, Endo, dan coba telepon Hasan Aspahani, mengenai fee untuk wawancara itu. Intinya saya tahu, bahwa ini bukan ‘proyek besar’, jadi saya merasa siap dari awal.

Seperti biasa, saya memotret sana-sini pada acara launch buku Nugroho yang bertajuk: “Petualangan Celana Dalam”. Ketemu si tattoo kupu-kupu Djenar (yang bertindak sebagai MC malam itu), dan sempat ngobrol dengan Triyanto. Pihak yang mau wawancara menelepon, mereka sudah siap di luar Bentara. Karena cahaya lampu tak memadai, maka kami pun melangkah ke balairung gedung Kompas. Di sanalah selama 20 menit saya diwawancara dan dishoot sekadarnya. Karena sejak dari Atjeh saya juga sudah diwanti-wanti oleh Matabaca untuk ketemu di Bentara, saya pun mengambil titipan 3 edisi Matabaca dari lobby Kompas, dengan pesan-pesan yang belum tentu bisa saya laksanakan.

Akhirnya, di penghujung acara, saya berhasil berkenalan dengan pak Nugroho (senangnya, ketika dia mengenali saya sebagai nominator KLA dan ternyata membaca tuntas Kincir Api), dan minta tanda tangan pada bukunya (trims Hetih, atas buku pak Nug). Rasanya, suatu saat perlu bertemu kembali, karena ia ramah dan menjanjikan pertemanan yang positif. Nah, sesudah itu, sesudah menyalami pak Budi Darma yang juga hadir, saya pamit, kembali mbonceng mas Endo, dan turun di Cawang untuk menyambung dengan taksi ke rumah.

Tiba di rumah, saya perlu mandi, setelah seharian kelayapan, dan bertemu ‘sejuta’ wajah. Lalu teringat: saya belum menulis makalah untuk diskusi buku Akmal besok pagi di Bandung. Saya memang tidak menjanjikan kepada Akmal, tapi saya perlu menulis. Saya harus menghargai kesempatan yang diberikan Akmal untuk membahas buku barunya. Dengan demikian, saya menyalakan komputer. Buku yang telah habis saya baca sepanjang perjalanan ke Atjeh itu telah banyak mengguratkan catatan. Sehingga menjelang setengah 3 pagi selesai sudah, langsung saya print, dan dimasukkan ke laci kopor kecil.

Tidurlah saya, dengan harapan mendapatkan kualitas lelap yang cukup, karena Akmal ingin kita jam 7 start dari Jakarta. Kebetulan saya harus mengantar anak saya sekolah di Rawamangun, tepat sekali untuk sekalian menjemput Ita Siregar di tempat kost-nya. Namun sebelum itu, Dina dan Endah janji menanti di Jatinegara. Memang itulah yang terjadi keesokan harinya. Tak diduga ada sedikit kemacetan di Pramuka, yang menyebabkan sarapan ala MacDonald dilakukan secara take-away.

Selanjutnya cerita perjalanan itu telah ditulis oleh Akmal, Ita Siregar, dan Endah dengan versi masing-masing, yang saling melengkapi. Mulai merambah tol Cipularang dengan sajian Marillion, Queen, dan Syaharani, sampai kami makan malam di sate legendaris Haji M. Hadori di stasiun hall Bandung.

Pertanyaan awal: Begitu lelahkah saya? Mungkin, jika merunut sejumlah kegiatan yang mengawali sebelumnya. Untunglah, rencana diskusi “Kincir Api” di Dewan Kesenian Tangerang, yang sedianya hari Minggu tanggal 3 Desember, ditunda ke tanggal 10 Desember.

Tak ada yang pantas saya lakukan selain sujud syukur, setelah semua beres. Tak kurang dari Kris Bentang, Sanie B Kuncoro, Teh Senny, Yo Blue4gie, Pakcik, Tanzil, mengirim sms memastikan keselamatan kami. Dan Akmal menelepon hari Senin kemarin. Yang saya lakukan saat Minggu pagi adalah menelepon General Affair kantor (yang agak linglung karena ngantuk sehabis ronda), melaporkan kejadian, agar tak terlambat untuk klaim asuransi.

Ita, Endah, juga Bakar Ufuk, sebenarnya saya tidak setenang yang anda kira. Begitu guncangan terjadi, bunyi semacam letusan, dan mobil yang tentu tidak stabil lagi, membuat saya harus mengendalikan stir (dalam kecepatan 100 km / jam) dan menepi dengan baik. Setiap kali saya cerita kepada teman (kepala bengkel, bagian emergency, mekanik, dll), menganggap itu sebuah keberuntungan. Saya bahkan lupa, bahwa dengan sekaligus dua roda kempes di satu sisi, ada kemungkinan mobil terguling. Dan di jalan tol yang semua melaju kencang, ada kemungkinan kedua, disundul mobil dari belakang. Bahkan, andai benda logam yang tergeletak di jalan tol itu masuk ke tengah mobil, akan menghajar gardan dan bagian-bagian penting dari mesin mobil. Alhamdulillah, itu semua tak terjadi. Tuhan masih cinta pada kita.

Setelah saya memeriksa kondisi ban dan velg yang tak bundar lagi, memastikan mobil tak dapat berjalan normal. Segera saya mencoba memahami seluruh situasi, agar ‘skenario’ tertangkap dari awal, walau kami hanya pemain fragmen dari seluruh kejadian. Memastikan masing-masing peranan: penyebab, korban lain, dan saksi atau pelerai. Rupanya sebuah colt bak terbuka yang mengangkut mangga melampaui kapasitas dari Majalengka mengalami patah as roda. Ban terkelupas ke mana, velg dan potongan besi as roda tergeletak di tengah jalur cepat tol. Benda itulah yang terhajar lurus oleh dua roda kiri mobil saya. Urusan memang jadi amburadul. Apalagi melihat si tukang angkut mangga itu berwajah kusut. Semua tentu tak ingin musibah ini terjadi. Saling menyalahkan tidak menyelesaikan masalah, hanya perlu bagaimana solusinya.

Saya menelepon teman yang punya akses dengan Suzuki Emergency. Saya minta guidance-nya. Sampai akhirnya disarankan yang terbaik, yang kemudian saya lakukan itu. Membawa mobil ke bengkel resmi Suzuki terdekat. Saya juga, seperti refleks saja, memotret peristiwa pada bagian-bagian yang penting, setidaknya akan menjadi laporan untuk klaim asuransi jika memungkinkan. Kemudian, setelah itu, saya mulai memikirkan nasib teman-teman yang tak bisa melanjutkan perjalanan dengan nyaman. Saya hanya bisa minta maaf.

Sungguh, tanpa kehadiran teman-teman yang sabar menunggu prosesi, saya pasti akan drop dan emosional. Syukurlah, semua tak kurang suatu apa, sampai saya tanya ke mas Taufik Ufuk mengenai lap top-nya, khawatir terkena benturan. Tapi rasanya mobil menepi dengan baik. Bagi Endah dkk, naik mobil yang diderek tentu pengalaman tak terlupakan.

Saran Endah agar hari Minggu yang sepi (isteri dan si sulung mengantar Ayah ke Banten, koran Minggu tidak diantar oleh loper) untuk istirahat, saya lakukan itu. Jam 2, Sanusi si tukang angkut mangga sms, ingin mengganti yang bisa dia sanggupi, ongkos derek. Saya terima maksud baiknya. Dan kini saya tahu, dia sebenarnya buruh pabrik tahu di Kramat Jati, tapi mencoba cari tambahan uang dengan menyopir pengiriman hasil kebun jika musim buah. Tapi kadang-kadang upaya seperti itu masih harus diuji oleh Tuhan, untuk mengukur seberapa kuat ia beriman.

Demikianlah, cerita keseluruhannya bisa disatu-padukan dengan kisah yang ditulis oleh Ita, Akmal, dan Endah. Terima kasih untuk ungkapan perhatian dari teman-teman melalui milis maupun sms. Saya senang ketika Bakar Ufuk menulis antara lain: “… satu hal, kami tak kapok untuk mengadakan perjalanan lagi dengan mas Kef.” Duhai, senangnya, punya banyak teman yang baik hati.

 

Salam,

Kef

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home