Friday, February 09, 2007

Cinta Separuh Malam

“JADI Arifa kuliah di Melbourne? Mengambil jurusan apa?” tanya Endah.

“Arsitektur, Tante.”

“Kata ayahmu, kamu juga berbakat menulis. Kenapa tidak memilih Sastra?”

“Papa juga tidak kuliah di Sastra, tetapi novel-novelnya cukup digemari.”

“Ah, benar juga.” Endah tertawa. Seperti teringat sesuatu, ia pun mengajak Arifa ke sebuah sudut yang ditempati seperangkat meja dan kursi. Letaknya dekat jendela, menghadap ke timur. “Ini meja tempat ayahmu membaca dan menulis. Bahkan kadang-kadang tertidur.”

Arifa pun mencoba duduk di situ. Matanya dapat memandang sebuah rak yang memajang buku-buku terbaik menurut versi Perca. Di antaranya Gabriel Garcia Marquez, Virginia Woolf, James Joice, Budi Darma, Emily Dickinson, Pramoedya Ananta ToerSelain ruap khas aroma buku-buku, di ruangan itu juga tercium wangi teh.

Menjelang maghrib Arifa pamit. Sekali lagi mengingatkan kepada Endah, bahwa yang tersimpan dalam kotak adalah manuskrip novel Jodik Givara yang belum usai.

“Nanti akan saya baca,” janji Endah sambil mengantar Arifa ke depan pintu.

Begitu mobil Arifa menghilang, Endah bergegas ke dalam. Tak sabar ingin segera membaca novel Jodik Givara. Pada halaman pertama, sesudah judul “Cinta Separuh Malam”, Endah mendapatkan kalimat ini:

“Aku terbangun ketika embun berkerumun di permukaan daun. Ada desir angin yang lolos melalui sela jalusi jendela, membawa serta aroma kabut. Sisa malam membiarkan titiik-titik terakhir gerimis gugur. Kusentuh serat halus pada selimut rajutan buatan tanganmu, yang menutup dadaku hingga ujung bahu. Kuhirup sayup wangi jeruk nipis yang merebak dari setengah cangkir teh, yang tersisa setelah sekian jam terlena dalam tidur. Tinggal segaris cahaya lampu menerangi sisi rak buku, yang ditempati lima belas novel terbaik. Cahaya itu pasti berasal dari pintu kamarmu yang dibiarkan sedikit terbuka. Untuk  meyakinkan diriku, bahwa di dalam gulita ruang pustaka itu aku tidak sendiri. Ada alunan nafas lain, ada denyut mimpi yang lain…”

Setetes air mata Endah meluncur begitu saja dan jatuh ke atas halaman aksara itu. Selekas yang ia mampu, segera dihapusnya. Ia tak ingin ada huruf yang luntur atau kertas itu menjadi bergelombang karena basah.

“Ya. Akhirnya kau tahu,” bisiknya sendiri. Selalu ada denyut mimpi yang lain!”

(Dipetik dari cerita Cinta Separuh Malam, Kurnia Effendi)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home