Thursday, February 08, 2007

Selamat Datang Matahari

PINTU kamar terbuka perlahan. Aku terkesiap, karena hanya Ibu yang berbuat seperti itu. Tapi bayang-bayang yang memanjang langsing hanya milik Nadia. Mata kelincinya menatapku curiga.

Dery, sorry, kamu sedang jatuh cinta ya?” Suara Nadia begitu lembut. Saat seperti itu, aku merasa bahwa dia benar-benar belahan jiwaku.

“Apa yang membuatmu berpikir demikian?” Aku mencoba mengelak.

“Tampak dari kegelisahanmu,” ujarnya sok psikolog. Ia duduk di sampingku. Kepalanya disandarkan ke bahuku. “Kamu seharusnya ada di Bandung, dan bahkan sudah mulai naik ke Papandayan.”

“Kamu terganggu jika malam ini aku di rumah?” Aku memeluknya.

“Aku justru terganggu jika kamu jadi pemurung.” Nadia memandang ransel yang sudah kusiapkan. “Mau ke mana? Menyusul teman-temanmu?”

Aku menggeleng. “Hanum ingin edelweiss. Aku akan mencarinya di Suryakencana.”

Nadia melepaskan pelukanku. “Benar apa kataku, bukan? Kamu jatuh cinta!”

Aku menatap matanya. “Kalau benar, apa yang harus kulakukan?”

“Kukira Hanum gadis baik. Aku juga melihat ada kesedihan di balik keceriaannya. Jika boleh berikan saran, kamu jangan nekat naik gunung jika tak benar-benar siap. Aku masih punya edelweiss oleh-olehmu dulu. Berikan padanya. Daripada Ibu pingsan jika kamu pamit tengah malam nanti.”

“Jadi apa yang harus kulakukan?”

“Kita ke rumah Hanum!” Nadia tidak menunggu jawabanku. Dia telah melompat pergi ke luar kamar.

Kita? Aku terhenyak. Tumben dia mau ngurusin perasaanku. Aku segera menelepon Rukmi dan teman-teman lain. Meralat rencana.

 

(Dipetik dari cerita Selamat Datang Matahari, Kurnia Effendi)