Tuesday, February 27, 2007

A I R

PERIBAHASA yang kita kenal sejak Sekolah Dasar, ternyata kerap menjadi kenyataan. Ketika kecil menjadi teman dan di kala besar berubah sebagai lawan, apaka itu? Mereka adalah air, api, angin, dan tanah. Seluruh unsur alam itu memiliki sifat-sifat yang sebenarnya kita pahami tapi kerap kita lupakan. Terlepas dari yang dapat dipahami, boleh juga kita dengar yang seolah berada di luar pamahaman.

Konon, menurut sahibul hikayat yang sulit ditelusuri muasalnya, di balik peristiwa air yang tercurah dari langit demikian berlimpah menjelang hari raya Imlek, terdapat sebuah kisah. Diceritakan ada dua anak dewa, lelaki dan perempuan yang sedang menikmati masa remaja mereka. Keduanya tentu sakti luar biasa, mengingat orang tuanya bukan manusia biasa.

Dalam pergaulan sehari-hari, mereka berdua tidak menunjukkan kerukunan, justru sebaliknya saling berseteru. Namun, di balik dada kedua remaja itu tersimpan degup samar asmara. Keduanya saling jatuh hati tapi terhalang harga diri sebagai sesama makhluk digdaya. Mungkin lantaran keduanya juga menyadari memiliki kekurangan yang ingin disembunyikan.

Si perempuan akan tampak cantik merona apabila wajahnya tidak dipenuhi bercak-bercak yang membuatnya malu tampil tanpa bedak tebal. Sementara sang pemuda memiliki rambut tak sempurna, sehingga akan terlihat botak jika keluar rumah tanpa mengenakan topi. Diam-diam, antara perasaan cinta yang menggebu dan gengsi untuk saling mengakui kelemahan, menjadikan hubungan mereka justru rimbun dengan ancaman.

Suatu hari, menjelang ulang tahun mereka yang bertepatan tanggal dan bulannya, terjadilah pertengkaran hebat. Masing-masing bermaksud membongkar aib untuk mengalahkannya. Dengarlah kata-kata mereka dalam menumpahkan rasa geram, di balik letup api cinta:

“Hai, tunggu saatnya, akan kucurahkan hujan sederas-derasnya untuk melunturkan bedak di wajahmu!“

“Kaupikir aku tak sanggup mendatangkan angin puyuh untuk menerbangkan pelindung kepalamu itu?“

Ah, dasar remaja yang masih diombang-ambing oleh emosi. Kekalapan itu pun akhirnya memuncak persis pada perayaan ulang tahun mereka. Bukan peluk cium dan pesta kembang api yang terjadi, justru ledakan amarah yang sesungguhnya hanya dilatari oleh rasa ingin menang dan menguasai saja. Pada hari itu bertiup angin kencang sekaligus hujan yang seolah-olah pecah tempayan langit penampung berjuta kubik air. Bumi basah kuyup, sungai meluap, dan angin membuat seluruh isi daratan beterbangan.

Ah, ah, ah, adakah mereka becanda atau sungguh-sungguh? Namun sesudah amuk alam akibat perseteruan kedua makhluk yang dimabuk asmara itu, segala yang terpuruk bangkit kembali. Berkah menggantikan setiap kerusakan. Tanah pun subur bagai sedia kala. Seperti halnya hikmah pada setiap kepercayaan termasuk yang samawi: di balik kesulitan terdapat kemudahan.

Ulang tahun keduanya yang dijadikan hari puncak pertengkaran itu, mungkin, yang kini menjadi hari raya Imlek. Tapi jangan serta-merta dipercaya. Cerita itu disampaikan oleh orang tua teman saya dan sulit ditemukan runutan referensi bibliotiknya. “Camkan,” kata ayah yang ucapannya seolah mengandung tuah, “Hujan dan angin akan datang menjelang Imlek. Bersiap-siaplah!”

Benar atau tidak cerita itu, untuk masyarakat yang tinggal di Jakarta, kewaspadaan terhadap curah hujan menjelang hari raya Imlek, patut dilakukan. Segala bentuk kesiagaan, yang terbaik tentu bila didasari dengan kesadaran akan sifat-sifat air: mencari tempat paling rendah, dan selalu menunjukkan tabiatnya yang sama tinggi pada bejana berhubungan dalam bentuk apa pun. Ketika seorang teman, Yo Sugianto, yang kebetulan penyair dan seluruh lantai satu rumahnya tenggelam, menulis puisi, tersirat kata: manusialah pangkal kesalahan semua ini. Sehingga tak dapat dihindari murka alam yang selama ini dikhianati oleh perilaku manusia.

Setelah terjadi (dan berulang kali terjadi) air bah, mau apa lagi? Berderet rumah di bantaran sungai Ciliwung terseret arus. Perumahan yang memiliki kontur dataran semacam lembah terendam sudah. Pemukiman yang tak memiliki irigasi secara memadai, terjebak genangan air. Jalan raya terputus dan berubah bagai sungai. Ya, mau bagaimana lagi, selain segera mengungsi dan menyelamatkan sebagian barang yang paling berguna. Ironis bukan? Sebuah kota metropolitan serta-merta lumpuh begitu disiram hujan lebih dari lima jam sehari, ditambah kiriman arus deras dari daerah tetangganya yang lebih tinggi.

Dalam sepekan ini, air yang sehari-hari menjadi sahabat telah menjelma musuh: raksasa yang menakutkan. Bahkan dalam mimpi pun kita tak hendak membayangkannya. Tapi, demi Tuhan, kita masih mencintai air...

(Kurnia Effendi)