Thursday, February 08, 2007

Tiga Ribu Kaki di Atas Bandung

SYUKURLAH, gumam Katy. Ia melangkah ke jendela. Menghirup semilir angin gunung yang dingin. Tiga ribu kaki di atas Bandung, menyaksikan titik-titik sinar yang menempuh usia malam. Apakah cinta harus selesai di sini? Katy meratap dalam hati. Membagi jeritan jiwanya dengan memandang kelap-kelip ribuan lampu di kejauhan. Kabut amat tipis, melayang di antara gerimis yang jatuh seperti debu.

Katy merasakan genggaman hangat tangan Mahendra. Tapi sudah tidak menjanjikan apa-apa, kecuali sebagai permulaan dongeng tentang hati yang sepi. Ia gemetar menyadari kenyataan itu.

“Lena!” panggil Mahendra tiba-tiba. Ditinggalkannya jendela. Masihkah kamu simpan surat-surat Katy untuk saya?”

Kamu ingin membacanya sekarang?” tanya Svetlana gembira. Penuh ketulusan. Sepertinya, saat-saat yang paling dia nantikan.

Ya. Saya ingin membacanya bersama Katy. Di sini.” Mahendra menatap dalam-dalam bola mata Katy, sebelum meraih tangannya menuju perapian.

Katy mengerti. Mahendra hendak menguburkan semua sejarah dengan cara yang paling masuk akal. Sementara hati Katy berbuat sebaliknya. Ia berniat mengenangnya, sampai hatinya tak mampu lagi mengingat nama-nama hari.

Dan Katy tidak mengatakan apa-apa ketika akhirnya Mahendra menyelesaikan sejumlah harapan dan kerinduannya – yang tersimpan bertahun-tahundengan unggun yang menyala. Setiap lembar surat Katy, dari tanggal ke tanggal, terbakar dan menyerpih jadi abu beberapa detik setelah kalimat terakhir selesai mereka baca. Semuanya. Ya, semuanya!

 

(Petikan dari cerita Tiga Ribu Kaki di Atas Bandung, Kurnia Effendi)

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home