Friday, September 14, 2007

Bulan Sabit

Ketika senja berakhir hari itu, yang kami cari adalah segaris lengkung cahaya tipis di ufuk timur. Lebih tipis dari alismu. Hilal namanya. Berdiri condong seperti penampang samping layar perahu yang tengah gigih ditiup angin menuju tengah samudra. Adakah ia, dian samar yang mengatasi warna langit, telah menjadi pertanda awal putaran waktu? Sebuah titik tempat kami mulai berhitung dari angka satu pada bulan yang baru lahir.

Siapa pun yang melihatnya untuk pertama kali dan mengabarkannya, kami percaya pada tatapan matanya. Tiba saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal Sya’ban. Ibarat pengembara, kami telah sampai pada perbatasan Ramadan. Mungkin ada sebuah rumah yang tak kami ketahui batas dindingnya, namun sebidang pintunya yang putih telah berada di depan langkah kami.

Kami akan dan barangkali harus memasuki rumah itu. Begitu berat langkah diayunkan seolah punggung kami menanggung banyak beban perjalanan. Begitu letih sejarah sasi demi sasi yang kini terseret memanjang ke belakang. Sewaktu kami menengok ke arah barat, kelam sejarah sedang mengikuti kami. Ia bagai buku harian tebal yang menghimpun banyak gulungan awan hitam. Di dalamnya terdapat halaman penuh dengan coretan, cahaya kandil yang padam, suara cerca yang tak kunjung berhenti. Begitu gempitanya mereka mencoba menghapus pucuk-pucuk kearifan yang pernah ditanam pada padang luas yang kami miliki. Benarkah tak satu pun benih tumbuh mengejar matahari?

Setiap kali kami letih tersaruk pada jejak yang menyimpang, jauh ditelan rimba gelap, ada yang setia mengingatkan dan memanggil untuk kembali. Suara yang lebih terdengar oleh hati nurani itu kadang-kadang membuat kami gentar. Seperti menyadarkan kami dari peran-peran sandiwara yang telah dipertunjukkan. Sebagai siapa kami di panggung itu? Ada sejumlah pilihan yang pernah kami ambil untuk menempuh liku-liku jalan, saat rambu kian samar dan sebagian besar sengaja kami dustakan. Kami merasa berprestasi kala berhasil mengubah ukuran moral sesuai dengan tafsir kami sendiri.

Pintu itu masih tegak di depan langkah. Pintu yang mirip sampul buku. Keduanya, pintu maupun buku, menunggu kami buka. Ia tak pernah peduli siapa kami: pengembara dengan sejuta luka atau manusia yang merasa bersih dari noda. Ia hanya mengucapkan selamat datang dengan senyum tipis hilal, cahaya putih yang mengatasi warna langit. Tetapi kami yang pandir ini kerap menjadi salah tingkah. Rasa malu menggayuti hati.

Mungkinkah keangkuhan masih tersisa pada diri kami ketika seharusnya seluruh jubah dilepaskan? Pakaian yang selama ini membuat kami merasa berbeda dengan yang lain. Selimut yang perlahan-lahan membuat kemanusiaan kami imun terhadap setiap peristiwa kesengsaraan di muka bumi. Busana yang, dalam sebuah dongeng tentang raja yang lupa diri, justru membuat kami telanjang mempertontonkan aib.

Kami masih berdiri dan ragu melangkah, menanti isyarat yang membuat kami berani memasuki halaman di balik pintu itu. Kami memandang beribu orang bersujud syukur, lantaran diberi kesempatan bertemu kembali dengan sang pembagi rahmat. Kami memergoki orang-orang yang bersuka cita hendak meraih banyak hadiah sepanjang dua puluh sembilan hari ke depan. Kami menyaksikan air mata haru pada pipi-pipi ranum umat yang bagai menemukan oase di tengah gurun panjang perjalanannya. Lantas kami ini golongan yang mana?

***

Ketika senja berakhir hari itu, yang kami cari adalah segaris lengkung cahaya tipis di cakrawala. Lebih tipis dari alismu, kekasih. Hilal namanya. Berdiri condong seperti goresan kuas sang maha pelukis, memercik di hamparan lazuardi. Adakah ia, suluh yang dinyalakan tangan tak tampak, telah menjadi pertanda awal putaran waktu? Sebuah tirai pembatas tempat kami mulai mengubah peran: dari yang palsu menjadi yang polos.

Siapa pun yang menjadi sahabat kami, menjelang dengan keindahan hati. Mengulurkan tangan untuk dijabat erat, demi mengurai seluruh jelaga. Runtuh kerak dendam, terlepas rahang murka, mencair bekuan prasangka buruk, terbatalkan niat jahat, tercuci setiap caci maki. Lalu, kami lepas sepasang terompah yang selama ini terseret langkah ke mana-mana, di antaranya ke tempat-tempat yang tak ingin kami membayangkannya kembali.

Kami akan dan barangkali mulai menyadari ucapan kawan. Bila semua harta adalah racun, maka zakatlah penawarnya. Jika semua umur adalah dosa maka taubatlah obatnya. Jika seluruh bulan penuh dengan noda, maka Ramadanlah pemutihnya. Ungkapan indah itu ingin kami jadikan penukar beban di punggung. Sebuah katalog, yang tak pernah terkirim bersama surat utang kami dari bank-bank mana pun, sudah saatnya disimak. Di sana tertera diskon dosa hingga 99%. Di sana tertera semacam doorprize yang selalu dilipatgandakan. Di sana ditawarkan souvenir yang dapat dipetik dari setiap waktu amaliyah. Di sana tertera janji perjamuan terindah bagi yang menempuhnya dengan jiwa bersih.

Setiap kami bertemu dengan wajah orang lain, yang tersirat dan tersurat adalah senyum kebahagiaan. Senyum yang mengikis kesombongan kami perlahan-lahan. Senyum yang membuat kami harus ziarah pada rasa kemanusiaan yang sudah lama terkuburkan. Bagaimana cara kami mewarisi nilai-nilai yang nyaris hilang itu? Kembali senyum itu berusaha mengumpulkan batu-batu yang terserak menjadi pondasi untuk kami pijak kembali. Kekuatan yang disusun dengan cinta dan keikhlasan yang membuat kami malu untuk menafikan.

Pintu itulah yang tersenyum, ramah sebagai tuan rumah. Siapakah yang seharusnya mengucapkan selamat datang? Buku putih yang tiba di depan wajah kami atau kami yang ingin segera memeluknya dengan rindu? Siapakah tamu agung yang sebenarnya? Ramadan dengan bulan sabit itu atau kami yang coreng-moreng oleh leluka perang kemanusiaan?

***

Jakarta, 2 Ramadhan 1428 H, Kurnia Effendi

 

 

 

 

 

1 Comments:

Blogger penakayu said...

kakuatan bahasa yang indah dan memukau dalam menyambut ramadhan :-)

met puasa bang kef, semoga tambah iman, amal dan semakin produktif berkarya :-)

7:19 PM  

Post a Comment

<< Home