Monday, September 10, 2007

Cerita Pendek

Seorang perempuan yang jatuh cinta pada hujan.

Sejak pertama membaca judul itu, saya langsung jatuh cinta. Jika kemudian cerita pendek (cerpen) itu memenangkan salah satu hadiah, bukan semata judul itu penyebabnya. Memang ada gagasan yang sedikit menyimpang dari sekadar menceritakan tentang hujan. Ketika hujan lama tak turun, Bumi pun kemarau. Namun sebaliknya, sewaktu hujan deras mengguyur tak henti-henti mungkin akan menyebabkan sebuah kota tenggelam. Hujan dalam cerpen karya Retnadi Nur’aini adalah tokoh yang hidup. Tokoh yang bisa jatuh cinta dan kesengsem pada perawan berambut panjang.

Saya kira Retnadi tidak ingin mengabaikan tema lingkungan. Justru ia pandai melepaskan diri dari beban tema dan menukarnya dengan kisah magis, melalui percintaan antara seorang perempuan dengan hujan.

Di halaman saya bentangkan tangan selebar-lebarnya, agar Hujan memeluk saya sepuasnya. Setiap tetesnya bercerita tentang kerinduannya. Pada nyanyian saya, pada rambut saya, pada wajah saya yang tersipu. Di tengah derasnya Hujan, saya mulai bernyanyi. Semula hanya senandung lirih, makin lama makin kencang. Ketika Hujan mulai reda, saya tahu dia sedang mendengarkan. ”Terima kasih,” bisiknya, mengecup bibir saya dengan lembut.

Akhir yang tragis, ketika sang perempuan harus ditiadakan, membuat cerita ini mencekam. Persoalannya tinggal teknis: bagaimana menutup kisah dengan keindahan yang sama ketika memulai atau saat mengurai bagian tengah?

***

“Desau. Itulah namamu,” kata perempuan itu pada suatu hari padanya.

Itulah awal kalimat cerita pendek pemenang kedua pada lomba yang diselenggarakan oleh Tabloid Parle. Kalimat yang memesona sejak penglihatan pertama itu menyeret mata saya untuk menelusuri rangkaian kata-kata berikutnya. Cerita itu mengalir dengan kandungan misteri.

“Hari itu badai pasir tiba-tiba muncul. Sangat menakutkan, hingga aku pun bersembunyi jauh ke dalam gua. Badai itu meraung-raung di luar sana. Mendesau-desau seperti gulungan angin ribut yang datang dari hembusan napas raksasa. Wuuuuusssshhh! Wuuuuusssshhhh! Setelah badai itu menghilang, aku menemukan dirimu tergeletak di mulut gua. Saat itu kau masih bayi.”

Dina Octaviana menyembunyikan tema lingkungan hidup dalam kisah yang hebat. Anak Gurun. Melalui bayi yang ditemukan seusai badai pasir, pengarang ingin menyampaikan akibat penebangan pohon-pohon hutan. Kehijauan yang ditukar dengan kemewahan sesaat, selebihnya adalah penderitaan  panjang. Desau, yang dipercaya lahir dari rahim gurun, seperti mendapat amanat untuk menemukan cara menghijaukan kembali kawasan yang kini gersang tak berpenghuni kecuali seorang ibu dalam gua.

Desau memejamkan mata. Benaknya berusaha melukiskan hutan belantara yang kelak akan ia persembahkan bagi gurun, ibu yang telah melahirkannya. Dua kalimat itu menutup cerita dengan anggun.

***

Seperti sebuah isyarat, tanda-tanda keberhasilan sebuah cerita (pendek) “tercium” melalui judul atau awal kalimat yang ditulis. Pertama kali kutahu bahwa aku punya nama justru dari makhluk asing bermata biru lazuardi, dari negeri entah di mana. Begitulah cerpen Capra dimulai.

Tak kalah unik, cerita yang merambat perlahan dengan detail dan bahasa puitis ini memiliki tokoh sekuntum anggrek. Titik Kartitiani, penulisnya, adalah redaktur majalah Flona, sudah barang tentu memiliki pengetahuan luas mengenai tetumbuhan (dan hewan). Pilihannya cukup tepat, segera menyingkirkan sejumlah peserta lomba yang lain. Boleh jadi ini subyektif, tetapi dengan pemihakan terhadap estetika bahasa dalam menyampaikan gagasan, mudah-mudahan pilihan itu tidak keliru.

Seperti dua pengarang lain yang memenagi hadiah utama, Capra juga pintar mengusung tema tanpa slogan. Mari kita simak peristiwa yang pada umumnya dipresentasikan dengan kalimat bombastis dan mengerikan: Mereka membawa benda dengan gigi-gigi kuat, lebih kuat dari ikan todak. Hanya dengan anggukan, benda itu mengaum keras, seiring dengan tubuhku yang tiba-tiba bergetar hebat. Sakit sekali rasanya. Namun sakit itu tak sempat kurasakan lebih lama ketika tiba-tiba pepohonan di sekitarku berputar dengan cepat. Brakk! Tubuhku terjerembab di tanah. Rintih jati mengelilingiku menandai sebuah candra sengkala, tahun rusaknya Bumi yang menghidupi.

Terpukau adalah hak semua orang yang sensitif terhadap keindahan metafora yang tidak tergelincir pada kegenitan. Kemampuannya membuat deskripsi dan pameran diksi yang bagai mengupas kulit bawang, berlapis-lapis, telah sedikit melupakan pada caranya berlambat-lambat. Walau tak sempurna, cerita ini cukup berhasil memberikan pencerahan, memandang kekejian manusia yang hanya memikirkan diri sendiri dari sudut kelembutan nurani bunga. Sebuah ekstrem atau sebuah kontras yang sengaja diangkat oleh Titik untuk membungkus tema lingkungan.

***

Cerita pendek dengan tokoh-tokoh ajaib, unik, dan magis, sangat merebut perhatian. Beban berat secara moral terhadap perusakan Bumi yang justru dilakukan oleh manusia yang membutuhkan Bumi, adalah bagian yang larut dalam kisah. Sekelebat pembaca hanya akan memetik cerita yang berkesan dan impresif. Tidak dengan helaan napas berat, melainkan dengan daya tarik yang membuat mata terus ”mengalir” menuju muara kisah. Ini memang hanya cerita pendek. Hanya dengan kepiawaian tersendiri, halaman yang pendek mampu menampung keutuhan fragmen.

Semoga tak hanya saya yang merasa nyaman dengan ketiga cerita pendek di atas. Suatu saat mungkin perlu dibaca oleh semua orang.

(Kurnia Effendi)

 

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

wadhuh wadhuh wadhuh, sampai di review disini, saya jadi malu. anyway, terima kasih ya mas kurnia..sungguh kehormatan cerita saya bisa dibaca mas kurnia, mas yusi dan mas as laksana--apalagi sampai bisa dinikmati dgn nyaman. have a wonderful ramadhan! oya, saya retnadi nur'aini, suka makan (kok nggak impresif ya? well, i'm lousy at first impression, sorry).

12:40 PM  
Anonymous Anonymous said...

Salam kenal buat mas Kurnia Effendi. Ikutan komentar ah. Terimakasih banyak buat review-nya yang hebat. Lubang hidung saya jadi melebar masing2 2 cm nih hehehe. Oya, meski telat, saya acungi dua jempol buat penyelenggaraan Malam HUT Tabloid PARLE tempo hari. Rapih dan tepat waktu. Salam (Dina Octaviana) \(^_^)/

12:06 PM  

Post a Comment

<< Home