Wednesday, September 12, 2007

Ucapan Terima Kasih

Selamat malam teman-teman semua. Terima kasih atas kesediaan meluangkan waktu untuk hadir dalam pertemuan yang memiliki dua tujuan ini.

Pertama, kita sebagai panitia HUT Tabloid Parle, sudah waktunya untuk membubarkan diri, karena rangkaian acara ulang tahun itu telah usai. Kedua, Rabu malam, kaum muslimin dan muslimat akan melaksanakan salat tarawih. Dengan demikian, malam ini waktu yang paling tepat untuk saling membersihkan hati agar ibadah puasa kita di bulan Ramadan tidak terhalang dosa dan noda prasangka buruk.

Mari kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan kemudahan yang diberikan, kita dapat berkumpul di sini dalam keadaan sehat. Semoga keberkahan lahir batin itu tak berhenti di sini, melainkan akan memanjang dan tak putus-putus.

Sebagai Ketua Panitia, dalam kesempatan yang baik ini, saya wajib mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada seluruh panitia. Seperti yang pernah saya sampaikan di panggung, alangkah berat mempertanggungjawabkan kegiatan yang sejak awal sudah mendebarkan itu. Namun alhamdulillah, tanpa aral rintangan yang berarti, semua berjalan dengan baik. Itu semua tak mungkin saya kerjakan sendiri. Atas dukungan, bantuan, kerjasama, dan saling support seluruh panitia, kerja besar itu dapat terlampaui.

Malam ini saya merasa haru, karena tidak sepenuhnya menyangka, seluruh harapan yang pernah kita cita-citakan dapat tercapai. Merayakan ulang tahun kedua Tabloid Parle dengan dua misi utama: (1) menggali potensi kaum muda melalui lomba penulisan cerpen dan (2) memberikan apresiasi terhadap seni melalui silaturahmi pelbagai kalangan.

Mungkin sedikit perlu dijelaskan di sini, bahwa gagasan awal dari semua ini lahir dari Pak Mohamad Bawazeer. Bahkan bukan dengan cara meminta usulan dari kita, melainkan meminta agar kita melaksanakan. Untuk mengenang ihwal semua itu, harus menengok surut ke belakang, sewaktu Pak Mohamad ingin ngobrol dengan saya dan Syafruddin sembari makan siang di Kedai Tiga Nyonya Tebet, setelah salat Jumat. Saya lupa, itu bulan Maret atau April 2007

“Bagaimana kalau Parle mengadakan lomba baca puisi? Menarik itu…” Begitulah kira-kira permulaannya. Lalu diupayakan agar menjadi perayaan ulang tahun Tabloid Parle saat menyerahkan hadiah bagi pemenangnya. Saat itu langsung terpikir untuk dua hal: pertama, bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta; kedua, pada malam penyerahan hadiah diharapkan para menteri membaca puisi di panggung.

Selanjutnya kami (saya, pak Fahruddin, Syafruddin, dan Anya Rompas), mencoba menjajaki DKJ Komite Sastra untuk kolaborasi ini. Pada pertemuan itu terjadi perubahan bentuk lomba, usulan Komite Sastra yang dapat kami terima, yakni menjadi lomba penulisan karya (cerpen, esai, atau puisi). Berikutnya tak perlu dijelaskan secara rinci, kecuali batalnya kerja sama dengan DKJ karena pihak mereka merasa tidak punya andil lagi dalam langkah-langkah yang kita ambil.

Demikianlah, panitia dibentuk berdasarkan chemistry persahabatan. Proposal dibuat di antara kesibukan pekerjaan formal masing-masing. Perkembangan terjadi setiap saat, sampai diputuskan perlunya seorang sutradara acara untuk menggalang semua materi. Saat itu kami usulkan Mas Jose Rizal Manua kepada Pak Mohamad yang langsung diterima. Usulan-usulan terus bermunculan, terutama keinginan hadirnya para artis dan pejabat birokrat, yang kemungkinan besar akan menarik minat para jurnalis untuk meliput.

Dengan adanya banyak pendapat dan ide, akhirnya muncul keragaman acara antara lain: pembacaan puisi, pertunjukan musik, pertunjukan teater, pembacaan cerpen pemenang, peluncuran buku, dll

Secara paralel persiapan menuju puncak acara yang kami namai “Malam Festival Seni” itu berlangsung. Penjurian lomba cerpen, penggalangan sponsor, konfirmasi pengisi acara, dan rapat-rapat panitia, inventarisasi perlengkapan acara, pemesanan trofi, pembuatan booklet, pencetakan buku, penyiapan banner publikasi, press release, deadline Parle, dst.

Hasil lomba cerpen memang belum terlampau memuaskan dari segi kualitas. Tetapi pilihan dewan juri yang diketuai oleh Yusi Avianto Pareanom adalah beberapa yang terbaik dalam tema ”Lingkungan Hidup” dan pantas dipublikasikan bila memang ada mediumnya. Mereka adalah Dina Octaviana, Retnadi Nur’aini, Titik Kartitiani, dan Denny Prabowo. Dan keempat cerpen pemenang ini memang sudah seharusnya dibaca oleh para selebritis. Sementara untuk tema ”Cinta Tanah Air” tak seorang peserta pun memenuhi syarat. Untuk kegiatan utama yang pertama usai sudah kiranya.

Sungguh, tanpa kerja sama yang baik dan kecocokan satu sama lain di antara panitia, pekerjan ini mustahil selesai. Mungkin kami sempat beberapa kali harus pulang pagi, tetapi dengan semangat kebersamaan, badan dan jiwa kami tetap bugar. Dalam impian kami, acara Malam Festival Seni sebagai kegiatan utama kedua harus berlangsung lancar.

Ketegangan tak berhenti menggoda kami, saat satu persatu pengisi acara mulai bermasalah. Misalnya Wulan Guritno yang sedang sibuk latihan teater nyaris batal membaca cerpen. Ayu Dyah Pasha harus mengatur waktu dengan ketat karena pada hari yang sama ada acara di Surabaya. Di saat saya tugas ke Aceh, Happy Salma minta maaf karena syuting memanjang dan berada di luar kota sampai hari H. Untunglah Cornelia Agatha justru menawarkan diri untuk bernyanyi dan menari.

Namun bagaimanapun harus ada pengganti Happy Salma untuk membaca cerpen pemenang. Mulai dari Ikke Nurjanah sampai Peggy Melati Sukma, tak berjodoh soal waktunya. Beruntung di hari-hari akhir, Maudy Koesnaedi dan Ivy Batuta bersedia.

Di sisi lain, Pak Jero Wacik yang sudah tertera dalam publikasi di gerbang TIM, membatalkan diri karena kesibukan lain. Lantas pada malam yang dijanjikan, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dan Ketua PWI Pusat juga tak datang. Sampai tokoh penggantinya, Gus Dur dan Muhaimin Iskandar juga luput. Dua yang terakhir ini barangkali karena terlampau mendadak dan ada alasan yang bersifat non-teknis. Saya tahu, malam itu Pak Fahruddin paling stress, sementara kita para panitia tak sempat mencicipi hidangan makan malam yang disajikan dalam iringan musik keroncong pimpinan Hamsad Rangkuti.

Akhirnya, satu persatu mata acara berjalan, mengalir seperti yang diharapkan Pak Mohamad. Soal tidak hadirnya menteri selain Pak Purnomo Yusgiantoro, itu hanya pihak internal yang tahu. Toh para tamu yang jumlahnya 272 orang itu tidak kecewa. Tentu saja, mereka mendapatkan light dinner, souvenir berupa buku, termos, T-shirt, dan tabloid terbaru, menonton hiburan berkualitas sekaligus wisata kebudayaan. Masih ditambah dengan doorprize bagi yang beruntung.

Acara kita memang berhasil mendapatkan sponsor meski masih jauh dari target. Mereka yang berbaik sangka adalah PT Inco, Enprani Indonesia, PT. Miswak Utama, Jewels of Eden, PT. Bayu Buana Gemilang, PT Mustika Ratu Tbk, dan Prudential. Kepada para sponsor ini kami memberikan kesempatan untuk beriklan di Tabloid Parle selain tercantum dalam booklet, backdrop panggung, dan dibacakan oleh MC. Mudah-mudahan cukup memadai sebagai bentuk kerjasama.

Sepanjang acara berlangsung, para tamu tak perlu tahu bagaimana kalang-kabutnya kita semua di balik panggung. Yang penting Adeke dengan senyum manisnya terus menggiring acara. Memberikan sajian suara emas Ari-Reda, presentasi pembacaan terbaik Ayu Dyah Pasha, dan musikalisasi art rock ala Lab Musik Jakarta. Kapan dan di mana lagi selain dalam acara HUT Parle?

Gagasan Dhika agar panitia menggunakan alat komunikasi handy talky (HT) sangatlah tepat dan banyak membantu kelancaran acara. Rundown acara yang dibuat sangat detail oleh Anya Rompas, merupakan profesionalitas tersendiri. Tanggung jawab Endah dalam menyampaikan amanat honor kepada setiap pengisi acara sangat penting dari sisi manajemen artis. Lia Ahmadi yang pada hari H masih sempat mengudarakan wawancara on-air saya dan Pak Fahruddin, adalah publikasi terbaik buat Parle. Bahkan disambung dengan acara Pro-Resensi buku Interlude-Jeda di Pro 2 FM Minggu (9/9) petang kemarin selama satu jam. Dokumentasi yang dipercayakan kepada Anas pun menghasilkan gambaran yang lengkap mengenai acara kita. Saya kira, teman-teman yang telah menghasilkan kerja terbaiknya itu perlu mendapat aplaus tepuk tangan.

Jadi, meskipun di pengujung acara kita baru merasakan lelah, hati kita sanggup menyembuhkannya dengan rasa puas. Itu sebabnya, setelah taksi terakhir yang membawa sisa buku dan perabotan bersama Yanto dan Budi meninggalkan Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, saya mengajak panitia yang tersisa untuk bercanda di bawah langit dini hari di kawasan wisata jajanan Menteng. Menjelang pagi itu pikiran kami plong, lega luar biasa. Selesai sudah tugas, tinggal mengatur cara bagaimana membayar kurang tidur dan letih raga dalam beberapa hari terakhir.

Perasaan bebas dan senang karena semua beban telah dituntaskan bisa saja terganggu oleh pertanyaan: “Apa hubungannya acara pentas seni itu dengan Parle?” Ini tentu pertanyaan yang boleh dikaji lebih dalam, kira-kira apa motifnya? Tetapi memang tak perlu dijawab, karena yang tahu persis tujuan dan harapan dari acara itu adalah Pak Mohamad. Mungkin dianggap lepas dari relevansinya dengan jurnalistik secara spesifik, bagi orang yang wawasannya tak cukup luas. Itu sama dengan mempertanyakan: ”Apa maksud Ford Foundation sebagai yayasan produsen otomotif dengan membiayai penerbitan buku sastra….”

Nah, malam ini, dengan perasaan yang paling mendalam saya sekali lagi mengucapkan terima kasih atas dukungan yang tanpa hitungan. Saya secara pribadi tentu tak akan sanggup membalas ketulusan dalam bekerja sama. Mudah-mudahan selalu ada kesempatan untuk bisa giliran memberikan support dan perhatian yang sama besarnya. Semoga Tuhan melimpahkan kebaikan yang sepadan untuk Anda semua.

Tentu saja tak seorang pun berperan sempurna, selalu saja ada celah kekurangan di sana-sini. Atas khilaf yang sengaja maupun tidak, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Sekaligus saya mohon maaf lahir dan batin menjelang puasa Ramadan besok malam.

Selamat malam dan salam sayang dari saya

Jakarta, 11 September 2007

Kurnia Effendi