Tuesday, September 04, 2007

Jose Rizal Manua

Membawa Harum Bangsa Melalui Teater Anak-Anak

Nama Jose Rizal Manua sangat dikenal di kalangan para pembaca puisi. Mengapa demikian? Mungkin karena ia yang mengelola Bengkel Deklamasi. Mungkin karena ia sampai saat ini masih menjadi anggota aktif Bengkel Teater Rendra. Mungkin karena ia kerap diundang ke mana-mana sebagai juri lomba baca puisi. Tetapi ia kemudian dikenal hingga mancanegara, ketika Teater Tanah Air yang diasuhnya mementaskan teater anak-anak hinga ke Lingen, Jerman, Juli 2006, dan mendapat penghargaan di sana.

Apa yang dihasilkan dari pertunjukan kelas internasional di Jerman? Sangat mengharukan sekaligus membanggakan. Jose Rizal Manua dinobatkan sebagai sutradara teater amak-anak terbaik tingkat dunia dalam festival bergengsi itu. Saat itu, Jose membawakan naskah Wow! karya Putu Wijaya. Keluguan dan sifat naturalisa anak-anak itulah yang diolah oleh tangan dingin Jose menjadi tontonan yang memukau mata dunia. Bayangkan, untuk kisah anak-anak yang diselipi dengan semacam kritikan namun tidak terasa sebagai beban, justru lucunya, sanggup melibatkan penonton anak-anak untuk ”turut” bermain ke dalam suasana panggung.

”Teater Tanah Air saya dirikan persisnya tanggal 11 September 1988.” katanya, menjawab pertanyaan Parle. ”Kini anggotanya telah lebih dari 100 orang.”

Pasti ada rumus tertentu untuk meraih sukses menggarap anak-anak yang umumnya susah diatur. ”Ya, memang jangan diatur seperti kita melatih orang dewasa. Biarkan mereka bebas dengan dunia yang sebagian besar bersifat bermain,” begitu tuturnya. Oleh karena ini, semangat untuk tetap dolanan sambil membawakan cerita atau tema tertentu menjadi bagian yang terpisahkan dalam pentas-pentasnya. Tentu sangat bahagia, mengembangkan dolanan menghasilkan 14 medali emas untuk berbagai kategori penampilan, ditambah 5 emas bagi pekerja kreatif yang mendukung pertunjukan. Bangsa Indonesia menjadi harum melalui prestasinya itu.

Jose Rizal Manua lahir di Padang, 14 September 1954. Menikah dengan Nunum Raraswati, telah melahirkan lima anak berbakat. Si sulung Shakti Harimurti (26), misalnya, yang sejak kecil telah bermain dalam film layar lebar. Mungkin Anda masih ingat tokoh Imung sebagai detektif cilik (serial karya Arswendo Atmowiloto) yang pernah ditayangkan oleh TVRI, dialah Shakti, yang kini hampir menyelesaikan kuliahnya di IKJ. Sanca Khatulistiwa (22) telah pula bermain dalam beberapa sinetron. Sedangkan Nuansa Ayu Jawadwipa (18), Nusa Kalimasada (14), dan Niken Flora Rinjani (10) adalah para pemain teater berbakat. ”Padahal saya tidak memaksa mereka untuk mengikuti jejak saya. Semua itu merupakan keputusan mereka,” ujar Jose sebagai sang ayah.

Mengapa Jose begitu asyik menggarap bakat anak-anak polos itu? Tentu ada sejarahnya. Di tahun 1975, ia bersama seniman lain mendirikan Teater Adinda dengan anggota anak-anak usia 7-14 tahun. Prestasi sebagai juara pertama dalam kompetisi Festival Teater Anak-Anak se-DKI Jakarta diraih secara berturut-turut sejak 1978-1981. Karier Jose selanjutnya adalah menjadi sutradara untuk drama anak-anak Teater Legenda di TVRI tahun 1982-1986.

”Dalam melatih mereka, saya tak pernah melakukan intervensi. Justru dalam asyuknya mereka bermain, dengan sedikit arahan cerita, menjadi akting yang sangat kuat sebagai karakter diri mereka.” Begitu Jose mengisahkan caranya menjadi sutradara. Dengan kepiawaian itu ia justru tetap sederhana. Jose benar-benar merasa hidup dari dunia seni peran. Sesekali menjadi pemeran pembantu dalam beberapa film. Kerap kali menjadi kordinator atau pemandu acara yang diselenggarakan oleh Pusat Kesenian Jakarta. Selama ini, hampir 20 tahun, ia tetap menggunakan emperan Graha Bhakti Budaya (GBB) sebagai tempat mengajar dan anak-anak asuhannya berlatih teater.

Kesibukan yang lain adalah mengelola kios buku (dari bekas sampai buku baru) di sudut Graha Bhakti Budaya yang dimulai sejak 1996. ”Ini sebagai alternatif bagi para pemburu buku yang tak menemukan buruannya di toko buku umum.” Dengan kematangannya dalam dunia puisi (jangan lupa, Jose Rizal Manua juga seorang penyair) dan seni peran, Jose banyak diundang berbagai lembaga dan komunitas untuk ceramah, mengajar, pentas baca puisi, dewan juri, dan menjadi pembicara dalam seminar. Kekayaan pengalamannya itu dipetik melalui Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya (1975), Bengkel Teater Rendra (sejak 1977). Ia termasuk seniman dengan pergaulan yang luas, bermain untuk Teater Kecil Arifin C. Noer, juga dengan Teater Populer Teguh Karya. Bahkan pernah bergabung dengan kelompok Remy Sylado.

Dari hubungannya yang terbuka dengan semua tokoh teater, membuatnya cukup netral, diterima oleh semua pihak. Maka ketika muncul semacam konflik antara sekelompok sastrawan yang mencoba menggugat Teater Utan Kayu dengan sejumlah alasan (dominasi budaya, unsur kapitalisme, dan pemikiran Barat), ia tidak ingin turut campur. Barangkali Jose ingin memberikan sumbangsih bagi bangsa dan mencari jati dirinya melalui karya yang baik. Itu jejak yang lebih terpuji ketimbang menyerang atau membela kelompok yang masing-masing belum tentu benar dan salahnya.

Kesulitan dana masih sering menghadangnya setiap kali hendak berkompetisi di luar negeri. Itu lebih menjadi konsentrasi baginya, mengingat di tahun 2004 hampir batal mementaskan Bumi di Tangan Anak-Anak di Toyama, Jepang. Namun baru-baru ini, melalui prestasi Teater Tanah Air, Jose Rizal Manua menerima hadiah rumah seluas 130 m2 secara pribadi dari seorang pejabat. Ini benar-benar mengharukan bagi Jose yang tak pernah bermimpi mendapatkannya dari profesinya itu. ”Akan saya pergunakan sebagai perpustakaan,” ujarnya dengan mata berkaca. Kembali lagi, ia ingin membuat rumah itu bermanfaat sebagai jendela dunia.

Diam-diam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan perhatian khusus pada lelaki yang tetap memelihara rambutnya memanjang ke punggung dengan taburan uban. Setidaknya, ada harapan bahwa pemimpin negeri ini semakin jatuh cinta pada kesenian. Bukankah seni memperhalus budi dan perasaan? Jose Rizal tersenyum optimis.

(Kurnia Effendi)