Monday, August 27, 2007

Cindera Mata

Taj Mahal, makam agung di tepi tebing Sungai Jumna, ibarat sebuah cindera mata. Bukan hanya dari Maharaja Shah Jahan bagi sang Maharani  Mumtaz Mahal sebagai pertanda cinta nan agung, namun juga menjadi saksi sejarah yang dapat dilihat oleh banyak orang dari segala penjuru dunia. Bahkan menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia.

Banyak cindera mata dari pelbagai negara, baik yang dikunjungi maupun berkunjung ke Indonesia, di masa pemerintahan Soeharto. Mulai dari semungil biji berlian hingga sebesar miniatur kapal Tiongkok yang terbuat dari batu giok, terhampar di Museum Taman Mini Indonesia Indah. Kita bisa menyaksikan dari dekat, sebagian bisa disentuh. Cindera mata antarnegara umumnya mewakili sebuah adikarya tradisi dari masing-masing akar budaya masyarakatnya. Mewakili karakter sebuah bangsa.

Adakah cindera mata yang bermula dari dendam atau justru melahirkan dendam? Siapa yang tahu kedalaman hati manusia? Sebuah syarat yang disampaikan oleh Loro Jonggrang, misalnya, atas Bandung Bondowoso yang kesengsem jatuh dalam perasaan cinta yang mendalam pada putri pusar Pulau Jawa, adalah hal yang musykil untuk dilakukan. Membangun seribu candi dalam waktu semalam bagaikan sebuah dongeng yang nyata. Dengan mengikutsertakan kekuatan jin, “proyek” itu nyaris dituntaskan. Namun cindera mata yang menjadi semacam mas kawin itu hendak diingkari oleh Loro Jonggrang yang hatinya berpaling dari cinta Bandung Bondowoso. Kawin paksa itu tak boleh terjadi. Caranya? Sebuah taktik untuk berkhianat digelar.

Subuh pun pecah sebelum waktunya. Kobaran api tersembunyi yang menyemburatkan cahaya lembayung dini hari pada ufuk timur telah menipu pandangan seluruh ayam jantan di desa Prambanan. Mereka berkokok saling sahut. Taburan melati yang menyebar wangi ke seantero tanah perdikan membuat embun terkecoh. Ah, keduanya, Loro Jonggrang dan Bandung Bondowoso memang lajang-lajang sakti. Alam dibuat mereka sebagai arena “pertempuran” kepentingan. Maka gugurlah syarat itu oleh sebuah tipuan yang membuat amarah memuncak.

Di pengujung pagi, Loro Jonggrang menjadi bagian terakhir dari cindera mata yang telah menghabiskan energi semalam suntuk. Ia, putri cantik itu, mematung di relung salah satu candi tertinggi, menghuni penjara cinta yang hatinya tak terjamah lagi. Kita kini bisa melihat hikayat atau dongeng itu dari dekat. Menyentuh tubuh batu dingin itu dengan kepedihan asmara yang tak sampai muara. Di bawah ini saya tulis puisi tentang rasa sakit itu:

            Di mana terakhir kali Bandung Bondowoso berdiri sebelum luap amarah itu?       

Seribu batu kembali berserak, menukilkan bijih-bijih cinta yang entah kapan

            dipertautkan oleh tanah gembur untuk menjadi sebatang pohon bermahkota

            stupa. Ia tinggalkan kitab tanpa aksara, dan membiarkan akhir malam menjadi

            belantara tempat berdiam para raksasa.

 

            Bukankah tak pernah ada pagi dengan wangi rambut Loro Jonggrang yang

            basah oleh air keramas? Sebelum dibacakan mantera penghabisan, ada sejumlah

            air mata yang tak pernah diakuinya, mengalir menjadi sungai penyebab bencana.

            Ia hanya ingin meletakkan kekasihnya pada relung yang dapat dikunjunginya

            setiap abad, dengan cinta yang terlunta.

 

            Seribu batu kembali berserak, menghukumnya untuk tak saling bercakap.

            Dan dari kejauhan, sepasang mata yang sembap selalu mengintip kedatangan

            sang pangeran. Tak pernah berani menyapa, untuk mengingatkan:

            sesungguhnya kita kekal dalam asmara

Lalu seperti sebuah kutukan tak tertera, siapa pun pasangan yang memadu cinta di pelataran Prambanan, tak kan sampai pada pelaminan. Benarkah?

*

Bagaimana mungkin petaka Perang Bubat terjadi tanpa sebab? Lamaran Prabu Hayam Wuruk yang sedikit menyimpang dari adat sesungguhnya telah menerbitkan firasat buruk bagi keluarga Dyah Pitaloka, jauh sebelum keberangkatan rombongan ke Majapahit. Namun garis takdir harus dijalani sebagaimana terlukis pada rajah tangan. Perempuan cantik yang juga pintar atas asuhan sang paman itu akhirnya menyongsong nasib ke Trowulan. Apa yang terjadi?

Prabu Maharaja Linggabuana, ayahanda Dyah Pitaloka, masih memiliki dan siap mempertahankan harga diri ketika mendengar kenyataan bahwa putrinya diantar ke tlatah Majapahit sebagai upeti. Prakarsa Patih Gajah Mada itu membuat rencana indah pernikahan antar-kerajaan berubah “neraka”. Pecahlah perang di Bubat. Pecah pula persaudaraan yang sesungguhnya memiliki satu akar nenek moyang antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka, melalui darah titisan Prabu Darmasiksa. Dyah Pitaloka menjadi cindera mata yang terlampau mahal.

Cindera mata, atau melihat dari kata asalnya: cindur mato, tentu sebuah kenang-kenangan yang senantiasa enak dipandang. Prasasti yang tak terlupakan. Mari kita periksa “harta simpanan” istri atau suami yang masih menjadi memorabilia. Mungkin di antara ketulusannya mencintai kita, masih ada rongga kecil rahasia hatinya yang dibiarkan menyimpan cindera mata dari kekasih cinta pertamanya. Sekali lagi, siapa tahu kedalaman hati manusia? Ternyata cindera mata suatu saat bisa pula menjadi pusaka.

Namun demikian, cindera mata bisa juga ditafsir secara ringan. Benar-benar hanya sebagai oleh-oleh, buah tangan, yang dapat dialihkan kepada orang lain, atau semacam balasan ucapan terima kasih. Itu yang umumnya menjadi oleh-oleh bagi kehadiran kita pada undangan perkawinan teman atau kolega. Pada hampir semua sahabat yang suka berjalan-jalan, di dalam negeri maupun ke mancanegara, saya selalu meminta cindera mata: kartu pos. Apa uniknya? Entahlah. Mungkin karena ada banyak cerita tersimpan dalam sebuah kartu pos, sesederhana apa pun. Jadi, jangan lupa cindera mata buat saya ya.

(Kurnia Effendi)

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home