Thursday, August 09, 2007

Arsyad Indradi

Sosok dengan Rasa Trenyuh dan Kegilaannya

Saya ”temukan” lelaki seniman ini di Banjarmasin. Setelah mengenalnya hanya lewat koresponden yang sederhana, tiba-tiba saya mendapatkan sosoknya di lobi hotel tempat saya menginap. Kisahnya, melalui Isbedy Stiawan saya mendapatkan nomor kontak Micky Hidayat, penyair aktivis Taman Budaya Kalimantan Selatan. Setelah bertemu dengan panitia Kongres Cerpen Indonesia ke-4 itu, saya dijanjikan akan bertemu dengan Arsyad Indradi yang menjadi penggagas, penyunting, dan penerbit buku 142 Penyair Menuju Bulan.

Saat bertemu malam itu, saya dipeluknya hangat. Bagai dua orang saudara yang sempat terpisah jauh, dipenuhi kerinduan. Padahal malam itu pertemuan kami yang pertama. Sebelumnya hanya melalui perlawatan karya.

Dialah, Arsyad Indradi! Penyair yang nyaris mengabdikan hidupnya kepada keindahan puisi, tanpa berniat merengkuh duniawi. ”Saya sangat kaya, bung!” katanya dengan senyum yang selalu merekah di antara janggut lebat putihnya. Saya sedikit mengerutkan kening, sebelum ia melanjutkan: ”Batin saya sangat kaya, sahabat saya di mana-mana.”

Demikianlah, cara berpikirnya sangat sederhana. Lelaki yang lahir 31 Desember 1949 ini cukup ”gila” dengan menerbitkan antologi puisi 142 penyair Indonesia atas biaya sendiri. Dicetak 200 eksemplar dengan cara yang betul-betul indie: ketik sendiri, setting sendiri, cetak sendiri, desain kaver sendiri, dijilid sendiri.... Setelah jadi, 142 eksemplar dia kirimkan kepada masing-masing penyair, juga atas biaya sendiri. Selebihnya untuk sejumlah perpustakaan dan para sahabat.

”Lima belas juta rupiah,” jawabnya santai saat saya tanya modal yang harus dikeluarkan. Saya kira ini sebuah dedikasi luar biasa, tidak main-main, mengingat buku itu tidak dijual dan dia bukan orang yang berlimpah uang. Secara formal ia bekerja di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional, sebagai Pengawas Seni Budaya wilayah Banjarbaru.

”Saya punya komunitas, namanya Kelompok Studi Sastra Banjarbaru. Saya dirikan bertepatan dengan ulang tahun saya, di pengujung 2005.” katanya penuh semangat.

”Wah, hebat. Berapa anggotanya?”

”Tiga orang!”

Benar-benar ”gila”, saya rasa. Mungkin sikap militansi pada sastra yang membuat ia memilih bertiga saja. Kedua anggota yang dimaksud adalah Harie Insani Putra (anak angkatnya), dan Udan Nur (sahabat dan seniornya yang kini terserang stroke). Akan tetapi mereka selalu membuat semacam acara berkala yang menghimpun para kaum muda peminat sastra untuk sama-sama berlatih menulis puisi dan membaca puisi. Kadang-kadang berdiskusi tentang perkara sastra yang sedang hangat hingga larut malam.

Setiap ada kawan penyair atau cerpenis dari luar kota yang datang ke Banjarmasin, ia usahakan sepenuh hati untuk dapat menemuinya. Jiwa silaturahmi melekat padanya. Dan ia buktikan dengan meminta teman-teman dari pelbagai provinsi di Indonesia mengirimkan  puisi kepadanya, untuk dikumpulkan dalam satu bunga rampai yang tebal. Ketika Sutardji Calzoum Bachri ke Kota Baru Kalimantan Selatan, disempatkannya untuk minta satu-dua puisi. ”Saat itu,” kenangnya. ”Dia menulis puisinya dengan tangan. Dia hapal di luar kepala. Saya begitu senang karena Sutardji jarang mau diminta untuk bergabung dalam satu antologi dengan para penyair yang tidak semuanya senior.”

Saya percaya itu. Ingat Tonggak (I sampai IV), antologi puisi yang cukup lengkap mendokumentasi karya penyair Indonesia? Di sana tak ada puisi Sutardji. Tapi saya tak heran, karena Arsyad Indradi memang memancarkan aura kehangatan seorang sahabat. Hatinya lembut meskipun penampilannya boleh dicurigai sebagai tokoh ekstrim kanan.

Mari kita buktikan dengan percakapan saya dengannya mengenai situasi ”panas” antarkubu komunitas di Jakarta. Ada gerakan yang sedang menyerang ”dominasi” Komunitas Utan Kayu. Bagaimanapun ia sempat menjadi saksi saat hadir dalam acara Pekan Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri bulan Juli lalu.

”Bagiamana kesanmu terhadap suasana kenudayaan di Jakarta?”

”Sangat disesalkan sikap-sikap permusuhan itu. Kami datang dari daerah, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, untuk menghormati penyair besar Sutardji. Tetapi kawan-kawan di Jakarta justru tidak memberikan rasa hormat pada Sutardji. Pembacaan puisi mereka ditunggangi oleh ungkapan provokasi. Saya tahu ada pihak yang diserang, tapi seharusnya jangan di forum yang sakral itu. Saya tak tega, trenyuh dan hampir menangis, melihat Sutardji di antara penonton baris depan. Seharusnya ia menikmati pertunjukan yang indah.”

”Jadi apa harapanmu terhadap sastra dan para penyair Indonesia?”

“Janganlah kita memiliki jiwa yang kerdil. Berkarya saja yang bagus. Majukan seni sastra Indonesia. Sastra kita masih kalah kualitas dibanding negeri-negeri lain, jangan diperburuk dengan sikap yang kontraproduktif.”

”Jadi apa tujuan mengumpulkan puisi para penyair dalam satu buku?”

”Tentu untuk dokumentasi karya sekaligus persahabatan. Saya mengundang semua penyair yang cocok dengan batin saya.”

Rasanya hampir semua diundang, meskipun tidak seluruh yang mengirim tertampung dalam buku itu. Menurutnya, itu juga karena sejumlah puisi berada di bawah standar, bukan bermaksud menolaknya. Dengan kata lain, sahabat Arsyad begitu banyak dan tersebar di seluruh Nusantara.

Kegiatan sehari-hari selain sebagai pegawai negeri adalah mengajar sastra dan pengembangan diri untuk anak-anak SMP dan SMA secara ekstra kurikuler. Pergi ke mana-mana dengan sepeda motor dan topi yang setia menutup kepalanya. Usianya mungkin tergolong tidak muda lagi, tapi senantiasa tampak bugar. Mungkin karena selalu berpikir positif dan menyambut akrab setiap sastrawan yang ditemuinya.

”Jangan lupa, ditunggu kalian pada acara Kongres Cerpen Indonesia di Banjarmasin bulan Oktober nanti,” pesannya pada saya. Tapi sesungguhnya itu pesan kepada semua cerpenis Indonesia dan para pegiat sastra yang lain.

Arsyad Indradi, penyair yang tinggal di Jalan Pramuka no. 16 RT 03 / RW 09 Banjar Baru Utara, Kalimantan Selatan itu, memang selalu ingin terus memperkaya batinnya. Dari hari ke hari.

(Kurnia Effendi)

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home