Tanah Merdeka
Pagi itu di em
Kami semua menyanyikan lagu bersatu negeri
Pagi itu di kaki lima
Kami semua menyanyikan lagu bebasnya negeri
Di tanah merdeka ini, hitam tetap hitam
Di tanah merdeka ini, putih tetap putih
Janganlah kau cemas, ayo menyanyi
Pagi ini di sudut jalanan
Seorang gelandangan menyanyikan lagu bagimu negeri
Kita masih bisa melihat seorang lelaki troubador lebih separuh baya, 58 tahun, dengan setelan hitam menyandang gitar ke mana ia melangkah. Namanya Leo Iman Soekarno, namun akrab dipanggi Leo Kristi. Seorang ibu yang mencintainya memberi nama gitarnya ”Keris Sakti” yang kemu
Layar-layar di dermaga, telah tunggu, telah tunggu
Teguklah cangkir kopi terakhir, ucapkanlah selamat tinggal
Laut lepas kita pergi....
Ia, Leo Kristi, sangat mencintai laut. Mungkin karena pernah menyusuri pantai-pantai panjang Indonesia dengan rasa kasih tersendiri. Ia tak hanya menyapa sang nelayan namun lebur dalam kehidupan angin garam mereka. Ia menghayati makna yang tersurat maupun yang tersirat kehidupan keluarga para pelaut. Berangkat ke tengah samudera didorong angin darat. Terayun-ayun sepanjang malam dalam gelombang yang tak terduga. Pulang ke pantai saat fajar merekah memecah langit. Tapi suatu hari, nelayan muda tak pulang ke rumah.
Berbondong-bondong nelayan ke laut
Apakah yang terjadi aku tak tahu
Apakah yang terjadi hei, di situ
Kiranya nelayan muda kembali hanya perahu
Meninggalkan istri lama bersedih menunggu
”Lenggang-lenggung Badai Lautku”. Itu lagu pertama yang diperdengarkan bagi khalayak pada tahun 1975 melalui album Konser Rakyat Nyanyian Fajar. Selain senandung laut itu, ada ”Katia, Amanda, dan Aku”. Pada album berikutnya tercantum ”Nyanyian Pantai”, berikutnya lagi ”Gulagalugu Suara Nelayan”. Dan seterusnya, sampai yang simbolik: ”Layar Asmara”
Tetapi Leo Kristi juga mencintai tanah kelahirannya: Surabaya. Hampir seluruh keja
Menceritakan kesaksian Leo Kristi dalam rentang panjang usianya tak cukup semalam. Barangkali perlu bermalam-malam di bawah bintang salib. Ada yang harus dicermati secara mendalam ketika menunggu bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu. Ia tak pandai menyampaikan isyarat batinnya yang kaya secara spontan, apalagi di atas panggung. Tetapi lihatlah, bagaimana satu kakinya terpacak di atas separuh tong, mengentak seirama kibasan tangannya menyapu enam atau dua belas senar gitarnya. Mukanya tengadah dan suaranya membahana melantangkan semangat memuja pahlawan.
Ya, kisah kepahlawanan yang tak dikisahkan dalam lirik cengeng adalah satu hal yang tak terpisahkan dari jiwanya. Kita jarang bisa berterima kasih kepada para pendiri republik ini, para pejuang yang sungguh-sungguh menumpahkan darah untuk Bumi Pertiwi tanpa pamrih untuk menda
Dia saudaraku, dia saudaraku
Bernyanyi riang di ufuk fajar
Dalam tidur senja kini
Bersamanya bunga-bunga
Dengan tiga butir peluru di dada, di dada
Langit makin merah hitam...
Ayo, nyalakan api hatimu! Sambut dengan satu kata: Merdeka! Dan Leo Kristi selalu membuat kita membawa bara semangat, melangkah tegap dalam kepercayaan menyongsong hari depan, adalah sebuah mars yang menggetarkan:
Iringan bendera kemenangan
Berlalu gegap gempita
Menyongsong irama kakiku
Lelah kaki lima ibukota
Ada seribu matahari bersinar
Di antara silaunya aspal jalan
Kakiku terantuk batu-batu hitam tajam
Di seberang gembira lagu-lagu mars kemenangan
Aku teringat akan bapakku yang bersujud
Di dalam gelap gulita di sana
Dirgahayu, dirgahayu Indonesia Raya
Bukan berarti Leo Kristi hanya bisa berseru lantang. Ia juga menyurakan cinta yang mendayu. Cinta yang tulus terhadap ibu. ”Mutiara Pertiwi”. Cinta yang telah tiba sampai pada batas sakit. Sampai kaki-nini negeri ini. Oh, nenek. Oh, kakek. Ia, barangkali, tak peduli lagi dengan cara hidupnya. Sebuah arsitektur megah tentang cinta (kepada petani, pesinden, nelayan, guru tua, anak-anak jalanan) yang tidak lagi milik dirinya: ketika kesepian mulai menjemput. Melalui gersak-gersek daun-daun rontok. Di usia 58, ia terus melangkah. Kepercayaan pada esok dan lusa, aku suka. Dan entah di senja yang kesejuta, ia akan bisikkan di telinga kita, ”Kaki Langit Cintaku Berlabuh”
Lampu-lampu pelabuhan jelang dini
Berselimut kabut ...
Kapal-kapal mulai turun, mulai turun
Membongkar sauh
Laut kelam, kaki langit cintaku berlabuh
Di tanah merdeka ini, Indonesia, pada usia yang masih muda untuk sebuah negara, 62 tahun, siapa lagi yang akan sungguh-sungguh mengibarkan bendera? Siapa di antara kita yang masih berdaya menyanyikan Indonesia Raya? Bukankah kita telah banyak kehilangan? Kehilangan cinta pada budaya, kehilangan welas asih pada saudara, kehilangan harga diri bangsa. Tinggallah ku kini dalam sepi huk huk huk....
Namun Leo Kristi masih tetap ingin kita berdiri paling depan untuk merasakan tiap denyut nadi kebangsaan kita. Bangsa yang telah melampaui segala getir kehidupan dan kini masih harus ditindas oleh kemurkaan nafsu angkara. Tapi tak pernah dalam nyanyiannya, Leo Kristi menghujat. Ia semata hanya memotret. Hanya mengambil gambar sedih di tepi Kiara Condong lalu menyampaikannya pada seseorang yang hendak pergi ke kota esok pagi, mungkin melalui ketekunan roda pedati. Mari, dalam kemerdekaan yang tak semarak cahaya merkuri, kita tegak berdiri
Berjanjilah dalam janji
Di perjalanan semakin sukar ini
Berjanjilah dalam janji
Hati semakin tegar!
(Orasi Kurnia Effendi pada acara Senja Raya Indonesia Merdeka di MP Book Point, 18 Agustus 2007)
1 Comments:
coach outlet
ugg italia
prada handbags
coach outlet
hollister clothing
ed hardy clothing
gucci outlet online
ugg boots
canada goose jackets
christian louboutin uk
201612.24wengdongdong
Post a Comment
<< Home