Wednesday, August 15, 2007

CERMIN

APA yang begitu tampak wajib dibawa oleh perempuan ke mana pun mereka pergi? Cermin. Benarkah? Dompet perempuan kadang-kadang dilengkapi sbidang kecil cermin. Di dalam tas perempuan suka terdapat bedak yang dilengkapi cermin.

            Mari kita lihat perilaku mereka terhadap cermin. Di kamar mandi, sambil mengeringkan badan dengan handuk, perempuan akan menatap wajahnya di cermin. Dengan teliti diperiksanya pipi, hidung, kening, dagu, bibir, pelupuk mata, dan seterusnya. Mungkin ada jerawat di sana, atau kantung mata akibat kurang tidur. Siapa tahu kulit bibirnya pecah-pecah.

            Begitu selesai berbusana, seorang perempuan dengan berdiri atau duduk, akan menghadap cermin di meja rias. Bagian kepala, mulai rambut sampai leher, mendapatkan porsi perhatian yang tinggi. Semacam ritual dilakukan, mulai dari mengusapkan pelembab sampai akhirnya wajah itu berubah lebih cantik dengan seperangkat kosmetik.

            Jika ia seorang wanita karier, waktu paginya dipenuhi persiapan untuk berangkat ke kantor. Umumnya, mereka yang akan naik motor, bus Trans Jakarta, kereta api, angkutan kota, atau bajaj, sengaja membiarkan wajahnya belum terias. Mereka akan menyulap wajah aslinya menjadi wajah baru setiba di kantor. Polusi di jalan dan keringat akibat berdesakan dengan para penumpang lain akan merusak riasan yang dikerjakan di rumah. Selain boros juga dua kali kerja.

            Bagi mereka yang naik mobil pribadi, diantar sopir atau suami, sejak dari rumah sudah full make up. Tapi, perhatikan, sebelum ia turun dari mobil, ia akan memeriksa wajahnya melalui cermin kecil yang biasanya terdapat di balik pelindung surya mobil. Ia ingin meyakinkan bahwa wajahnya masih beres. Begitu turun, sebelum berpisah dengan mobil, masih juga sempat melihat bayangan tubuhnya di kaca dan badan mobil yang mengkilap, siapa tahu busananya terlihat berantakan. Di dalam lift, bila letak kantornya di lantai atas, perempuan masih mengambil kesempatan untuk melihat sosoknya di dinding cermin atau bidang stainless steel. Ia akan mematut diri sembari ngobrol dengan teman yang dikenalnya dalam satu kabin. Perempuan selalu harus yakin pada penampilannya. Mungkin itu kodrat. Pantas jika ada perempuan yang selebor dan abai terhadap dandanannya karena menganut ‘hukum’ praktis laki-laki disebut tomboy.

            Sesungguhnya kegiatan bercermin yang berulang-ulang pada perempuan itu tidak buruk. Justru para lelaki sebaiknya belajar dari kebiasaan itu. Mengapa demikian? Cermin, secara filisofis atau realitas, memang bertugas untuk menilai kita apa adanya. Ia memberikan umpan balik yang jujur. Dalam cermin akan tampak mata yang kuyu jika kita memang semalam begadang. Kumis yang beruban tak akan tampak dalam warna yang lain kecuali putih keperakan. Kita boleh bilang masih bergairah muda, tapi usia sebenarnya terlihat pada dua warna rambut itu.

            Jika penampilan kita begitu buruk dalam cermin, akankah kita belah sang pengilon yang jujur itu? Cermin merupakan sarana introspeksi. Cermin dalam arti luas bisa terletak di mana-mana. Saat lingkungan enggan menerima kehadiran kita, “cermin” itu sedang mengatakan bahwa ada sifat kita yang mungkin tercela. Seorang siswa yang tidak naik kelas, cerminnya berupa rapor dengan nilai-nilai di bawah standar.

            Seseorang yang selalu bercermin, dalam arti kiasan maupun sebenarnya, tentu akan tetap mengenali dirinya dengan baik. Hampir semua perempuan tahu persis sesuatu yang terjadi pada wajah dan tubuhnya, juga pada model pakaiannya. Belajar dari disiplin bercermin, maka setiap perubahan yang terjadi pada wajah dan perilaku segera kita sadari. Perbaikan untuk setiap kesalahan tak harus menunggu lama dan tak perlu harus orang lain mengingatkannya.

            Nah, cermin ternyata tak hanya datar, melainkan ada yang cekung dan cembung. Cermin cembung yang diletakkan di tikungan jalan bertujuan untuk mendapatkan pandangan yang lebih luas dan komprehensif. Sedangkan cermin cekung punya fungsi lain yang juga penting untuk tujuan tertentu. Pandangan distorsi orang lain terhadap kita kerap terjadi terutama di lingkungan pekerjaan. Saat itu yang bekerja adalah “cermin cekung“ atau “cermin cembung”. Namun demikian, cermin atau lensa selalu memiliki titik api. Sejauh atau sedekat apa kita bisa fokus dengan setiap pekerjaan, kualitasnya akan ternilai.

            Bagaimana dengan kisah seorang yang bercermin ke permukaan telaga dan menemukan wajah tampan yang membuatnya kagum bukan kepalang? Ia bernama Narcissus. Namanya kini dilekatkan pada orang-orang yang suka memuja diri sendiri, bukan lagi dalam hal ketampanan atau kecantikan, bahkan merembet ke hasil karya. Rasanya sah-sah saja, sepanjang secara umum diakui keunggulannya. Namun bila kebablasan, ia akan bertemu cermin yang lain, yang akan meletakkannya pada posisi arogansi.

            Dalam pergaulan yang mengandung unsur rasis, kita sering mendengar hinaan seperti ini: “Ngaca kamu, tak pantas melamar anakku!” Padahal tentu ada ucapan yang lebih baik dan “mencerminkan” martabat pengucapnya. Apalagi, cermin yang baik tak hanya memperlihat sosok kasat mata seseorang, melainkan membuka tabir yang tersembunyi: akhlak dan jalan pikirannya.

            Tapi, syukurlah kita bukan sejenis drakula atau vampir yang tak tertangkap oleh cermin. Mereka tentu kesulitan untuk mengetahui dirinya sendiri seperti apa, termasuk melihat taring yang sewaktu-waktu muncul di kedua ujung bibir. Lantas saya teringat syair lagu Leo Kristi:

            Kalau cermin tak lagi punya arti

            Pecahkan berkeping-keping!

            Kita berkaca di riak gelombang

            Dan sebut satu kata: hakku!

(Kurnia Effendi untuk Parle)

 

 

 

 

 

 

0 Comments:

Post a Comment

<< Home