CERMIN
APA yang begitu tampak wajib dibawa oleh perempuan ke mana pun mereka pergi? Cermin. Benarkah? Dompet perempuan kadang-kadang dilengkapi sbidang kecil cermin. Di dalam tas perempuan suka terda
Mari kita lihat perilaku mereka terhadap cermin. Di kamar mandi, sambil mengeringkan badan dengan handuk, perempuan akan menatap wajahnya di cermin. Dengan teliti diperiksanya pipi, hidung, kening, dagu, bibir, pelupuk mata, dan seterusnya. Mungkin ada jerawat di sana, atau kantung mata akibat kurang tidur. Siapa tahu kulit bibirnya pecah-pecah.
Begitu selesai berbusana, seorang perempuan dengan berdiri atau duduk, akan menghadap cermin di meja rias. Bagian kepala, mulai rambut sampai leher, menda
Jika ia seorang wanita karier, waktu paginya dipenuhi persiapan untuk berangkat ke kantor. Umumnya, mereka yang akan naik motor, bus Trans Jakarta, kereta api, angkutan kota, atau bajaj, sengaja membiarkan wajahnya belum terias. Mereka akan menyulap wajah aslinya menjadi wajah baru setiba di kantor. Polusi di jalan dan keringat akibat berdesakan dengan para penumpang lain akan merusak riasan yang dikerjakan di rumah. Selain boros juga dua kali kerja.
Bagi mereka yang naik mobil pribadi,
Sesungguhnya kegiatan bercermin yang berulang-ulang pada perempuan itu tidak buruk. Justru para lelaki sebaiknya belajar dari kebiasaan itu. Mengapa demikian? Cermin, secara filisofis atau realitas, memang bertugas untuk menilai kita apa adanya. Ia memberikan umpan balik yang jujur. Dalam cermin akan tampak mata yang kuyu jika kita memang semalam begadang. Kumis yang beruban tak akan tampak dalam warna yang lain kecuali putih keperakan. Kita boleh bilang masih bergairah muda, tapi usia sebenarnya terlihat pada dua warna rambut itu.
Jika penampilan kita begitu buruk dalam cermin, akankah kita belah sang pengilon yang jujur itu? Cermin merupakan sarana introspeksi. Cermin dalam arti luas bisa terletak di mana-mana. Saat lingkungan enggan menerima kehadiran kita, “cermin” itu sedang mengatakan bahwa ada sifat kita yang mungkin tercela. Seorang siswa yang tidak naik kelas, cerminnya berupa rapor dengan nilai-nilai di bawah standar.
Seseorang yang selalu bercermin, dalam arti kiasan maupun sebenarnya, tentu akan tetap mengenali dirinya dengan baik. Hampir semua perempuan tahu persis sesuatu yang terjadi pada wajah dan tubuhnya, juga pada model pakaiannya. Belajar dari disiplin bercermin, maka setiap perubahan yang terjadi pada wajah dan perilaku segera kita sadari. Perbaikan untuk setiap kesalahan tak harus menunggu lama dan tak perlu harus orang lain mengingatkannya.
Nah, cermin ternyata tak hanya datar, melainkan ada yang cekung dan cembung. Cermin cembung yang diletakkan di tikungan jalan bertujuan untuk menda
Bagaimana dengan kisah seorang yang bercermin ke permukaan telaga dan menemukan wajah tampan yang membuatnya kagum bukan kepalang? Ia bernama Narcissus. Namanya kini dilekatkan pada orang-orang yang suka memuja diri sendiri, bukan lagi dalam hal ketampanan atau kecantikan, bahkan merembet ke hasil karya. Rasanya sah-sah saja, sepanjang secara umum diakui keunggulannya. Namun bila kebablasan, ia akan bertemu cermin yang lain, yang akan meletakkannya pada posisi arogansi.
Dalam pergaulan yang mengandung unsur rasis, kita sering mendengar hinaan seperti ini: “Ngaca kamu, tak pantas melamar anakku!” Padahal tentu ada ucapan yang lebih baik dan “mencerminkan” martabat pengucapnya. Apalagi, cermin yang baik tak hanya memperlihat sosok kasat mata seseorang, melainkan membuka tabir yang tersembunyi: akhlak dan jalan pikirannya.
Tapi, syukurlah kita bukan sejenis drakula atau vampir yang tak tertangkap oleh cermin. Mereka tentu kesulitan untuk mengetahui dirinya sendiri seperti apa, termasuk melihat taring yang sewaktu-waktu muncul di kedua ujung bibir. Lantas saya teringat syair lagu Leo Kristi:
Kalau cermin tak lagi punya arti
Pecahkan berkeping-keping!
Kita berkaca di riak gelombang
Dan sebut satu kata: hakku!
(Kurnia Effendi untuk Parle)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home