Friday, August 24, 2007

"Senja Raya Indonesia Merdeka"

Dari Komunitas Leo Kristi:

            Pertemuan anggota komunitas milis secara off-line sebenarnya sudah biasa. Namun bagi Komunitas Leo Kristi yang menamakan diri para LKers mengandung femomena tersendiri. Mereka bernaung dalam sebuah kelompok mailing list dalam Yahoo Groups yang dipertautkan oleh kegemaran mereka terhadap lagu-lagu Leo Kristi.

            Tentu saja ada komunitas penggemar lagu-lagu Koes Plus, The Beatles, Iwan Fals, Slank yang menyebut diri Slankers, atau pecinta KLa sebagai Klanis. Adakah perbedaan di antara mereka? Sama-sama fans club, kelompok penggemar, tetapi yang menonjol pada para LKers ini justru rasa persaudaraan di antara mereka, di antara keluarga mereka.

            Untuk yang kesekian kali mereka melakukan kopi darat (pertemuan). Kali ini, seraya memperingati HUT Republik Indonesia, para miliser Leo Kristi saling berjumpa dan membuat acara bertajuk “Senja Raya Indonesia Merdeka.” Awalnya hanya bermaksud nyanyi-nyanyi lagu Leo Kristi sembari ngobrol melepas kangen, tetapi lantaran kegiatan tersebut diumumkan di sebuah media nasional, mendadak ingin serius. Maksud serius di sini, acara itu kemudian sengaja diramu dengan materi yang cukup “berisi”. Mereka tak hanya mau nyanyi dan berbincang, namun juga menyampaikan kesaksian atas peristiwa yang terjadi di Indonesia terkait dengan tema kemerdekaan, membaca cerpen dan puisi, juga menggelar talkshow.

            Anggota milis ini rata-rata angkatan 80-an. Tentu saja, karena lagu-lagu Leo Kristi berkumandang pertama kali tahun 1975, di saat para LKers ini masih remaja atau menjadi pelajar di pelbagai kota masa lalu. Keterpesonaan mereka terhadap (makna lirik yang puitis dari) lagu-lagu konser rakyat Leo Kristi yang banyak memotret Indonesia dari sudut-sudut paling rinci, membuat masing-masing memiliki sejarah. Para penggemar ‘akut’ ini tak terpetakan karena mereka berbeda dengan fans club yang menggandrungi band-band pop atau rock yang dapat dengan mudah ditemui di kota-kota besar. Kenyataannya, lantaran unik dan “eksklusif”nya tembang Leo Kristi yang tak mudah diterima oleh pendengar umumnya, hanya radio tertentu yang memperluas kepada khalayak. Dengan demikian, praktis jumlah pecinta nyanyian Leo Kristi yang bernama lengkap Leo Imam Soekarno ini sulit dilacak dan jumlahnya barangkali tidak banyak.

            Diprakarsai oleh Amir H. Daulay, beberapa tahun yang lalu, dibuatlah milis dengan semacam coba-coba. Rupanya tak gampang juga menjaring peserta karena kebanyakan yang diundang justru bertanya: “Siapa itu Leo Kristi?” Ada yang benar-benar tak kenal, ada juga yang pura-pura tak tahu. Namun singkat cerita, milis ini kemudian menyala seperti api unggun yang dikipas secara telaten. Barangkali tak lebih dari 100 orang anggotanya yang aktif, tetapi ini cukup membanggakan.

            Anggota LKer ini pada hari Sabtu, 18 Juli 2007 yang baru lalu, mulai jam 4 sore, melangsungkan acara di MP Book Point. Sekitar 30 orang anggota hadir, termasuk dari luar kota: Bandung, Wonosobo, Bangka-Belitung. Mereka seperti sebuah keluarga besar di luar rumah, melakukan silaturahmi dengan rasa kangen dan emosi tersendiri. Di antara mereka bahkan membawa anak dan istri, itu sebabnya komunitas ini sangat berbasis kekeluargaan. Sepertinya, selain memaknai karya yang sarat dengan napas kebangsaan dan cinta kehidupan rakyat, ada upaya untuk melestarikannya dengan “mewariskan” kepada generasi muda, anak-anak mereka.

            Di antara para anggota milis, memang ada yang tergolong belia, dan mungkin “terlambat” menikmati keindahan tembang dan lirik Leo Kristi. Mereka adalah Budhi Kurniawan (penyiar radio Utan Kayu 68H) dan Aki Sudrajat yang seolah mengikuti jejak sang troubadour dengan kegemarannya mengembara dan menciptakan lagu-lagu.

            Dibuka dengan pembacaan teks proklamasi oleh Setiyadi yang dianggap sebagai ketua komunitas, acara dilanjutkan dengan mengumandangkan sejumlah lagu Leo Kristi. “Nyanyian Tanah Merdeka”, “Jabat Tangan Erat-erat Saudaraku”, dan “Hitam-Putih”. Ketiganya bertema kemerekaan, sesuai dengan konteks pertemuan. Gamawan Waloeyo dan Dwiyatno menjadi gitaris andalan yang sangat piawai meniru gaya petikan Leo Kristi. Ending “Hitam-Putih” justru menjadi pembuka semacam orasi kebudayaan yang mengangkat tentang hubungan Leo Kristi dengan rasa cinta terhadap tanah air, kehidupan nelayan, perempuan baik sebagai ibu maupun  kekasih; yang ditulis oleh Kurnia Eeffendi.

            Demikianlah acara mengalir tanpa MC. Selang-seling antara bernyanyi, baca puisi dan cerpen oleh Yoosca Sakanti (membawakan cerpen “Pojok Kafe Simpanglima”), Henry Ismono (membawakan cerpen “Bendera” karya Maroeli Simbolon), Zhou Fuyuan (membacakan terjemahan puisi Tiongkok klasik) dibantu oleh Maria Bo Nio dari Wonosobo dan Dewi dari Bangka-Belitung, kesaksian oleh Abing Patrick dari Bangka Belitung, presentasi foto-foto perjalanan karya Henry Widjaja, dan pemutaran film dokumenter tentang para pendiri Republik koleksi Ramdan Malik. Rencana semula akan berakhir lepas maghrib akhirnya memanjang hingga 21.00. Bahkan, Setiyadi menciptakan acara dadakan: talkshow dengan gaya Tukul meskipun tidak saling cium pipi karena narasumbernya para lelaki, termasuk Amir H. Daulay sang pionir komunitas. Ya,  jika dituruti, mereka tak hendak menghentikan nyanyian dan obrolan. Tak terasa lebih dari dua puluh lagu berkumandang di teras kafe Saqi, MP Book Point.

            Dengan keakraban yang mengundang simpati kawan-kawan baru, Komunitas Leo Kristi berniat melakukan pertemuan serupa secara berkala tiap tiga bulan. Dengan tema yang bervariasi. Rencana paling dekat adalah Sabtu 10 Nopember 2007, di tempat yang sama. Pertemuan berikutnya itu akan diisi dengan diskusi tentang tema kepahlawanan yang banyak menghiasi album-album konser rakyat Leo Kristi. “Ruh Pahlawan dalam Lirik Leo Kristi”, demikian nama acara yang sementara dicuatkan. Sebenarnya mereka sudah kerap mengadakan perjumpaan, antara lain di Café Venecia, Taman Ismail Marzuki, juga pernah di pelataran rumput Kebon Binatang Ragunan. Tetapi kini merasa telah menemukan tempat yang fasilitasnya dapat memenuhi harapan untuk bernyanyi dan berbincang.

            Leo Kristi sendiri, sang troubadour yang menjadi idola, tak pernah turut serta dalam pertemuan itu. Seolah menempatkan dirinya sebagai artis yang memiliki jarak dengan penggemarnya, Hal itu tak membuat surut semangat para LKer untuk terus menghidupkan milis, karena perbincangan mereka menyangkut topik yang sangat luas. Mereka, dengan ragam bidang pekerjaan dan profesi, justru selalu menemukan bahan pembicaraan yang tak habis-habis. Dan yang unik, semua itu hanya dipertautkan oleh kegemaran yang sama: lagu-lagu Leo Kristi!

            Dirgahayu Indonesia Rayaadalah lagu resmi yang menutup acara Komunitas Leo Kristi. Gema panjang semangat mereka terngiang hingga ke rumah masing-masing.

(Kurnia Effendi)