Friday, August 10, 2007

MANFAAT (2)

Tuhan tidak menciptakan sesuatu yang mubazir. Pernyataan ini niscaya benar. Bahkan neraka pun berguna, diciptakan sebagai medium pencucian dosa sebelum si terhukum diangkat ke surga, melalui rentang waktu yang sesuai bilangan kekhilafan manusia, kecuali musyrik yang tak terampunkan. Namun demikian ada pula piranti untuk menyelamatkan diri sebelum jatuh terpuruk dalam kobaran api abadi itu, yakni permohonan ampun: taubat yang sungguh-sungguh.

Dengan demikian apa faedah dari setiap penyakit yang tumbuh di dunia ini? Boleh jadi untuk memaksa manusia berpikir mencari penolak atau obat penyembuhnya. Segala kesulitan yang muncul, baik oleh perangai alam maupun kecerobohan manusia, agaknya merupakan cara Tuhan melatih kita mengatasi masalah. Ukuran kualitas manusia pun kadang-kadang dinilai dari kemampuan mengolah problem untuk mendapatkan solusi. Cara itu kemudian diadopsi oleh manajemen sebuah perusahaan dalam menguji stafnya. Untuk naik ke peringkat yang lebih tinggi, seorang kepala cabang dikirim ke wilayah rawan dan sulit. Di sana ia bukan sedang dihukum, melainkan digali potensinya dengan pelbagai masalah. Cukupkah ia bermanfaat untuk memajukan perusahaan dengan tanggung jawab yang lebih berat?

Lahirnya profesi konsultan (untuk persoalan kesehatan, desain, psikologi, feng shui, pendidikan, atau rumah tangga), saya kira karena tidak semua orang mampu menghadapi masalahnya sendiri. Para konsultan itu ”dilahirkan” atau ”disiapkan” untuk kemanfaatan bagi yang membutuhkan. Tapi para konsultan itu juga pihak-pihak yang suatu ketika membutuhkan bantuan orang lain lagi dalam hal yang berbeda. Demikianlah, kemanfaatan seseorang jika dilatari dengan perasaan ikhlas, tidak semata untuk mendapatkan imbalan materi, mungkin akan menghasilkan dua hikmah sekaligus: pahala dan uang.

Siapa yang merasa sama sekali tak berguna hidup di dunia? Sedangkan cacing yang menjijikkan bagi kebanyakan orang pun ternyata punya kontribusi besar bagi kegemburan tanah dan para penggemar pemancing ikan. Seandainya banyak orang yang seolah hanya memenuhi Bumi tanpa karya yang cukup berarti bagi khalayak, itu sebenarnya kondisi yang dibuat sendiri. Jauh sebelum hari ini tentu banyak kesalahan langkah yang telah dibuatnya atau kemalasan yang disengaja sehingga waktu dan bahan yang disediakan Tuhan tidak direngkuh dengan cermat.

Pilihan-pilihan yang kita ambil dalam melangkah barangkali semula dianggap ringan dan sepele. Memilih sekolah seperti memutuskan mau belok ke mana ketika hendak parkir di halaman toko. Memilih pasangan hidup hanya, misalnya, mengandalkan blind date. Memilih mobil yang hendak dibeli hanya berdasarkan isu iklan yang mungkin mengelabui. Siapa yang salah? Bukan sekolah kita, bukan pasangan kita, bukan pula mobil yang telanjur dibeli itu, melainkan kita. Banyak di antara kita segera tergoda oleh bujuk rayu tawaran gaya hidup yang hanya diperoleh dengan taruhan detik. Setelah itu barulah kita ”menyesal” mengapa beli ini-itu yang tidak prioritas demi sebuah gengsi? Atasan saya pernah memberikan nasihat penting, persis sewaktu sebuah supermarket terkenal mengobral banyak barang elektronik dan home-appliances. Katanya: ”Belilah yang kamu perlukan saat ini, bukan beli yang saat ini harganya murah.” Maksudnya adalah membeli yang bermanfaat bagi kita.

Novel Mimpi-Mimpi Einstein karya Alan Lightman memberikan gambaran tentang jalan hidup manusia yang bermula dari keputusan pilihannya. Semua serbarelatif, tergantung pada hulu yang akan membuat serbaneka di hilir. Maka hati-hatilah kita menyikapi setiap keadaan. Ibarat main catur, langkah yang diambil haruslah berdasarkan pertimbangan matang. Pertimbangan itu kadang-kadang muncul dari orang yang pantas kita remehkan namun justru menyumbangkan manfaat yang akan berlangsung bertahun-tahun ke depan. Siapa yang tahu seorang tukang sayur menjadi inspirator bagi seorang Jaksa Agung juga memberikan manfaat spiritual bagi jabatan puncak itu? Ini tercermin melalui kisah nyata yang dihimpun dalam buku Sayur Emas oleh Sandiantoro.

Baiklah, sekarang saya hendak menyampaikan kisah yang mestinya telah didengar banyak orang. Di zaman dulu, ketika mendapatkan air segantang saja perlu turun ke mata air dan membawanya ke bukit tempat sekelompok orang tinggal, diperlukan lelaki atau perempuan yang tangguh. Dikisahkan seorang lelaki yang selalu mengangkut dua ember tergantung di kedua ujung pikulan. Pagi dan sore, berulang kali. Setiap ia turun ke lembah tempat air memancar dari celah bebatuan, ia membawa sepasang ember yang kosong. Ia akan kembali mendaki jalan setapak ke gubuknya di pinggang bukit dengan dua ember penuh air. Agaknya pada satu ember miliknya terdapat lubang yang membuat air menetes sepanjang perjalanan. Ia selalu tiba di rumah dengan hanya satu seperempat ember air.

Karena ini dongeng, bolehlah diceritakan percakapan dua ember itu. Si ember bocor merasa sedih dan mencurahkan isi hati kepada ember yang sanggup menjaga volume air sampai tempat tujuan. Katanya: ”Sungguh aku ember tak berguna, lihatlah apa yang kubawa sampai ke rumah tuanku?” Ember yang utuh itu ikut prihatin dan mencari akal untuk menghibur saudaranya itu. Maka dari ke hari, ember utuh itu berusaha mempelajari pemandangan sekitar yang mereka lalui bersama-sama. Diam-diam ia menemukan banyak perubahan dari hari ke hari yang seolah berjalan sangat alami hingga terlewatkan begitu saja. Apakah gerangan itu?

Di samping kanan dan kiri jalan setapak tumbuh rerumputan. Seingat ember utuh, di kedua sisi beberapa bulan yang lalu memiliki panorama yang sama. Namun lambat-laun terdapat perbedaan karena ada perubahan. Seingatnya, dulu, tidak ada pokok-pokok bunga yang tumbuh di sisi jalan setapak. Apa penyebabnya? Nah, rupanya, setiap kali pengangkut air itu berjalan, ada air yang menetes rutin dari si ember bocor. Tetesan air yang membasahi sisi jalan membuat biji-biji bunga yang terhampar di tanah itu tumbuh akar. Lama-kelamaan muncul pucuk daun mungil. Berhari-hari selanjutnya lahir batang ringkih yang terus disiram oleh tetes-tetes air sampai kemudian rimbun dan akhirnya memekarkan puspa.

Apa kata ember utuh itu kepada ember bocor? ”Jangan sedih, saudaraku. Sesungguhnya kamu telah sangat bermanfaat bagi kehidupan tetumbuhan. Lihatlah jalan setapak ini menjadi indah karena perdu bunga-bunga yang kautumbuhkan.”

Ah, ini hanya dongeng, yang mungkin sedikit bermanfaat.

(Kurnia Effendi, untuk Rehat Media Asuransi)

 

 

 

1 Comments:

Blogger Davidfern said...

cerita ember bagus untuk inspirasi hidup. trims untuk ceritanya. :)

5:56 PM  

Post a Comment

<< Home