Saturday, May 27, 2006

Dua Peristiwa Lalu

Mengenang QB Plangi:

Diskusi Buku "ZAHIR" Karya Paulo Cuelho
di QB Plaza Semanggi

(7 April 2006)

Tanggal 7 April mengingatkan saya akan judul lagu Fariz RM dalam album "Trapesium" SYMPHONY Band tahun 1982, yang berjudul April 7. Liriknya ditulis oleh Jimmy Paais, mengisahkan tentang pacaran yang kelewat batas, dan pada tanggal 7 April terjadilah...

Tetapi tanggal 7 April 2006 (malam kedua pertunjukan Rendra di TIM), saya terpikat undangan yang dilayangkan oleh Reader Digest, diskusi novel Zahir karya Paulo Coelho yang akan berlangsung di QB world Book Plaza Semanggi. Kebetulan saya, beberapa hari sebelumnya, menerima Matabaca edisi April yang membahas tuntas tentang pengarang fenomenal itu.

Siang sepulang dari kunjungan showroom Suzuki, saya sms Hetih Rusli, memastikan apakah dia datang dalam acara itu. "Tentu datang dong. Perca datang gak?" balasnya. Kubilang: "Konon Endah akan datang," Kemudian, rupanya, mereka berdua saling berkomunikasi. Itu saya ketahui saat Endah mampir ke kantor saya untuk berangkat bersama ke Plaza Semanggi. Dan perjalanan ke sana, melalui jalur Casablanca, luar biasa macet. Tumben. Mungkin karena menjelang long week end.

Tentu saja, kami terlambat. Saling melambai dengan Hetih yang sedang bercakap di sisi resepsionis. Rupanya acara sudah bermula. Pembicaranya seorang perempuan cantik berjilbab didampingi seorang moderator yang juga perempuan cantik (tapi tidak berjilbab). Ketika mendapatkan copy makalah yang sedang dibahas, terbaca nama: Santi Indra Astuti. Siapakah dia? Saya terus terang tidak kenal. Tetapi Endah seperti teringat sesuatu. Nah, itu dia! Rupanya Mbak Santi adalah isteri dari Krisna Danuaji alias Gangsar Sukrisna (atau Sukriswan?) orang penting di Penerbit Bentang Pustaka.

Santi begitu fasih membahas Zahir. Yang paling menarik buat saya, Zahir membicarakan cinta. Zahir yang memiliki arti : wujud, nyata, mengada, adalah cinta yang mewakili seluruh perasaan manusia. Saya pikir tadinya Santi adalah seorang psikolog, yang begitu piawai dan lancar mengutarakan setiap inci perasaan seseorang yang mencintai dan dicintai. Ketika pasangan suami-isteri telah memiliki anak, perasaan cinta itu meluas. "Zahir saya sekarang mungkin adalah anak-anak saya." Begitu katanya. Dan itu dibenarkan melalui sharing pengalaman Pak Nung Atasana (marketing penerbit Gramedia Pustaka Utama). Pak Nung mengaku pernah merasa sepi padahal sedang berdua dengan isteri (perkawinannya telah menginjak usia ke 26, melampaui kawin perak), sementara ketika dia kehilangan komunikasi dengan anaknya, saat terpisah lantai di Plaza Semanggi, karena sang anak dihipnotis dan handphone-nya berpindah kepada si penjahat, luar biasa rasa cemas dan kehilangannya. Jadi, benarkah ego kita telah berkembang, sehingga posesif itu tidak hanya melingkari sang isteri (atau suami), melainkan sudah merengkuh kepada anak-anak kita?

Sebenarnya, kata Santi menanggapi reaksi pertanyaan salah seorang penyimak, Paulo Coelho mempertanyakan makna cinta, terutama keharmonisan pada perkawinan, dalam buku itu. Apakah pasangan cinta yang harmonis adalah cipika-cipiki menjelang pergi ke kantor pagi hari, candle-light dinner setiap malam minggu... bukankah kemudian akan menjadi rutin dan 'membosankan'? Ritual yang kemudian menjadi artifisial jika akhirnya kehilangan makna. Bahkan yang sesungguhnya terasakan, sebuah cinta baru bermakna atau mewujud di saat kita kehilangan. Seperti keberadaan sepasang tangan kita yang dianggap biasa-biasa saja. Namun begitu satu direnggut putus, mungkin baru terasa bahwa tangan kanan atau kiri kita itu begitu besar gunanya...

Seperti biasa, acara diskusi yang begitu efektif dan mengalir lancar dengan pembahas yang menguasai masalah dan moderator yang lincah memancing reaksi di sana-sini mengenai isi buku Zahir, diakhiri dengan doorprize. Yang dibagikan oleh penerbit Gramedia (acara ini kerjasama antara Reader Digest, Gramedia, dan QB) adalah buku-buku karya Paulo Coelho. Antara lain Sang Alkemis, Gunung Kelima, Di tepi Sungai Piedra. Demikianlah, 55 orang di café QB merasa terpuaskan, termasuk oleh kudapan berupa lemper dan risoles. Karena Hetih sudah pamit duluan, kami tidak lagi bisa berbincang. Yang kemudian kami buru adalah: Santi Indra Astuti.

Mula-mula Endah yang nyelonong maju, memperkenalkan diri, dan kudengar antarmereka saling "ah" dan "oh". Mungkin merasa telah saling kenal nama tetapi baru bertemu muka saat ini. Lalu saya dipanggil untuk bergabung. Ketika saya perkenalkan nama, Santi pun mengucap: "Ooooh..." Tentu saya berdebar, jangan-jangan yang tersisip di pikirannya saat mendengar nama saya adalah sesuatu yang negatif. "Mas Kris suka cerita, katanya: pokoknya habis ini..." Wah, apa maksudnya? Biarlah itu berkumandang sebagai sipongang yang tak perlu saya terka maknanya.

"Jadi sebenarnya tinggal di mana? Kok makalah ini ditulis di Bandung?" Tanya saya. Rupanya Santi mengajar Komunikasi di Unisba (Universitas Islam Bandung), jadi separuh minggunya berada di Bandung, separuh lainnya di Yogya. Dan sebagai editor lepas penerbit Serambi, tentu kadang-kadang berada di Jakarta. Dengan Mas Kris, dia telah bersepakat untuk gantian pergi, agar anak-anak tetap ada yang menjaga. Apakah ini bentuk pengejawantahan dari Zahir?

Tepat setengah sepuluh kami meninggalkan QB Plaza Semanggi. Karena Endah memang janjian dengan teman sekaligus tetangganya, Dina, di acara itu, maka kami berpisah. Saya meluncur sendiri ke rumah. Mencari Zahir saya. Ya, Zahir... Hernadi Tanzil telah menulis resensinya dengan baik di Koran Tempo beberapa waktu lalu.

Peluncuran Buku "KAMI DAN KITA" Karya Fuad Hasan
di Toko Buku AKSARA - Kemang

(11 April 2006)

Sejak tanggal 28 Maret 2006, seusai acara peluncuran buku puisi "Kusampaikan" Lintang Sugianto di Omah Sendok, saya diundang oleh Bagus Takwin (Aten) agar hadir pada acara launching buku Pak Fuad Hasan di Aksara Kemang tanggal 11 April 2006. Serta-merta saya bilang ke Mbak Ely, "Wah, tampaknya bertepatan dengan jadwal acara berkala di Selasar Omah." Tapi Aten mengklaim, bahwa undangannya telah 'terkirim' lebih dulu.

Suatu petang menjelang, dua atau tiga hari sebelum 11 April, masuk sms yang nomornya tak termemori dalam ponsel saya. "Mas Kef, ini Olivia dari Bunga Matahari. Tukeran buku yuk? Saya sudah membaca satu cerpen di buku pertama Mas Kef, kesan saya: sehalus sutera..." Terus terang saya gemetar girang. Ternyata saya masih suka dipuji - yang moga-moga bukan basa-basi. Tentu segera saya jawab: "Aduh senangnya disapa oleh penyair cantik. Oliv mau buku yang mana?" Begitulah, komunikasi itu bersambung beberapa kali, dan Olivia merasa menyesal tidak sempat tahu saya hadir di ulang tahun Koran Tempo. Padahal sayalah yang bersalah, kenapa tidak menyapanya waktu melihatnya di lobi bersama dengan Feby Indirani.

Akhirnya kami janji bertemu di Aksara Kemang, setelah saya sampaikan bahwa pada tanggal 11 ada acara di sana. Hujan deras mengguyur Jakarta sejak pukul dua siang. Saya sudah cemas andai hujan terus berlangsung. Oliv mengkonfirmasi akan hadir di Aksara. Saya pun berangkat setelah maghrib, seraya mendengarkan berita di radio tentang macet di sana-sini, sementara perjalanan saya begitu lancar ke arah Bangka.

Saya tiba dengan agak sangsi, karena nama Aksara begitu mungil terpampang di pylon. Diapit huruf yang lebih mencolok: News Café dan Krosno Duty Free di kanan dan kiri took buku itu. Rasanya Mbak Laksmi Pamuncak mesti mengubahnya menjadi lebih besar. Untunglah rak-rak yang menampilkan buku-buku itu terlihat jelas dari luar melalui kaca-kaca lebar. Begitu tiba di ruang diskusi, saya temukan Bagus Takwin dan Silvy (kekasihnya). Sudah ada Pak Fuad Hasan dan Ibu Toeti Herati yang juga baru tiba. Sambil mengambil cemilan ala Amerika, saya menyapa Dewi Lestari yang sedang menyeruput kopi sambil berdiri. Ia mengaku dating sendiri (tanpa Marcel, maksud saya). Lantas saya duduk. Mata saya menyeputar, dan meneukan Eric Sasono (kritikus film) juga Baby James Aditya (sang aktivis untuk penderita HIV Aids).

Agaknya suasana yang karib itu sengaja dibangun melalui coffee break dulu. Masing-masing bergerombol dalam kelompok kecil, bicara ini dan itu. Saya sms Olivia, memberitahu keberadaan saya.

Jam setengah delapan, acara diskusi dengan pembicara Ibu Toeti Herati dibuka oleh sang moderator, Drs. Sigit. Lantas Pak Fuad diberi kesempatan biacara terlebih dahulu. Ia sampaikan bahwa bukunya ini merupakan hasil tesisnya di tahun 1967 dan pernah diterbitkan sekitar 40 tahun lalu dalam bahasa Indonesia. Sekarang, oleh penerbit Winoka yang bekerjasama dengan Aksara, naskah itu diterbitkan kembali dalam bahasa Inggris. Namun demikian judulnya tetap "Kami and Kita". Dicium dari gelagatnya, karena Pak Fuad alumnis psikologi, tentu mengandung unsure psikologi dan filsafat. Dan memang benar.

Bahwa Kita adalah sebuah kebersamaan yang melibatkan semua pihak dan merupakan transcendental keKamian. Sedangkan Kami selalu menyisihkan salah satu pihak agar tak terengkuh dalam keKitaan. Pak Fuad merasa yakin, seperti dalam tesisnya, bahwa tak ada seorang pun benar-benar sendirian. Seseorang akan memerlukan orang lain, atau sesuatu yang lain, dalam hidupnya. Bahkan ketika seseorang berusaha menyendiri, dia akan menemukan sesuatu yang lain: misalnya tuhan, hantu, atau... Sebagi contoh adalah Nietsche yang menyepi ke gunung Alpen, namun justru melahirkan "Demikian Sabda Zarathrusta" (benarkah nulisnya demikian?) yang secara megalomania dia maklumkan sebagai karya terbaik sepanjang sejarah, bahkan jika dibandingkan dengan seluruh karya manusia di bumi yang digabung menjadi satu. (Tentu ia kemudian menjadi penghuni rumah sakit jiwa).

Sementara Toeti Herati, yang lulus psikologi tahun 1962, pernah diuji oleh Pak Fuad Hasan. Rasanya ini menjadi pertemuan antara dosen dan mahasiswa, atau antara pengagum dan idola. Di tengah diskusi itu, saya melihat Olivia sudah datang tapi sengaja berdiri di belakang.

Saya bangkit dari kursi dan menghampirinya, lalu mencari tempat ngobrol di ruang baca anak-anak. Di situlah kami saling bertular buku. Olivia menghadiahi saya sebuah buku kumpulan puisi Olivia Kristina Sinaga yang bertajuk: RAIU. Dan dengan senang hati saya serahkan "Senapan Cinta" kepadanya. Obrolan berlanjut seru, karena pada dasarnya saya selalu kagum dengan kaum muda yang kreatif dan mau 'berkorban' demi sastra. Tak lama kemudian, Dee bergabung ke ruangan itu bersama dua orang yang sedang menggunjing masalah kebudayaan. Selanjutnya bergabung pula Bernadetta (saya ingat, dia yang pegang mike ke sana kemari melayani peserta yang hendak bertanya pada diskusi "Zahir"). Benar, dia berkalung name-tag Reader Digest. Dan ternyata, dia adalah pengarang teenlit "Superstar" yang diterbitkan oleh C Publishing. Jadi dia kenal Mas Kris Bentang, tentu, dan terasa ada hubungan dengan: kenapa pembicara Zahir adalah Santi?

Seperti biasa, kami (Olivia, Bernadetta, dan Dewi Lestari, juga saya) berfoto, sebelum kami jeda untuk ambil kopi. Saat saya, Oliv, Detta, kembali ke ruang baca anak dan minum seraya melanjutkan perbincangan, tampaklah Sihar Ramses Simatupang dan Yusi Avianto Pareanom. Segera saya bajak mereka untuk bergabung sebelum duduk di kursi diskusi. Di ruang itu, ruang baca anak-anak, Yusi mengeluarkan dua buah calon buku dari tasnya. Minta pendapat pada kami. Tentu kami mendukung tujuan-tujuan mulia itu...

Peristiwa bubar pukul 21.15. Saya masih sempat memotret Pak Fuad yang sedang sibuk diwawancara oleh banyak media. Kami pamitan pada Aten Bagus Takwin, yang agaknya menjadi seksi sibuk pada acara ini. Sampai di luar took buku Aksara, saya usulkan agar Olivia ikut saya saja karena jalan kami searah. Seharusnya: jalan "kita" ya? Atau Kami dan Kita? Ah, itu judul buku Pak Fuad Hasan yang sampulnya indah sekali.

Begitulah, kami meluncur pulang. Hujan telah sepenuhnya reda. Tapi Olivia bilang, bahwa ibunya masih di gereja Cikini (seberang TIM, di belakang restoran AHA) yang atapnya ambruk karena entah oleh angina atau pohon tumbang. Perjalanan kami sempat memutar ke Senopati, lalu teringat Omah Sendok. Bukankah seharusnya Selasa malam ini ada acara juga di sana?

Setelah Olivia, penyair muda cantik yang bersemangat itu (bukunya diendorsement oleh Seno Gumira Ajidarma, Rieke Dyah Pitaloka, dan Jose Rizal Manua), turun di depan Gelael Tebet - "Tinggal jalan kaki sedikit," katanya - saya melanjutkan perjalanan ke Jakarta Timur. Sambil mengirim sms ke Akmal Nasery Basral dan Ely: "Apakah di Omah Sendok malam ini ada acara? Saya tidak melihat pengumuman di milis." Hampir secara bersamaan mereka menjawab, yang intinya: "Libur dulu, pengumuman ada di milis Selasar Omah."

Ya, jeda itu perlu. Seperti juga tulisan ini, sudah saatnya jeda. Sampai ketemu di "Peristiwa" yang lain.

Salam,
Kurnia Effendi

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Mungkin...bukan mungkin lagi..pasti komentar saya ini terlambat. Saya baru membaca zahir dan sudah 80% membacanya. SEpanjang perjalanan membaca Zahir saya melihat Cuelho justru membahas tentang freedom. Rasa cinta yang terwujud dalam berbagai bentuk telah membuat zahir dan kita kehilangan sebagian dari kemerdekaan. Apakah saya salah membaca?

5:16 PM  
Blogger ... said...

Cinta memang tidak akan pernah selesai untuk dikupas secara memuaskan.

salam kenal Mas Kurnia.

B.

7:42 AM  
Blogger chenlina said...

chenlina20150627
www.louisvuitton.com
gucci outlet online
michael kors
cheap jerseys wholesale
louis vuitton outlet
louboutin
chanel handbags
michael kors handbags
prada
louboutin shoes
celine outlet
coach outlet
burberry bags
timberland boots
hermes birkin
chanel handbags
louis vuitton
mont blanc mountain
ray ban sunglasses
louis vuitton outlet
abercrombie fitch
louis vuitton outlet
lululemon
hollister jeans
ncaa jerseys
jordan 11 columbia
michael kors uk
true religion
louis vuitton outlet
michael kors handbags
christian louboutin sale
coach outlet online
christian louboutin outlet
ray ban glasses
louis vuitton handbags
pandora uk
michael kors outlet
cheap oakley sunglasses
oakley sunglasses wholesale
michael kors

4:23 PM  

Post a Comment

<< Home