Cerita di Koran Tempo 30 April 2006
Kamar Anjing
Cerpen: Kurnia Effendi
TIGA tahun silam aku bertandang ke rumah Aditya untuk pertama kali. Sore itu, mula-mula aku bersepeda ke taman sekolah, seraya mendapatkan Palupi di sana. Aku mulai hafal, dara manis itu setiap hari Senin dan Kamis sore mengambil les Matematika. Rasanya ingin berpura-pura tak sengaja memergokinya keluar dari kelas. Berharap ia bersedia kubonceng menuju ke rumahnya. Sejauh apa pun.
Sore itu aku melihat Adit, yang bukan teman sebangku, juga ada di sana. Seketika ada desir cemburu memberangus aliran darahku. Kulihat sepedanya lebih bagus dibanding milikku. Itu membuat perasaanku sedikit sedih.
"Hai!" sapaku. Sambil tersenyum, menduga-duga.
"Kris!" Adit membalas, lalu mendekat. "Menunggu siapa?"
"Tidak menunggu siapa pun." Aku tidak ingin tersipu, apalagi gugup. "Iseng saja. Kamu sering ke taman ini?"
"Kadang-kadang saja. Lebih kerap berkeliling ke Balai Kota. "
"Tiap sore?"
"Tidak juga." Adit sedikit tersenyum. "Mau menemani? Sekarang?"
Aku bimbang. Sebentar lagi waktu les berakhir. Tapi belum tentu beruntung bisa bercakap-cakap dengan kembang SMP itu. Sebetulnya tak pernah ada janji dengan gadis itu. Serta-merta kuputuskan menemani Adit. "Ayolah!"
Selanjutnya roda sepeda kami menggelinding menyusuri jalan aspal. Di bawah naungan rimbun jajaran pohon asam keranji. Berbincang seperti sahabat lama. Tak terasa aku mengiringi Adit sampai ke halaman rumahnya. Dia mengajakku singgah dan berkenalan dengan orang tuanya.
Saat bertemu dengan ayahnya, aku agak terperanjat.
"Krisna, teman Aditya." Aku mengulurkan tangan.
"Sentot. Ayah Adit." Senyumnya terkembang. Senyum yang khas. Senyum jenaka yang amat kukenal. "Mari masuk."
"Pak Sentot yang punya..."
"Aha, kamu penggemar Chocky?" Senyum Pak Sentot melebar. Terasa ada kebahagiaan. "Kamu masih ingat rupanya? Bukankah sudah lama berlalu."
Aku mengangguk tanpa melepaskan pandangan kagum. Ternyata Adit anak orang terkenal! Sentot Karyoto itu pemilik boneka Chocky yang bisa 'bicara'. Boneka yang memiliki gerakan indah pada kepala dan rahang saat 'berbicara'. Semula aku terkecoh dengan permainan itu: dialog antara Chocky dan Pak Sentot yang menjalin dongeng atau petuah bagi anak-anak. Akhirnya aku tahu, yang diucapkan Chocky juga suara Pak Sentot, yang dikeluarkan melalui perut tanpa terlihat menggerakkan bibir. Ajaib!
Tanganku ditarik Adit, seolah aku anaknya yang membangkang dan bertahan di depan segugus mainan menarik. Aku diseret gegas menuju ke kamarnya di bagian belakang rumah. Sebelum aku bicara satu-dua hal tentang ayahnya, di meja telah dihamparkan berpuluh komik terbitan Marvel. Mataku berbinar tanpa sadar. Menyenangkan juga terdampar di kamar ini! Mengapa tidak sejak dulu?
Saat pamit, matahari sudah tak tampak lagi. Senja hampir menjadi malam. Di pintu pagar kusempatkan bertanya kepada Adit: "Aku ingin melihat langsung ayahmu memainkan boneka Chocky..."
Adit hanya mendengus tanpa terlihat bangga. Lalu tangannya melambai seperti mengusirku. Aku pun meluncur dengan sepedaku meninggalkan halaman rumah Adit, tanpa merasa tersinggung. Karena hari mulai gelap. Aku ingin segera tiba di rumah, ingin lekas membaca dua buah komik yang kupinjam.
***
"TAHUKAH kalian? Ternyata ayah Adit itu pengisi acara..."
"Hus! Jangan banyak omong!" Sebuah tangan membekap mulutku. Tangan Adit. Tangan yang lebarnya sanggup memenuhi wajahku. Teman-teman yang berkerumun di depan kelas tertawa-tawa melihatku megap-megap. "Ayo, aku lihat pekerjaan rumahmu! Nomor delapan!"
Aku diseret ke dalam kelas. Lalu kubongkar tas dan kuberikan buku Matematika. Tapi ternyata ia tak sungguh-sungguh hendak menyalin. Ia hanya ingin menjauhkan diriku dari teman-teman, terutama karena terlontar kata-kataku tentang pekerjaan ayahnya.
"Pulang sekolah kamu mau ke mana?" tanya Adit serius.
"Ke mana? Tentu saja pulang."
"Di belakang sekolah kita, tebu-tebu sedang dipanen. Kita ke ana yuk! Kamu mau menemani?"
Aku mengangguk setuju. Setahuku, jika kita minta tebu dan makan di tempat, para mandor penjaga itu tidak keberatan. Tengah hari itu, kami berlari di atas pematang sambil sesekali jatuh ke tanah retak bekas ditanami tebu. Ada serangkai lori, kereta tebu, yang memanjang di atas rel ukuran mini. Para penebang tebu sedang sibuk mengikat lonjoran-lonjoran yang telah memenuhi beberapa gerobak besi itu.
Tapi ternyata, Adit tidak serakus yang kubayangkan. Kami baru makan sebatang tebu berdua, memeras air manis itu dengan mengunyah batang yang dikupas oleh gigi. Cairan manis beraroma harum itu mengalir dari serat yang menyerpih ke tenggorokan, mengalihkan panas mentari yang menyengat. Lalu Adit mengajakku duduk di atas tumpukan batang tebu di sisi pematang.
"Kamu suka Chocky?" tanyanya tiba-tiba.
"Hm... ya dulu suka. Tapi aku sekarang bukan anak kecil lagi."
"Kalau begitu, Chocy hanya cocok untuk anak kecil?"
Aku ragu mau menjawab. Tapi sejak semula aku ingin jujur kepadanya.
"Mestinya begitu. Kalau sudah seusia kita, rasanya sulit memercayai percakapan dua orang yang sebenarnya hanya satu." Kataku. "Menurutmu bagaimana?"
Adit menggeleng. Tapi tampak wajahnya keruh. Seperti orang marah.
"Kamu tampaknya tidak menyukai Chocky. Kita cari gelagah saja. Kita bikin mainan dari batang bunga tebu itu. Kamu tahu caranya?"
"Kamu tahu, berapa umur Chocky?" tanyanya tak perduli dengan usulku.
"Wah, mana kutahu? Apakah dia juga tumbuh seperti manusia?" Aku hampir takjub mendengar pertanyaannya.
"Dia seumur denganku. Empat belas tahun!"
Aku tertawa. "jangan-jangan dia juga disunat seperti kamu."
Kepala Adit tertunduk. Membuat aku menyesal menanggapinya dengan bercanda.
"Begitu aku lahir, ayahku membuat boneka itu." Adit bergumam.
Aku pun memandangnya dengan serius. "Apakah bermaksud membuat mainan untukmu?"
"Tidak. Ia menganggap Chocky sebagai diriku yang lain..."
"Maksudmu?"
"Setiap kali ia memainkan Chocky di televisi, ia menganggap sedang bermain denganku. Bercakap-cakap denganku."
"Wah, asyik sekali!" ujarku iri.
"Mulanya demikian. Ibuku menganggapnya lucu. Karena ibu sering keguguran, dan aku dianggap anak kesayangan."
"Siapa lebih dulu pandai bicara? Kamu atau Chocky?"
"Tentu saja Chocky lebih dulu bisa ngomong, karena yang bersuara ayahku. Sebelum aku betul-betul mampu diajak bercakap-cakap, ia bercanda dengan Chocky. Dan ia melihat Chocky sebagai aku."
"Luar biasa." Desisku tak sengaja.
"Tidak, bodoh!" Adit menolak. Membuat aku terperanjat. "Karena aku seperti bukan anaknya, tetapi bonekanya. Sedangkan Chocky menjadi anaknya."
"Kenapa begitu?"
"Karena Chocky yang cari uang, kata ayahku. Aku harus berterima kasih kepada Chocky."
Aku tak sepenuhnya mengerti waktu itu. Aku tentu tak dapat memahami perasaan Chocky. Maaf, maksudku perasaan Adit.
Tiba-tiba langit berubah mendung. Ada sepercik cahaya petir yang membuat kami gentar dan segera menutup percakapan untuk sepakat bergegas pulang. Kami berlari-lari kembali sepanjang pematang menuju ke jalan raya, lalu masing-masing menyusuri jalan pulang. Sesaat seperti ada perjanjian, kami akan menjadi sahabat. Aku sedikit yakin, bahwa Adit tidak menceritakan hal itu kepada teman lain.
***
TETAPI mengapa Adit tidak jujur kepadaku?
Sebenarnya itu hanya menyangkut kamar anjing di rumahnya yang tak pernah dijelaskan isi di dalamnya. Atau mungkin aku terlampau bodoh dengan pertanyaan itu. Kamar anjing tentu berisi seekor - atau lebih - anjing. Seperti juga kamar jenazah untuk menyimpan bekas tubuh yang sudah kehilangan ruh.
Akan tetapi, kamar anjing di rumah Adit agak mengherankan bagiku karena memiliki pintu kayu yang tertutup rapat. Bagaimana makhluk lucu - atau mungkin seram - itu dapat bernafas jika tinggal di dalamnya? Sudahlah. Tak perlu bertanya lebih jauh. Aku tak ingin memancing pertengkaran melalui urusan sepele.
Hari ini aku singgah ke rumah Adit sepulang sekolah. Saat mengikuti langkahnya menuju kamarnya di belakang, kuperhatikan pintu kamar anjing yang terletak lebih strategis.
"Di kamar ini, aku bisa lebih bebas berkhayal," katanya seperti tahu yang kupikirkan. Ucapannya beralasan karena jendela kamarnya menghadap kebun belakang. peluang itu pula yang digunakannya untuk sesekali pergi keluar malam tanpa melewati pintu depan.
***
BEBERAPA kali, atau mungkin sering, aku main ke rumah Adit, bahkan sampai kami sama-sama bersekolah di SMA. Aku singgah untuk meminjam komik-komik barunya. Atau nonton film-film koleksinya. Tak satu pun terdapat film anak-anak, apalagi yang berjudul Pinokio. Ia cukup mendapat kebebasan untuk mengumpulkan film dewasa, meskipun sepanjang yang kutahu, percakapan dengan ayahnya terlampau terbatas.
Tampaknya kisah tentang Chocky telah berlalu. Tiada lagi yang menghangatkan pikiran kami tentang boneka itu. Sejak acara ayahnya di televisi telah dihentikan, aku tidak pernah sekali pun melihatnya memainkan Chocky di rumahnya. Barangkali tak akan membuatku terhibur juga.
Sementara itu, aku sering memergoki Pak Sentot menyendiri di beranda. Banyak suratkabar di meja, tapi dibiarkan tetap terlipat. Pandangan matanya menembus sela-sela tirai ke arah kebun kecil di depan rumah. Setiap kali aku pamit, sedikit membuatnya terperanjat, dan melimpahkan perasaan berdosa kepadaku karena telah mengganggunya.
"Kamu jarang sekali bicara dengan ayahmu," kataku di pintu pagar.
"Ayahku yang jarang bicara denganku," sahut Adit datar.
Aku memandang heran. Tapi seperti biasa, tangannya melambai seolah mengusirku. Dan seperti biasa, sejak dulu kala, aku segera pulang tanpa merasa tersinggung. Tapi malamnya aku bermimpi bercakap-cakap dengan Chocky! Membuatku ingin segera menjumpai pagi.
"Adit, kutunggu kamu sejak tadi. Ayo kita ke kantin." Aku menyerbu kedatangannya di pagar sekolah keesokan harinya.
"Sepagi ini?"
"Ya. Aku mau ceritakan mimpiku semalam."
Tanpa meletakkan tas terlebih dulu, Adit mengiringi langkahku ke kantin.
"Aku mimpi bercakap-cakap dengan Chocky!" ujarku penuh semangat.
Mendadak muka Adit memerah. "Kamu bercakap-cakap dengan anjing itu?"
Mulutku ternganga. "Anjing?"
"Ya!" Rahang Adit tampak mengeras kaku.
Kupegang kedua lengannya. Aku tak sepenuhnya tahu dengan yang kulakukan, namun jantungku terasa gemuruh. Kamar anjing itu...
"Maaf, maaf! Aku tak akan membicarakannya lagi." Aku benar-benar berjanji. Akan tetapi Adit justru menggagalkan janjiku.
"Dengar, Kris! Kini kamu tahu, siapa yang menghuni kamar anjing itu. Itu kamar Chocky! Aku muak setiap kali Ayah masuk ke kamar itu, mengunci diri, dan kudengar bercakap-cakap dengan Chocky. Sementara aku, anaknya, tidak pernah diajak bicara seperti itu. Seolah aku tak punya masalah ..."
"Ibumu?"
"Kamu tahu, kan? Ibu yang bekerja menghidupi kami, sebagai pegawai negeri. Telah hampir lima tahun pekerjaan ayahku hanya duduk-duduk, atau pergi entah ke mana dan pulang menceritakan pengalamannya di kamar anjing."
"Mestinya kamu ceritakan ini kepadaku, agar aku tak salah sangka..."
Kulihat ada air mata menetes ke pipinya. Kami sama-sama kelas dua SMA. Tetapi aku selalu merasa bodoh untuk melakukan perbuatan yang berguna bagi Adit. Aku tak tahu, sedalam apa luka hatinya?
"Ayo, kita ke kelas. Sekali lagi aku minta maaf," ajakku.
Adit mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lalu berjalan dengan kepala ditundukkan. Sepanjang dua jam pelajaran dia terdiam. Tak sampai akhir jam sekolah, Adit minta ijin untuk pulang. Aku membiarkannya berjalan meninggalkan sekolah, dengan punggung yang tak lagi tegak.
***
HARI berikutnya Adit tidak masuk sekolah. Aku tergerak menjenguk ke rumahnya. Ke kamarnya yang menghadap kebun belakang. Ibunya ada di rumah, menawariku makan siang, tetapi aku lebih berminat segera menemui Adit. Lama aku mengetuk kamarnya sampai kemudian dibuka dengan enggan.
Aku terkejut melihat keadaannya. Matanya bengkak, lebih tampak sebagai akibat pukulan dibanding oleh tangisan. Rambutnya acak-acakan, dan kuduga dia belum menyentuh air sejak pulang sekolah kemarin. Kamarnya lebih berantakan dari biasanya.
"Aku ingin membunuh Ayah...."
"Sstt!" Kini aku yang membekap mulutnya. Ucapannya sungguh menakutkan bagiku.
"Kubuatkan minum ya?" Aku bergegas ke dapur yang tak jauh dari pintu kamarnya. Mengambil sebotol air dingin dari lemari es dan berharap bisa menenangkan perasaannya. "Minumlah dulu. Jika sudah tenang, katakan apa masalahmu."
Ia menurut, meneguk air yang kuberikan dalam gelas yang kuangsurkan. Aku hanya bisa menunggu. Menemaninya.
"Aku... aku merasa hidupku percuma, Kris."
"Adit, tak boleh bicara seperti itu!"
"Semalam aku bertengkar hebat dengan Ayah."
Aku mengangguk. Menunggu ceritanya.
"Chocky telah tiada, Kris." Adit kemudian tersedu. Tubuhnya bergetar.
Aku disergap bingung. Ucapannya seperti terdengar keliru di telingaku. Bukankah Chocky adalah musuhnya? Yang telah membuatnya iri dan cemburu selama ini? Seharusnya ia begitu bahagia seandainya benar Chocky telah 'meninggal'.
Kuusap punggungnya yang berguncang.
"Semalam, setelah kami bertengkar, Ayah membakar Chocky...," ujarnya tersendat.
Aku terperangah. Lalu berkata ragu-ragu. "Bukankah itu yang kamu harapkan?"
"Apa katamu, Kris?" Tiba-tiba Adit memandangku dengan tatapan kasar. "Ayahku telah membunuhku!"
Mulutku ternganga tanpa kusadari.
"Jadi, kamu senang jika aku mati? Bukankah Chocky itu aku? Ayah telah membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku, Kris!"
"Aku tak mengerti..." Aku mulai dijalari rasa takut. Terutama melihat mata Adit yang aneh.
"Kamu pasti mengerti, Kris. Kamu sahabatku! Tapi kini kamu hanya pura-pura menghiburku, padahal kamu senang aku mati!"
"Adit! Maaf, itu tidak benar ..."
"Kamu bohong! Sekarang kamu keluar dari kamarku!"
Kini saatnya aku merasa tersinggung dengan lambaian tangannya. Tubuh tak bertenaga itu kini seperti monster yang menakutkan bagiku. Matanya itu! Seperti ingin membakarku.
"Kubilang keluar!" Suaranya mirip guntur.
Aku terhuyung meninggalkan kamar Adit yang kemudian dibanting pintunya. Aku mundur dan menabrak tubuh ibunya yang tegak di sisi dapur.
"Dari semalam dia berkelakuan aneh. Sejak ayahnya membakar Chocky," kata ibunya. Aku mengangguk tapi belum tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin duduk di beranda, meredakan gemuruh dada, sambil mencoba berpikir.
Aku melewati kamar anjing. Aku menatap pintunya sejenak. Kamar Chocky, yang selalu disebut 'kamar anjing' dengan nada marah oleh Adit. Tapi baru saja Adit kehilangan nyala harapan ketika anjing itu, maksudku Chocky, musnah. Masih terngiang dengan dengung yang mencekam di telinga: "Ayah telah membunuhku. Bukankah Chocky itu aku? Ayah telah membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku!"
Aku duduk di beranda, di kursi yang biasa menjadi tempat rehat Pak Sentot. Aku memandang ke arah kebun melalui sela-sela tirai bambu. Seperti yang dilakukan oleh Pak Sentot setiap hari. Tanpa tercegah, mataku perlahan basah.
Di balik tirai, di kebun kecil itu, aku melihat anak kecil yang wajahnya mirip Adit sedang bermain sendirian. Kadang-kadang wajahnya berubah serupa boneka kayu Chocky. Alangkah mirip senyum keduanya. Lambat-laun aku semakin tak sanggup membedakan antara wajah Aditya dengan wajah Chocky pada anak kecil yang sedang bermain di kebun itu.
***
Jakarta, 5 Januari 2006
(Dimuat di Koran Tempo, Minggu 30 April 2006)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home