Monday, May 08, 2006

JEDA 8 Mei 2006

Biarkan Hati yang Telanjang

Percakapan di sebuah ruang ganti Balai Sarbini, suatu malam, terasa sangat penting ketika tiba pada pembahasan mengenai fashion. Seorang designer sekaligus stylist, Moussa, menyampaikan di antaranya: "Busana yang dipakai seseorang mencerminkan atau merupakan refleksi dari perasaan yang terjadi dalam dirinya." Lebih lanjut dia katakan: "Ada hubungan erat antara fashion dan psikologi."

Boleh jadi pernyataan itu benar. Oleh karena itu, mari kita periksa keadaan diri sendiri. Mengapa kita hari ini mengenakan setelah warna merah? Mungkin karena kita akan tampil menyanyi di panggung, sehingga dibutuhkan semacam gairah atau semangat untuk menarik perhatian mata penonton. Atau kenapa kita sengaja memilih busana hitam sebelum berangkat ke pemakaman? Barangkali ingin memberi petunjuk kepada orang lain, bahwa hati kita turut berkabung, terendam duka yang menyelubung. Kadang-kadang, bahkan, tanpa disadari kita telah menentukan suatu komposisi warna atau gaya yang memang menjadi jendela bagi perasaan pemakainya.

Ketika seorang perempuan mengenakan rok mini dan tank top, lipstik merah merona dan gerakan mata yang atraktif; ada semacam kesimpulan: wah, ia sedang menggoda! Tapi, tahukah kita, apa yang sesungguhnya melatarbelakangi bahasa tubuhnya itu? Benarkah ia semata-mata ingin mendapatkan kita sebagai 'mangsa' karena kebutuhan di sekitar hasrat syahwat? Atau itu menjadi salah satu cara untuk mendapatkan uang, dengan kata lain sebagai profesi penyangga hidupnya? Atau bermaksud mengekspresikan perlawanan terhadap aturan keras yang diberlakukan oleh orang tuanya? Apa pun alasannya, yang muncul ke permukaan bisa serupa: belahan dada yang rendah, sepasang paha yang tersingkap, dan kerling mata yang menyihir dengan kelopak bibir merekah basah...

Bagi sesama perempuan yang bersirobok pandang dengannya, umumnya terbit perasaan bersaing, semburat cemburu dan was-was andai pasangannya (suami atau kekasih) 'sempat' tergoda. Setidaknya ada ruang dalam pikirannya yang tersedia untuk 'citra' sang perempuan sexy. Bagi lelaki yang tak berkedip melihatnya, bahkan bagi sang moralis sekalipun, sesaat ada kelenjar yang sedikit terganggu dalam tubuhnya. Selanjutnya tinggal diputuskan melalui syaraf sensorik dan motorik: dihapus dari file kepalanya atau dipelihara dengan sebuah tindak lanjut. Bagaimana jika yang memperoleh pemandangan itu sekelompok pemuda remaja yang ranum dan baru saja lewat akil balig? Akankah muncul siulan nyaring dan gerakan ekor mata yang terus mengikuti ke mana obyek pemandangan itu melangkah?

Ah, mengapa kemudian kita bertengkar gara-gara sebuah rencana Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi? Ketika sebentuk aurat terbuka di antara sekian banyak yang tertutup, tentu menjadi sesuatu yang istimewa. Bagian paling privat dari seseorang tiba-tiba menjadi milik bersama. Ahai! Kenapa yang malu justru sang suami yang kepergok isterinya manakala sedang mencuri pandang? Sementara yang berpose, termasuk Tiara Lestari (yang sempat tampil di majalah Playboy Spanyol), justru pernah menyimpan rasa bangga dengan gayanya. Bukankah ini seni? Tentu yang dimaksud adalah fotografi seni, bukan air seni. Karena yang pertama menjadi karya 'adiluhung', sedang yang kedua hanya pantas dikeluarkan di toilet. Tetapi jika keterbukaan aurat itu menjadi obyek yang mudah ditemukan di pusat perbelanjaan, bandara, atau pesta pernikahan; so what gitu loh!

Putu Wijaya, dalam sebuah wawancara televisi, mengatakan: "Tolong dibedakan, antara menentang antipornografi dengan menentang RUU antipornografi." Bli Putu mengaku tidak setuju dengan pornografi dan pornoaksi, itu dapat dilihat dari karya-karyanya yang lebih mengedepankan tradisi, konflik dan 'teror' bagi pembacanya, bukan eksploitasi seks. Tetapi mungkin masih belum sepakat dengan isi yang terkandung dalam pasal-pasal RUU tersebut. Dengan demikian, agaknya, yang seharusnya dilakukan adalah pengkajian ulang mengenai isinya, kemudian diajukan usulan yang solutif dan, semoga, tidak merugikan nilai budaya lokalitas yang menjadi tradisi agung turun-temurun. Sebuah panggung dengan pertunjukan tari klasik Jawa atau Bali, dengan bahu dan ketiak terbuka, adalah sebuah pertunjukan seni. Tetapi celana jins hipster yang mempertontonkan tepian celana dalam dan t-shirt pendek yang menghadirkan pusar perempuan, di karamaian mal, apakah juga bagian dari seni?

Sesungguhnya kita hanya perlu jujur pada diri sendiri. Konsultan terbaik adalah Tuan dan Nyonya Hati Nurani. Sebelum segala yang fisik itu telanjang di depan mata kita lantas menimbulkan pro dan kontra, biarkan hati kita yang terlebih dahulu ditelanjangi. Kadang-kadang upaya untuk melindungi yang rawan dan rapuh menjadi bumerang karena tampak seperti jeruji yang menjerat langkah kreatif. Ego patriarki juga sering dimanfaatkan berlebihan sehingga terasa sebagai hakim yang lepas kendali.

Sekali lagi, biarkan hati kita telanjang, melepas busana tendensi dan selimut paranoia. Agar kita menjadi lebih bertanggung jawab, terutama pada nilai-nilai luhur yang ingin kita persembahkan kepada anak-anak generasi penerus, maaf, maksudnya generasi pelurus kita.

(kurnia effendi)

3 Comments:

Blogger hendragunawan said...

yap setuju...ngeri juga ngebayangin dunia bagi cucu cicit kita kelak bertumbuh

4:44 PM  
Anonymous Anonymous said...

Yayaya...hati nurani itu tak pernah berdusta.

7:37 PM  
Blogger AryaNst said...

Aih, Mas Kurnia... Tulisannya menyejukan hati... Salam kenal Mas. Btw, aku ikutan Pelatihan Penulisan Kreatif di Istora yang baru lalu. Terimakasih Mas sudah mau berbagi proses kreatifnya (aku lihat jadi entry blog ya?)

9:03 PM  

Post a Comment

<< Home