Tuesday, May 30, 2006

Duka Tak Bernama

Duka Yogya, Duka Kita Bersama

Kurnia Effendi

Oleh serangkai alasan, saya batal turut bersama rombongan melakukan perjalanan ke Magelang, malam Sabtu itu. Dua belas teman saya berangkat lepas Isya, dengan dua mobil, menyusuri lelampu jalanan, menempuh jarak yang jauh, menuju lereng Tidar. Ada teman kantor yang mengundang kami untuk menghadiri upacara pernikahannya Sabtu 27 Mei 2006, saat matahari sepenggalah, tak jauh dari Borobudur. Sebuah hari bahagia yang sangat lazim dirayakan bersama (mudah-mudahan) sekali seumur hidup.

Fajar baru saja menyapu remang perbukitan, ketika gempa tektonik itu bekerja. Guncangan besar dengan 5,9 skala Richter dari lepas pantai Laut Selatan, tak jauh dari Yogyakarta, menyebabkan wajah kota itu poranda. Beratus bangunan gegar, terban, dan runtuh, dengan korban lebih dari empat ribu orang tewas. Paras maut itu tak tampak, tapi begitu lekas membereskan yang tampak. Seorang teman dari Surabaya menyampaikan lewat telepon: "Gempa di Yogya itu, getarannya sampai ke tempat kami." Oh, alangkah jauh lidah petaka itu menjulur, seperti Banaspati menjilat jejak kaki sang seteru.

Saya gemetar dan termangu oleh duka tak bernama. Bagaimana dengan dua belas teman saya yang, tentu, telah sampai di tempat tujuan? Saya bertanya melalui pesan ringkas, namun tak kunjung berjawab. Sekitar tengah hari saya mendapat kabar, justru dari kawan yang baru saja meninggalkan Yogya menuju Solo: "Calon pengantin dan keluarganya selamat, namun rumah sang mempelai lelaki di Bantul 'rata' dengan tanah. Seluruh penghuni sempat keluar lima menit sebelum ambruk." Aksara yang tercetak pada monitor telepon selular seperti huruf yang setiap hari tampil. Tetapi terasa sungguh, ada sejumlah air mata yang membasah atas kenyataan yang terjadi begitu dini. Ke mana impian hari bersejarah itu terlempar?

Rencana bermalam panjang dalam kehangatan suasana Malioboro tak mungkin dilanjutkan. Kecuali ingin menjadi makhluk asing yang berpesta di tengah suasana musibah. Sementara setiap pelataran rumah-sakit dan halaman rumah yang bebas dari reruntuhan menjadi tempat perawatan darurat. Dan seorang penyair memberi tahu, bahwa Yogya sangat membutuhkan bantuan dokter, obat, cairan infus, selimut, ranjang darurat.... Listrik padam, komunikasi tidak lancar karena krisis pulsa, tangis terdengar di mana-mana.

Kita harus lekas menyingsingkan baju dengan cara masing-masing. Berebut detik dengan cakar maut yang memetik satu per satu arwah para korban, sebelum terjadi duka lanjutan. Seorang ahli menyampaikan fakta, bahwa struktur tanah bumi Yogyakarta dan pantai selatan merupakan endapan lahar gunung berapi yang mengandung batu kapur dengan sifat mudah mengembangkan guncangan gempa. Mungkin benar, dan terbaca melalui landasan pacu bandara yang retak.

Jika kita sejenak diminta untuk merenung, sesungguhnya apa penyebab bencana ini? Benarkah semata fenomena alam yang sudah seharusnya secara berkala memberikan tanda siklusnya? Apakah sepasang lempengan bumi di dasar laut masih juga memerlukan waktu bertahun ke depan untuk saling menyesuaikan diri? Mengapa harus Aceh, hampir dua tahun yang lalu, dan Yogya, akhir pekan ini? Kita akan sulit menjawab karena sangat mengenal ranah Aceh sebagai 'serambi Mekkah' dan Yogya merupakan kota ningrat dengan silsilah kesultanan yang arif, yang paling tenang saat kerusuhan meruyak di segala penjuru. Mengapa petaka justru terhembus ke dua daerah istimewa itu?

Bahkan kita tak terlampau paham: ini sebuah murka atau semacam ujian? Sejauh yang patut kita lakukan adalah merendahkan hati, melepaskan arogansi, membentang kedua telapak tangan, meminta kepada Tuhan agar segala dosa (yang sengaja atau tidak sengaja) diampuni. Kadang-kadang, oleh sederetan ambisi pribadi, kita lupa pada nilai pekerjaan kita: untuk memberi manfaat atau merugikan orang lain? Ketulian telinga kita, gelapnya hati-nurani kita, kebutaan mata kemanusiaan kita, runtuhnya benteng moral kita, sama sekali tidak kita sadari. Kita perlu 'mandi besar' untuk seluruh pelampiasan nafsu kemaruk diri.

Saya masih gemetar dan termangu oleh duka tak bernama. Di saat seperti ini, sekalipun pemerintah menyiapkan bantuan 50 milyar, bukan berarti kita yang tak punya apa-apa diam berpangku tangan. Saya terharu ketika seorang pekerja radio di Malang minta informasi kondisi di lapangan setiap saat agar dapat menyebarluaskan demi memanggil bantuan. Saya terharu ketika seorang pengarang yang menggemari ketegangan justru muncul welas asihnya dan mengedarkan nomor rekening lembaga atau yayasan yang akan menampung dan menyalurkan dana kemanusiaan. Bahkan Sitok Srengenge dan Andrea Hirata masih berada di sekitar korban, mencoba meredakan panik massa dengan semampunya.

Malam makin larut, namun penderitaan belum surut. Untuk sementara lupakan perbedaan pendapat di antara kita mengenai segala hal. Sudah saatnya kita malu dengan perilaku sendiri, yang andaikata berlatar cermin raksasa, kita tak sudi memandangnya. Kita ingin membantah, bahwa tampang beringas itu bukan berasal dari wajah kita, tapi diam-diam malaikat selalu mencatatnya. Diam-diam pula, atau tanpa kita tahu, malaikat mengirimkan laporan itu kepada Tuhan.

Tuhan, sungguh, kami nyaris tak mampu menanggung musibah ini. Kecuali ikhlas dan sabar, berikanlah kekuatan tambahan agar langkah kami tak limbung untuk mencapai sebenar-benar harapan. CahayaMu selalu kami jadikan suluh perjalanan.

***
Jakarta, 28 Mei 2006