Wednesday, June 07, 2006

Resensi Buku "Le Chant de Villes"

Puisi dan Lukisan dalam Nyanyian Kota

TAHUN ini, kembali Printemps des Poetes memberikan jejak budaya di Indonesia melalui penerbitan buku antologi puisi tujuh pengarang wanita Indonesia yang mewakili tiga generasi. Ini merupakan peristiwa yang keempat, sekaligus menandai penganugerahan medali penghargaan seni sastra "Chavelier dans l'ordre des Arts et Lettres" untuk Ibu Toeti Heraty, dari Pemerintah Prancis. Untuk seni film, Christine Hakim pernah menerima hadiah sejenis.

Buku antologi puisi dua bahasa (Indonesia dan Prancis) yang diterbitkan oleh Centre Cultural Francais Jakarta bekerjasama secara teknis dengan penerbit Indonesia Tera, tidak hanya menampilkan puisi dari tujuh pengarang wanita, namun juga 10 pelukis wanita Indonesia. Ukuran format buku 21 x 24 cm landscape, dengan kertas art paper pada seluruh halaman, dan full colour untuk setiap halaman lukisan maupun biodata penyair, membuatnya tampil mewah sekaligus eksklusif.

Siapakah 7 penyair yang mendapat kehormatan tampil di buku bertajuk Le Chant des Villes (Nyanyian Kota) ini? Mereka adalah: Cok Sawitri, Medy Loekito, Poppy Hutagalung, Isma Sawitri, Rieke Dyah Pitaloka, serta dua penyair yang mendapat kesempatan kedua kalinya: Toeti Heraty dan Dorothea Rosa Herliany.

Pengantar yang ditulis oleh Ibu Toeti Heraty, antara lain mengatakan: ... perubahan baru saja terjadi, gerakan perempuan yang mendunia tahun tujuhpuluhan, diawali revolusi mahasiswa di Prancis tahun 1968, dan tulisan Betty Friedan di Amerika tahun 1963, berjudul : "The Feminine Mystique", menjadi inspirasi bagi NOW (National Organization for Woman). Jadi tampaknya, greget itu yang mendasari terbitnya buku yang menampilkan baik penyair maupun pelukis, perempuan. Rasanya kita tak perlu berdebat tentang itu, lebih baik langsung menikmati karya-karya pilihan mereka.

Dari tahun kelahiran dan kiprah masing-masing penyair, memang benar, bahwa antologi ini mewakili tiga generasi. Seperti sebuah hasil persiapan yang matang, ketujuh penyair selain mewakili era kariernya masing-masing, juga memberikan tujuh corak karakter yang berbeda. Kenyataan ini menjadi nilai positif, sehingga antologi yang memuat 72 puisi ini tidak stereotip, justru saling memberikan gelimang pengalaman, impresi, dan kekuatan kata yang (kadang-kadang) sulit dibedakan dengan karya penyair laki-laki. Bukan berarti puisi penyair laki-laki lebih kuat, melainkan bahwa mereka telah melepaskan diri dari batasan gender.

Tentu yang paling senior adalah Toeti Heraty (tampak dari salah satu sajaknya yang ditulis tahun 1968, di saat sebagian penyair lain masih kanak-kanak, bahkan Rieke belum lahir). Beberapa puisinya yang tampil di buku ini bergaya prosa yang dipisahkan baris-baris. Lebih terasa sebagai aliran percakapan atau surat. Misalnya bait pertama yang tercantum pada puisi Surat dari Oslo:

Sudah kuterima surat undangan
Terima kasih, jadi anakmu akan menikah?
Baru kali ini aku terima berita, ah, ternyata
anak-anak kita telah merasa cukup dewasa.
Katakan saja sebagian tugasmu selesai sudah
....dst.

Sesederhana itukah sebuah puisi? Tapi coba bandingkan dengan yang saya kutip dari bait terakhir puisi Geneva Bulan Juli, meskipun termasuk sederhana namun menyimpan simbolik tentang esensi komunikasi:

bila tidak
tiba-tiba kelepak sayap angsa putih
berlima perlahan terbang menyongsong bulan
tinggalkan danau menggenang sunyi
kita terdiam
sejak dahulu memang, yang
tidak terucapkan, lebih berarti

Pada penyair yang jauh lebih muda, Medy Loekito, kita menemukan pilihan kata yang tidak rumit, yang telah kita kenal begitu karib, namun efektif cara penggunaannya untuk sejumlah sajak pendek. Sebagai contoh, Danau Maninjau (yang hanya tiga baris):

di biru danau Maninjau
tangan Tuhan menabur bintang
yang memijar di mata ikan-ikan

Dari tiga baris untaian kata itu, tak perlu dijelaskan bahwa air bening danau telah menjadi cermin gemintang di langit. Medy juga tidak menuliskan bintang secara jamak, cukup dengan kata kunci: ikan-ikan (yang tentu jumlahnya ribuan ekor).

Atau pada puisinya yang lain yang berjudul Puisi, Engkaukah, kita memperoleh sebuah realitas hubungan antara manusia dengan suasana melalui ungkapan yang ringkas dan tangkas. Terasa benar ada spirit haiku (salah atu aliran puisi Jepang) di dalamnya:

engkaukah sepi
wujud maya kata

engkaukah kata
wujud nyata sepi

***

TENTU tak bisa dipungkiri bahwa Dorothea Rosa Herliany, yang walaupun pernah menulis sejumlah cerpen, baginya puisi adalah denyut nadi. Puisi sequel yang terkenal, Radio, Kumatikan, telah dibukukan dalam sebuah antologi tebal berbahasa Inggris: Kill The Radio. Ini bentuk pengakuan publik yang tak hanya seluas Indonesia. Seperti juga pada Isma Sawitri yang dikenal dengan perjuangan tak lelah-lelahnya dalam membela kebebasan jurnalistik di tanah air lewat kasus majalah Tempo dibreidel. Sajak-sajaknya yang mengandung idiom reportase terbungkus selimut ungkapan puitis, menyebabkan tokoh Tatiana atau kegiatan remaja di Prambanan tampil indah. Justru Poppy Hutagalung mendeskripsi lebih lugas dan kuat untuk peristiwa-peristiwa sosial yang kemudian menjadi bagian kesadaran moral sang aku.

Sementara Cok Sawitri dengan spirit mantra, puisi-puisinya bicara mengenai mitos dan akar budaya tempatnya dilahirkan dan dibesarkan. Walaupun masih relatif muda, terasa sangat serius eksplorasi terhadap hubungan antara keberadaan manusia dengan alam yang melingkunginya. Dan obsesi terhadap sesuatu, semacam keadilan atau hak asasi, muncul dalam tokoh Dirah yang selain ditulis sebagai puisi, juga dipentaskan.

Penyair paling muda dan masih memiliki masa depan yang panjang, tampak dari talenta yang ditunjukkan secara bersemangat di buku Le Chant des Villes, adalah Rieke Dyah Pitaloka. Sebagai pekerja seni layar kaca, namanya lebih dikenal luas oleh publik (terutama lewat peran Oneng dalam serial Bajaj Bajuri). Menikmati puisinya, terbaca kecerdasan dan kebebasan yang tidak ragu-ragu diekspresikan. Dalam puisi berjudul Adam & Hawa Tak Mungkin Bersama-sama, ia menulis dalam bentuk percakapan SMS (Short Message Service). Meski demikian, kepekaannya terhadap kondisi tanah air, telah menyisipkan semacam ironisme dalam sebagian puisinya. Dengan bekal kecerdasan, diharapkan sajak-sajaknya tetap tajam bicara mengenai segala peristiwa yang menyentuh perasaan masyarakat Indonesia.

Demikianlah, tujuh penyair yang pada kesempatan ini 'mewakili' warna pengarang wanita Indonesia. Sepuluh lukisan yang menghiasi buku ini, tujuh di antaranya sebagai pembuka masing-masing penyair. Tersebutlah nama Kartika Affandi, Umi Dachlan, Farida Srihadi, Inda Nurhadi, Ratmini Soedjatmoko, Yanuar Ernawati, Wiwiek Yuniarti, Sriyani dan Timoer Bjerkness. Sebagai sampul, dipilih karya Wiranti Tedjasukmana, dengan lukisan yang cerah dan meriah berjudul Pasar di Bali (1988).

***

TERBITNYA antologi puisi Le Chant des Villes adalah sebuah peristiwa budaya antarnegara, meskipun tidak dipublikasikan secara luas. Pada tanggal 9 Maret 2006, pemerintah Prancis melalui duta besarnya di Indonesia menyematkan anugerah seni kepada Toeti Heraty di Café Oktroi Kemang. Dirangkai dengan pembacaan puisi oleh ketujuh penyair, di tempat yang sama pada malam berikutnya, tanggal 10 Maret 2006.

Acara dikemas anggun dan akrab, dengan dekorasi sederhana tapi unik: tujuh kursi rotan diletakkan di atas panggung untuk tujuh penyair, disampiri batik tulis yang dipesan khusus dari Yogyakarta itu. Perhelatan yang diawali dengan cocktail party itu, hanya dihadiri oleh sedikit sastrawan Indonesia, antara lain Hamsad Rangkuti, AD Donggo (mengantar isterinya Poppy Hutagalung), Rahmat Ali, Amna Kusumo (isteri Sardono W. Kusumo), dan Sihar Ramses Simatupang.

Dalam catatan perjalanan kiprah Primptemp des Poetes yang dimulai sejak tahun 2003, selain mengangkat penyair-penyair senior semacam: Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, atau Taufiq Ismail (untuk menyebut beberapa nama); juga melibatkan sastrawan muda antara lain: Warih Wisatsana, Azhari, dan Joko Pinurbo. Hal ini menunjukkan bahwa Prancis menghargai susastra begitu tinggi, bahkan untuk pengarang yang bukan berasal dari bangsanya. Sudah selayaknya jika pemerintah Indonesia, sebagai pemilik para penyair berbakat ini mulai sensitif terhadap seni sastra sebagai bagian dari budaya yang turut berkontribusi dalam menghaluskan rasa kemanusiaan dan menajamkan nurani dalam memandang ketimpangan sosial.

Pantas kiranya jika Toeti Heraty bagai berutang rasa terima kasih kepada Herve Guillou yang telah mewujudkan Printemps des Poetes hingga keempat kalinya. "Untuk keyakinannya memuliakan kerjasama sastra yang sekaligus menjembatani antara kebudayaan Prancis dengan Indonesia secara signifikan dan nyata," demikian ungkapnya.

Apabila ingin memiliki buku yang mewah dan eksklusif ini, dipersilakan untuk menghubungi pihak CCF, karena - menurut salah satu penyairnya - tidak beredar di toko buku seperti antologi pada umumnya. Separuh dari oplag buku antologi Nyanyian Kota ini beredar di Prancis. Dan biarkanlah ragam puisi Indonesia bermekaran di sana...

***

(Kurnia Effendi, pecinta sastra)

DATA BUKU:

Judul Buku : Le Chant des Villes, Nyanyian Kota
Jenis Buku : Antologi Puisi Dwi Bahasa (Indonesia-Prancis)
Penerbit : CCF dan Indonesia Tera
Cetakan Pertama : Maret 2006
Jumlah Halaman : 132 halaman

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

pak,,
boleh minta bantuannya ga?
saya ada tugas dari sekolah,,
disuruh cari biodata Isma
Sawitri..
Bapak tau g ya kira2 dimana bisa saya dapatkan biodatanya??
makasih y,, atas bangtuannya..

10:21 AM  

Post a Comment

<< Home