Friday, June 02, 2006

Makna Teladan Bagi Kita

TELADAN

Kata "teladan" hampir asing di telinga. Padahal dulu, ketika kita menempuh sekolah dasar atau tingkat lanjutan pertama, sering mendengarnya melalui Kepala Sekolah atau guru. Seolah keterpinggiran kosakata "teladan" seiring dengan menghilangnya contoh-contoh nyata yang dapat dilihat dengan mata, atau hadir di sekitar kita. Dengan kata lain, alangkah sulitnya mencari sang teladan akhir-akhir ini.

Mari kita mendongeng saja. Pada suatu hari, ada seorang karyawan, bernama Fulan, yang didaftarkan oleh direkturnya menjadi calon karyawan teladan. Dia akan menjalani proses seleksi bersama para calon lain yang diajukan oleh masing-masing direktorat dalam sebuah perusahaan nasional. Fulan merasa terkejut oleh dua hal. Pertama, masih adakah makna teladan ketika setiap ukuran nyaris hanya menggunakan hukum untung-rugi? Kedua, mengapa saya yang dicalonkan? Pertanyaan kedua juga menimbulkan cecabang tanya berikutnya: Apa kriteria karyawan teladan? Meskipun secara samar-samar ada ihwal yang tak boleh cacat, yakni perihal kehadiran di kantor (tak pernah terlambat, mangkir, atau pulang lebih awal dari ketentuan) dan nilai prestasi kerja akhir tahun lalu.

Fulan, sebagai karyawan yang hanya menguasai pekerjaan sehari-hari, sedikit nervous saat menghadapi seleksi awal. Organisasi perusahaannya yang rumit, ternyata menjadi bagian yang harus dipahami. Nama fungsionaris serikat pekerja harus dikenalnya. Dan yang tak boleh keliru: langkah kerja pada bidang yang menjadi tanggung jawabnya, wajib diceritakan dengan fasih. Dari peristiwa itu, mulai terbuka pemahamannya mengenai persyaratan karyawan teladan. Dari seleksi prakualifikasi, tersaring 40 kandidat dari beberapa lokasi yang membawahi sekian direktorat. Uji tertulis dan wawancara diharapkan meloloskan 12 semi-finalis. Dan untuk babak final, empat orang posisi tertinggi yang mewakili tiap lokasi, selain akan menempuh ujian tertulis, diminta untuk membuat makalah dengan tema yang tidak ringan. Di antaranya bersinggungan dengan kebijakan pemerintah, pasar global, dan fungsi kemitraan serikat pekerja.

Rupanya, pikir Fulan, kompetisi ini serius! Lantas bangkit rasa cemas, andai kepercayaan direktorat yang diletakkan di pundaknya rontok begitu saja. Tapi karena mewakili sebuah lingkungan yang cukup luas, ia berhak pula memperoleh bekal, tidak ingin berdiam dalam tempurung. Ia pun mencari 'konsultan' yang akan membuka lebar wawasannya mengenai tema yang disodorkan. Dalam waktu yang terbatas, Fulan mencari ilmu dari beberapa kepala departemen. Dengan kemampuannya yang terbatas pula, ia menggali sumur demi sumur, untuk mendapatkan setimba demi setimba pengetahuan, mengenai: infrastruktur, iklim politik, kebijakan ekonomi, undang-undang ketenagakerjaan, AFTA, dan bagaimana produksi berjalan melalui suatu prosedur... Ah, begitu melelahkannya.

Dalam sebuah diskusi dengan sang atasan, terlontar pertanyaan: Dapatkah karyawan yang kebetulan bertugas di bagian pantry, dengan disiplin yang tak terbantahkan, dapat mengikuti kontes karyawan teladan? Ia tentu punya hak untuk itu. Tetapi, tanpa bermaksud memandang sebelah mata, apakah sanggup melewati tahap-tahap yang seolah 'tak adil' itu? Atau, cukupkah seorang karyawan teladan adalah yang piawai dalam segala hal, penampilan menunjukkan sebagai sang pemikir, loyal kepada perusahaan hingga mirip robot yang tak memiliki program lain kecuali bekerja dengan setumpuk dokumen di mejanya dan membuatnya antisosial? Jika memang demikian, ketika ia memenangkan predikat karyawan teladan, tidak semua segera mengenalnya. Yang mana? Bagian apa? Karena tidak setiap orang pernah melihat senyumnya, atau mendengar kelakarnya saat istirahat makan siang.

Fulan agaknya memiliki banyak sahabat, baik di lingkungan kantor maupun di luar pekerjaannya. Ia tak malu-malu menjadikan beberapa kepala divisi menjadi narasumber, termasuk direkturnya. Ia pun mengirim pesan pendek melalui telepon seluler kepada para karibnya. Minta dukungan doa dan semangat untuk maju ke panggung presentasi final. Kekuatan tak tampak itu, dorongan moral melalui monitor telepon seluler itu, menjadi energi tersendiri bagi Fulan untuk menjadi seorang yang percaya diri. Di antara mereka yang ikhlas memberi doa, justru mengajarinya untuk rileks, jangan menjadikan kompetisi itu sebagai beban. Bahkan seorang guru besar universitas besar sekaligus pengarang besar, pada detik-detik menjelang giliran presentasi masih berpesan: "Siap fisik dan mental, ketekunan akan berbuah kebaikan, Mas!"

Email dari Jepang, sehari sebelumnya, senada dengan telepon dari Solo maupun pesan melaui blogger: "Apa pun hasilnya, tak perlu mengubah sikapmu yang selalu hangat kepada semua orang. Sebagai sahabat, kamu sudah lulus menjadi sang teladan." Fulan merasa diselimuti perasaan haru, karena ada kesadaran baru tentang arti keteladanan. Pertama, bahwa para sahabatnya tidak mengukur melalui intelektual semata. Kedua, ia merasa tak sedang minta dinilai untuk segala hal yang telah dilakukannya. Alamiah saja. Biasa saja. Tidak pernah merasa kehilangan apa pun sesudahnya.

Baiklah, kita akhiri dongeng itu. Karena Fulan tidak lagi berpikir, apa yang hendak diperoleh di pengujung perjuangan. Ia tak ingin mengalahkan siapa pun. Seperti ia tak ingin dikalahkan siapa pun. Apakah dengan demikian, kata "teladan" masih perlu didengungkan? Siapa tokoh di negeri ini yang pantas menjadi teladan? Mungkin dia bukan presiden, bukan pejabat tinggi, bukan kepala partai, bukan konglomerat, bukan kepala sekolah, bukan bintang film, bukan polisi, bukan pemimpin agama... daftar ini bisa semakin panjang dengan segala 'bukan'. Karena ternyata kita butuh contoh nyata, yang keteladanannya dapat ditiru dengan mudah, dan melahirkan anak-pinak teladan. Mengutip Aa Gym: mulailah dari hal yang kecil, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah sejak hari ini.

Dengan demikian, jangan sampai kata "teladan" tinggal sebuah mitos...

(Kurnia Effendi)
-Untuk Kolom REHAT di majalah asuransi Indonesia: Proteksi, edisi Juni 2006