Wednesday, May 31, 2006

PENGANTIN LUKA, K Usman

Launching Buku "Pengantin Luka" karya K. Usman
(kurnia effendi)

Sabtu yang cerah, tanggal 27 Mei 2006, sekitar pukul 10, saat dalam perjalanan ke rumah Iksaka Banu, saya ditelepon Bapak K Usman. Beliau tanya: "Kurnia sudah terima undangan dari saya?" Saya jawab: "Sudah, tanggal 27, kan?" Dalam pikiran saya, tanggal 27 bukan hari Sabtu ini. Baru sadar saat K Usman mengingatkan: "Ditunggu jam dua nanti ya di Gramedia Depok." Ya. Hari itu, K Usman akan meluncurkan bukunya yang terbaru, berjudul "Pengantin Luka", diterbitkan oleh Penerbit Kompas, Januari 2006 yang lalu.

Sekitar jam 12, saya telepon anak saya di rumah, tepatnya mengajak dia untuk turut dalam acara launching buku K Usman. Demikianlah, saya berangkat berdua dengan Najma Amtanifa ke Depok. Menempuh perjalanan hampir satu jam, kami tiba terlambat. Gramedia Depok yang (rasanya) lebih megah dari Gramedia Matraman, dilengkapi dengan eskalator menuju ke lantai dua: ruang segala buku dan tempat diskusi yang diatur sederhana.

Hanya disediakan tempat duduk untuk sekitar 30 orang, saya mengambil posisi di belakang, berdiri, dan tepat menghadap ke arah 'panggung', agar mudah memotret. K Usman yang sedang menjawab pertanyaan pertama dari peserta acara, menyempatkan menguccapkan: "Selamat datang ananda Kurnia Effendi..." Saya tersanjung (atau terharu?) merasa seolah-olah telah menjadi anaknya.

Mungkin saya terlambat 15 menit, karena Mbak Fitri telah membacakan satu cerpen sebagai pembuka acara. Yang hadir dalam perhelatan sederhana itu antara lain para sahabat satu generasi: Hamsad Rangkuti, Diah Hadaning, Rahmat Ali, Martin Aleida, Ana Mariana Masi, dan ... (ini surprise) Soekanto SA! Kelompok yang muda tentu saya, Fanny Poyk (putri Gerson Poyk), Miranda Putri, beberapa mahasiswa, guru bahasa, dan wirausahawan peminat sastra.

Yang menarik, selain sepuluh pertanyaan terbaik akan mendapat hadiah buku dari penerbit Kompas, K Usman menjawab dengan ilustrasi cerita. Di bawah ini beberapa contohnya:

Lusi bertanya:
"Bagaimana agar percaya diri menjadi pengarang? Saya selalu ngeper duluan setiap melihat karya orang dimuat di majalah atau surat-kabar."

K Usman menjawab:
"Di Amerika, ada seorang pengarang yang memulai karirnya sejak usia 40 tahun. Namanya William Pockner (kalau saya tak salah dengar - penulis). Ia bekerja di daerah prostitusi, setiap malam bergaul dengan para wanita tuna susila dan pengunjung rumah bordil yang memerlukan jasa seksual, minum bersama dan ngobrol dengan mereka. Ia pun menuliskan seluruh pengalaman pergaulannya dalam sebuah novel lantas ditawarkan kepada penerbit. Oleh beberapa penerbit ditolak. Ia pun mencoba memberikan manuskripnya kepada sahabat dan pengarang lain untuk memperoleh kritik dan masukan. Kemudian ia melakukan penulisan ulang untuk memperbaiki naskahnya setahun kemudian. Singkat cerita, akhirnya ada penerbit yang bersedia merilis buku tersebut. Tanpa disangka, karyanya menjadi best seller di Texas. Jadi, Lusi yang masih usia 23 tahun, tak perlu pesimis. Lanjutkan cita-cita menjadi penulis dan percaya diri. Di sini ada Miranda Putri yang mulai menapak karirnya sebagai penulis."

Ana Mariana Masi bertanya:
"Menurut Arswendo Atmowiloto, mengarang itu gampang. Bagaimana menurut pendapat K Usman?"

K Usman menjawab:
"Arswendo itu orang pede (percaya diri), jadi ia memberikan optimisme bagi orang yang ingin menjadi pengarang. Benar, mengarang itu gampang bagi orang yang bisa mengarang. Tetapi bagi seorang calon penulis yang pernah sampai 53 x ditolak oleh redaksi, tentu mengarang tidak gampang. Artinya dibutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan jangan mudah putus asa."

Soekanto SA bertanya:
"K Usman saya kenal sebagai penulis cerita untuk anak-anak di Majalah Kuncung yang saya asuh. Apakah sekarang masih bisa mengarang cerita anak-anak? Sekarang tidak ada lagi kisah-kisah seperti yang pernah dimuat di Kuncung. Dulu ada tradisi Kemisan (setiap hari Kamis) sebagai tempat berkumpulnya para pengarang cerita anak di kantor redaksi Kuncung."

K Usman menjawab:
"Saya masih menulis cerita anak-anak. Saya juga menulis cerita remaja, di antaranya di majalah Aneka Yes. Dan saya juga menulis cerita orang dewasa. Sebagai bukti bahwa saya menulis cerita anak-anak, ini buku terbaru saya berjudul 'Anak Cerdik yang Diculik', saya hadiahkan untuk Pak Soekanto sebagai senior saya."
K Usman menghampiri tempat Soekanto memberikan sebuah buku. Tak mau kalah, Soekanto membalas juga dengan sebuah buku yang baru terbit sebagai cetakan kedua berjudul 'Orang-orang yang Tercinta'. Tepuk tangan menyambut 'upacara' pertukaran karya itu.

Diah Hadaning bertanya:
"Ada orang berpendapat, bahwa untuk mengarang diperlukan bakat 25%, niat 25% dan kemauan atau kerja keras 50%, bagaimana menurut K Usman?"

K Usman menjawab:
"Sekitar dua minggu yang lalu, Safir Senduk berdiri di sini, mengumumkan bukunya yang terbaru mengenai ekonomi praktis. Bagi penulis seperti SS, mungkin benar hanya memerlukan bakat 25%. Karena referensi untuk menulis buku ekonomi dan sejenisnya cukup banyak bertebaran di ruangan ini. Tetapi untuk mengarang sastra sangat ditentukan dengan bakat. Dengan bakat besar, seorang pengarang akan menghasilkan karya yang baik dan monumental. Berapa banyak penulis yang diorbitkan oleh mendiang HB Jassin? Tapi tinggal berapa gelintir yang tetap konsisten menjadi pengarang? Itu bukti mengenai pentingnya bakat."

Zen (wiraswasta) bertanya:
"Apa sisi menarik dari karya K Usman sehingga saya perlu membacanya? Saya membaca Pram karena kuat pada sejarah. Saya membaca Ahmad Tohari karena kuat pada latar tradisi local. Saya membaca Dewi Lestari karena mengandung filsafat kontemporer."

K Usman menjawab:
"Saya tidak bisa menceritakan kekuatan isi dari tulisan saya. Cara yang paling baik adalah, Zen membeli buku saya dan membacanya, baru akan tahu di mana sisi menarik dari tulisan saya."

Rahmat Ali bertanya:
"K Usman sebagai pengarang, apakah didukung oleh keluarga? Saat menulis apakah menjadi gangguan bagi keluarga atau merasa terganggu oleh keluarga?"

K. Usman menjawab:
"Saya merasa, anak-anak saya bangga ayahnya sebagai seorang pengarang. Buktinya? Anak sulung saya hadir di sini. Menantu dari anak saya yang lain hadir bahkan dengan cucu-cucu saya. Istri saya juga hadir di sini."

Irwan (guru bahasa) bertanya:
"Apa yang membuat K Usman menulis sampai kini?"

K Usman menjawab:
"Waktu saya masih duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat, tahun 1951, ada seorang guru yang suka bercerita. Namanya Pak Mulani, mungkin beliau sekarang sudah meninggal. Pada suatu hari, Pak Mulani membaca cerita dari sebuah buku, dengan judul 'Si Jali dan Anak Harimau'. Setelah selesai, beliau bertanya, apakah ada yang dapat menceritakan kembali dengan bahasa sendiri? Karena tak seorang pun mengankat tangan, saya menyediakan diri maju ke depan kelas. Maka saya menceritakan ulang kisah Si Jali dan Anak Harimau. Sekitar lima menit saya bercerita, teman-teman bertepuk tangan. Kata mereka, saya bercerita lebih baik dari Pak Mulani. Sejak saat itulah saya bercita-cita ingin menjadi penulis cerita yang baik."

Nida bertanya:
"Mengapa K Usman secara dominan menceritakan tokoh perempuan?"

K Usman menjawab:
1. Saya menikah muda, jadi lebih awal tahu bagaimana perasaan seorang perempuan atau isteri.
2. Karena saya pernah menjadi redaktur majalah wanita (Sarinah), selama 13 tahun, pergaulan saya banyak dengan kaum wanita.
3. pada dasarnya kaum hawa itu perlu kita bela

Windo (mahasiswa filsafat UI) bertanya:
"Bagaimana jika kita hidup tanpa huruf?" (wah pertanyaannya mengandung filsafat ya - penulis)

K Usman menjawab:
"Hidup tanpa huruf pasti gelap-gulita. Itu bisa ditanyakan kepada kedua orang tua saya yang buta huruf. Waktu Indira Gandhi menjenguk ayahnya, Nehru, di penjara, pernah bertanya. Apa yang saya bawakan buat ayah? Nehru menjawab, bawakan buku-buku untuk ayah. Karena buku adalah jendela dunia. Lantas kalimat itu menjadi pepatah yang terkenal, bahwa buku ibarat jendela untuk kita melihat dunia.

Kurnia Effendi bertanya:
"Kapan K Usman akan membuka pelatihan menulis? Jika sudah, saya akan menjadi salah satu muridnya agar bisa mengarang lebih baik. Juga akan membantu menjadi guru untuk membimbing para pemula."

K Usman menjawab:
"Sejak tahun 1963 saya menjadi guru bahasa di Taman Siswa Kemayoran. Saya sudah memberikan pelajaran kepada banyak murid saya. Setelah itu saya menjadi redaktur dan editor pada sebuah majalah, juga berarti membimbing para penulis naskah. Sekarang saya ingin menghabiskan sisa waktu untuk menulis yang baik agar lebih bermanfaat bagi banyak orang. Saya belum - bukan tidak - menjadi pengarang besar. Saya balik pertanyaannya, kenapa bukan Kurnia Effendi saja yang membuka kelas mengarang dan saya akan memberikan support."

Demikianlah beberapa contoh tanya jawab yang terjadi sepanjang satu setengah jam dalam suasana yang akrab dan santai. Kini, 11 tahun terakhir, K Usman menikmati hidupnya sebagai pekerja sastra yang pekerjaan sehari-harinya hanya menulis dan momong cucu. Banyak calon penulis yang sengaja berkunjung ke rumahnya di Vila Kalisari untuk konsultasi. Di rumah K Usman, mereka tak hanya mendapat pelajaran tapi juga disuguh makan siang. Kadang-kadang mereka pulang, jika masih pelajar SMP, diantar naik angkutan kota. Karena mobil K Usman ada di rumah menantunya.

Bincang-bincang itu selesai dengan pembagian buku dari penerbit Kompas bagi 10 pertanyaan terbaik, dan diutamakan bagi para calon penulis. Sebelum ditutup, K Usman meminta Fitri (seorang Sarjana Hukum, novelis, editor penerbit) untuk memberikan kesan tentang karya K Usman. Ia berpendapat: "Kesederhanaan gaya ungkap K Usman justru membuat cerita menarik dan kuat, bahkan kita terhanyut dan tak sadar meneteskan air mata haru oleh kekuatan karakter pada penokohannya yang tidak hitam-putih."

K Usman juga memberikan 4 buah buku (di antaranya "Sesudah Musim Jamur" dan "Sahabat Kita Belibis Telaga") bagi yang dapat menjawab pertanyaan mengenai cerpen yang dibacakan pada awal acara. Selanjutnya, bagi pembeli buku "Pengantin Luka" pada hari itu disediakan diskon 10% dan langsung mendapatkan otograf dari pengarangnya.

Saya menghampiri K Usman, sekali lagi menjabat erat tangannya (seraya mencuri kekuatan keryanya ke dalam denyut rajah tangan saya), mendoakan agar beliau tetap sehat dan terus berkarya. Lantas berpamitan.