Wednesday, May 31, 2006

Merindukan Gemah Ripah


Dalam perjalanan ke kantor, ada sms dari seorang seniwati yang aktif dalam banyak kegiatan sosial, Ayu Dyah Pasha: "Embargo pangan yang dilakukan Amerika kepada Palestina telah mengakibatkan rakyat kelaparan. Hal tersebut bisa terjadi di Indonesia. Teman-teman, mari mulai melepaskan ketergantungan terhadap pangan impor. Negeri ini penuh keanekaragaman pangan hayati, jadi kurangilah makan gandum. Di Indonesia kita tidak bisa menanam gandum. Fitrah kita makan umbi-umbian."

Lantas saya teringat sebuah wawancara televisi dengan Bob Sadino, entah berapa tahun yang lampau. Saat itu kita sedang prihatin dengan nasib petani, yang selalu kehilangan harapan mendapat uang berlimpah di saat panen raya. Karena harga jatuh 'diserang' over supply. Menurut Bob Sadino, persoalan itu mungkin dapat diatasi dengan perubahan budaya, karena persoalan makan adalah persoalan budaya. Andaikata rakyat Indonesia mulai gemar makan kentang, petani tentu akan menanam kentang, bukan padi. Harga kentang sangat bagus saat itu. Sementara, kentang termasuk makanan yang kandungan gulanya tidak terlampau tinggi, sehingga cukup dianjurkan bagi pengidap diabetes. Apakah kemudian jadi kebule-bulean? Sebenarnya, saat ini pun kita sudah terbiasa dengan menu kentang goreng setiap berkunjung ke restoran cepat saji dan kafe-kafe di malam hari.

Antara pesan melalui sms dengan pendapat Bob Sadino itu, memang tak terlampau berhubungan karena ihwalnya berbeda. Saya hanya ingin menarik benang merah dari kata umbi-umbian (bukan padi-padian) yang cenderung sekeluarga dengan kentang. Kembali kepada pesan Ayu di awal pembicaraan, sesungguhnya ada pertanyaan yang lebih mendasar. Mengapa negara adikuasa menjadi 'sewenang-wenang' menetapkan embargo kepada negeri-negeri yang tetap perkasa walaupun hancur secara struktural? Tentu karena merasa terancam oleh semangat perjuangannya yang tak kunjung luntur. Kampanye perlindungan hak azasi yang dikibarkan oleh negara-negara maju justru merugikan hak azasi pihak yang lemah. Seperti upaya mereka yang keras untuk mencegah keberadaan nuklir di Iran, justru tampak timpang karena Israel tak pernah dilarang melakukan kegiatan apa pun.

Sudah seharusnya kita rindu pada kata 'gemah-ripah' yang selalu lekat dengan kata 'Indonesia'..Setiap kali melakukan perjalanan Jakarta-Bandung melalui Puncak, mata kita memperoleh terapi kesegaran dengan tumpah-ruahnya sayur dan buah nyaris di sepanjang jalan Ciawi - Cipanas. Rasanya tak percaya Indonesia bisa krisis hanya dari melihat hasil bumi, termasuk yang digelar di Pasar Induk Kramat Jati, yang seolah tak kenal musim. Mengapa lidah kita kemudian diajari dengan selera yang mengingkari kekayaan lokalitas? Akibatnya kita selalu mendamba segala yang mendapat label luar negeri.

Kata 'ketergantungan' menjadi paradoks dengan 'kemandirian'. Indonesia pernah berniat terlepas dari bantuan hutang luar negeri, terutama dari sejumlah donor yang dengan bantuannya justru akan membuat kita senantiasa tunduk. Namun di lain kesempatan, kita kembali perlu menawarkan kepada negara asing untuk menanam investasi di 'tanah subur' Indonesia. Perlawatan Presiden dan Wakil Presiden ke luar negeri, antara lain untuk mencapai maksud itu. Sedangkan 'tanah subur' yang dimaksud adalah, boleh jadi, rasa aman yang mulai ditata kembali, mengambuhkan perilaku konsumtif masyarakat, kemudahan persyaratan, dan ... andai Undang-undang No 13 tentang Ketenagakerjaan jadi merevisi salah satu pasal tentang kebebasan tenaga kerja asing menduduki jabatan apa pun pada sebuah perusahaan... memang akan mengundang jemari tangan asing untuk memainkan orkestrasi ekonomi pada piano kebijakan dunia industri kita.

Barangkali ada semacam kata kunci yang harus ditanamkan pada pola pikir dan tindakan kita, sehubungan dengan pergaulan ekonomi dan politik terhadap negara dan bangsa lain. Banyak contoh di sekitar negara tetangga yang tidak lebih makmur dari keadaan bumi Nusantara, tapi memiliki sikap yang patut dipertimbangkan. Misalnya India, yang bersikukuh menggunakan nama Maruti untuk mengganti merk Suzuki yang beredar di negara itu. Atau merk Mitsubishi menjadi Proton Saga di Malaysia. Dengan demikian, penjajahan dalam bentuk apa pun sebaiknya dihindari.

Ungkapan yang sering terdengar, dengan dialek Betawi, adalah: lu jual gua beli! Dalam dunia kependekaran, pernyataan itu tentu bermakna: jika anda menawarkan tantangan, saya akan meladeni. Gayung bersambut dalam arti seteru. Namun secara harafiah terjadi pula dalam bidang ekonomi. Negara-negara produsen, demikian Bapak Soebronto Laras pernah menyampaikan dalam pengantar meeting, menganggap Indonesia sebagai pasar yang bagus bagi segala produk. Apa artinya itu? Siapa pun yang berjualan di negara kita, akan laris manis. Mulai dari burger MacDonald sampai dengan sedan Jaguar.

Kewaspadaan yang disampaikan oleh sahabat, yang masih peka terhadap nasionalisme di awal tulisan ini, perlu diberikan ruang dalam pemikiran kita. Setidaknya, bolehlah kita berganti peran sebagai produsen dan negara lain yang tergila-gila dengan barang buatan kita. Sebagaimana dilakukan negara Cina, yang perlahan-lahan ingin menggeser kiblat belanja dunia. Rasanya boleh saja kita bercita-cita untuk berkata: gua jual lu beli! Dengan upaya mencapai peran seperti itu, ketika kita tak lagi bergantung kepada pihak asing, tetapi justru mereka yang membutuhkan produk Indonesia; suatu saat tak hanya tenaga kerja yang kita kirim ke luar negeri. Kata 'embargo', mudah-mudahan akan jauh dari kamus pergaulan perdagangan Indonesia yang mau tidak mau turut bermain dalam atmosfir globalisasi.

"Setuju, Mbak Ayu. Percayalah, makanan khas Indonesia lebih sehat dibanding yang datang dari luar." Dengan demikian, seperti kata Aa Gym : "Mulailah dari yang paling kecil, dari diri sendiri, dan lakukan sejak hari ini." Rasanya, ajakan serupa itu tak hanya berlaku untuk ibadah secara khusus, namun terbuka bagi segala upaya yang bermakna kebaikan. Termasuk usaha melepaskan diri dari sikap ketergantungan dan mulai dengan kemandirian . Tapi, lakukan setiap tindakan dengan dasar cinta, bukan karena rasa marah atau dendam.

(Kurnia Effendi)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home